Artikel 3
,00 0000 - 00:00:00 WIBDibaca: 2958 kali
Efektifitas Relaksasi Progresif Pada Penderita Gangguan Cemas Menyeluruh (GAD)
Kusno Wibowo
Program Studi Magister Psikologi Profesi
Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Abstrak
Generalized Anxiety Disorder (GAD) adalah suatu gangguan kecemasan yang ditandai oleh perasaan cemas yang umum dan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi dan keadaan peningkatan keterangsangan tubuh. Gejala fisik yang terjadi pada penderita GAD ditandai oleh ketegangan otot, agitasi mental, rawan mengalami keletihan, iritabilitas, dan sulit tidur. Relaksasi otot progresif berproses untuk membantu merilekskan kondisi tubuh yang tegang untuk menjadi rileks. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui teknik relaksasi otot progresif dalam membantu mengatasi kecemasan pada penderita GAD. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus tunggal non eksperimen. Rancangan penelitian ini biasa diterapkan pada penelitian yang bersifat behavioral analysis. Subjek penelitian adalah seorang karyawan swasta berusia 30 tahun dengan gejala-gejala Gangguan Kecemasan Menyeluruh. Gangguan yang dialaminya ditandai dengan ketidak mampuan subyek mengontrol kecemasan yang selalu muncul disetiap kegiatan aktifitas sehari-hari. Penelitian ini dilakukan selama 8 minggu dan seminggu kemudian dilakukan follow up untuk memantau kondisi subjek setelah terapi dihentikan. Relaksasi dilakukan setiap hari sekali seminggu dalam sesi terapi. Teknik relaksasi yang digunakan yaitu Differential relaxation dengan durasi 20 menit. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa teknik relaksasi otot progresif mampu menurunkan kecemasan pada penderita gangguan kecemasan menyeluruh. Hasil yang didapat subjek pada pra terapi berada pada tingkat berat 3 (Kecemasan tinggi), dan pada pengukuran follow up berada pada tingkat 1 (kecemasan rendah)/
Kata kunci : Kecemasan dan Relaksasi Progresif
PENDAHULUAN
Dewasa ini kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang meliputi bidang ekonomi, politik, teknologi dan budaya serta bidang-bidang lain yang membawa pengaruh tersendiri bagi perkembangan mental manusia itu sendiri. Kehidupan yang semakin sulit dan bertambah kompleks serta semakin bertambah stressor psikososial akibat budaya masyarakat yang semakin modern mengakibatkan manusia tidak dapat menghindari tekanan-tekanan kehidupan yang mereka alami (Kustanti dkk, 2008).
Setiap individu dalam mengha-dapi berbagai situasi, pasti pernah me-miliki rasa cemas. Cemas ini biasanya terjadi pada saat adanya kejadian atau peristiwa tertentu, maupun dalam meng-hadapi suatu hal. Gangguan kecemasan saat ini merupakan penyakit yang mulai menjadi perhatian dibidang kesehatan masyarakat. Di Indonesia dari hasil data penelitian dinas kesehatan menunjukkan bahwasanya gangguan kesehatan jiwa yang sering muncul sebagai gangguan fisik adalah 28,73% pada dewasa dan 34,39% pada anak-anak. Survei terkini di Amerika melaporkan bahwa 15-33% pasien yang berobat ke dokter merupakan pasien dengan gangguan mental. Dari jumlah tersebut minimal sepertiganya menderita gangguan kecemasan (Romadhon, 2002).
Data dari majalah Simposia edisi Desember 2007 menyatakan gangguan kecemasan merupakan gangguan psikologis yang paling sering dijumpai. Di dunia diperkirakan 12% dari seluruh gangguan psikologis. Prevalensinya di masyarakat diperkirakan 3%, dan prevalensi seumur hidup (life time) rata-rata 5%. Di Indonesia prevalensi kecemasan diperkirakan berkisar antara 9% – 12% populasi umum. Angka yang lebih besar yaitu 17% - 27%, dilaporkan dari tempat-tempat pelayanan kesehatan umum. Namun sebagian masyarakat di Indonesia cenderung mengabaikan hal tersebut, gangguan kecemasan dianggap normal bukan sesuatu yang harus ditangani (www.majalah-farmacia.com, diakses 3 Januari 2013).
Perasaan cemas adalah keadaan psikologis yang paling umum dialami oleh manusia. Keadaan cemas yang berlebihan dan tanpa dapat dikontrol akan muncul menjadi salah satu bentuk gangguan psikologi. Gangguan kece-masan adalah suatu keadaan yang apre-hensi atau keadaan khawatir terhadap sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid, 2005). Menurut Alley kece-masan dapat dilihat dalam tiga bentuk, yaitu: kecemasan yang tidak berfokus, seseorang mengalami kecemasan bukan karena stressor yang jelas dan terlihat sebagai hal yang menurun/genetis. Gangguan yang muncul dalam bentuk kecemasan ini adalah gangguan panik dan gangguan kecemasan umum. Bentuk kedua adalah kecemasan yang muncul karena rasa takut terhadap suatu objek atau situasi yang dapat dikenali, hal ini diwujudkan dalam bentuk gangguan fobia, gangguan stres pascatrauma dan gangguan stress akut. Orang yang mengalami situasi kece-masan yang tidak berfokus dan sulit untuk dikontrol, serta juga bukan karena suatu objek tertentu, kompleksitas gangguan kecemasan ini dikenal sebagai Generalized Anxiety Disorder (GAD) (Alley,1999).
Angka prevalensi untuk gangguan kecemasan menyeluruh 3-8% , dengan prevalensi pada wanita > 40 tahun sekitar 10%. Rasio antara perempuan dan laki-laki sekitar 2:1. Onset penyakit biasanya muncul pada usia pertengahan hingga dewasa akhir, dengan insidens yang cukup tinggi pada usia 35-45 tahun. GAD merupakan gangguan kecemasan yang paling sering ditemukan pada usia tua (Ikwan, 2011).
Generalized Anxiety Disorder (GAD) menurut DSM IV (dalam Sadock, 1997) adalah kekhawatiran yang berlebihan dan bersifat pervasive, disertai dengan berbagai simtom soma-tik, yang menyebabkan gangguan signi-fikan dalam kehidupan sosial atau peker-jaan pada penderita, atau menimbulkan stres yang nyata pada penderita.
Menurut Nevid (2005) penderita Generalized Anxiety Disorder (GAD) ditandai oleh perasaan cemas yang presisten yang tidak dipicu oleh suatu objek, situasi atau aktivitas yang spe-sifik, tetapi lebih merupakan kecemasan yang mengambang. Ciri utama dari GAD adalah rasa cemas, karena orang dengan GAD adalah pencemas kronis. Penderita GAD mereka seringkali men-cemaskan secara berlebihan keadaan hidup mereka, seperti keuangan, kese-jahteraan anak-anak dan hubungan sosial mereka. Gejala fisik yang terjadi pada penderita GAD ditandai oleh ketegangan otot, agitasi mental, rawan mengalami keletihan, iritabilitas, dan sulit tidur. Ada kesulitan untuk memu-satkan perhatian karena pikiran dengan cepat berpindah dari satu krisis ke krisis lain, serta munculnya simtom-simtom peningkatan ketegangan, seperti sulit tidur, waspada berlebihan, dan muncul masalah-masalah psikofisiologis yang berhubungan dengan stressornya, seperti sakit kepala, sesak nafas, gangguan sistem pencernaan (Durand, 2006, dkk).
Seperti halnya kasus yang diteliti oleh Fitriah (2012), subyek menge-luhkan kondisi yang dirasakan sangat mengganggu beberapa waktu ini. Indi-vidu tersebut mudah sekali merasakan kecemasan, dalam kondisi apapun. Kondisi-kondisi tersebut seperti terlam-bat masuk kuliah, presentasi di kelas, takut terlambat bangun pagi, rapat di organisasi, ketemu dosen, dan banyak lagi hal-hal yang menurut subyek tidak perlu dicemaskan berlebihan. Hanya saja subyek tidak mampu mengontrol kondisi-kondisi cemas yang muncul pada dirinya. Ditambah lagi ketakutan subyek akan tidur dalam kondisi gelap semakin memperparah rasa cemasnya. Subjek takut jika terjadi mati lampu disaat dia sedang tidur, karena menurutnya kondisi seperti itu akan membuatnya merasa ketakutan, sulit bernafas, jantung berdetak cepat, berkeringat, sehingga dia merasakan cemas yang luar biasa.
Menurut Fitriah (2012), didapatkan bahwa gangguan kecemasan menyeluruh atau Generalized Anxiety Disorder (GAD) dapat digambarkan sebagai suatu kondisi yang membuat subjek mengalami kecemasan tentang sejumlah kejadian atau aktivitas, dan subjek mengalami kesulitan dalam mengatasi kecemasannya tersebut. Kondisi tersebut memunculkan simtom-simtom kecemasan yang kuat, seperti otot-otot yang tegang, jantung berdebar cepat sampai terjadi sesak pada pernafasan, berkeringat dingin, gelisah, dan sulit untuk berfikir fokus. Kondisi seperti ini mengganggu stabilitas kehidupan pribadi dan sosial subjek, sehingga kondisi seperti ini dibutuhkan suatu penanganan untuk membantu subjek mengatasi atau mengurangi simtom kecemasan yang dialaminya. Karena jika tidak segera diatasi, akan dikhawatirkan membawa dampak negatif pada subjek dan mengganggu kehidupan subjek.
Pada kasus GAD, penderita selalu merasakan kecemasan pada kondisi- kondisi yang tidak mampu dikontrolnya, sehingga akan membuat reaksi kecemasannya muncul. Respon yang ditimbulkan oleh kecemasan dapat dimanifestasikan oleh aktivitas saraf otonom (simpatis dan parasimpatis). Respon simpatis akan menyebabkan pelepasan epineprin, adanya pening-katan epineprin mengakibatkan denyut jantung cepat, pernafasan cepat dan dangkal, tekanan pada arteri meningkat. Kecemasan juga berdampak negatif pada fisiologi tubuh manusia antara lain dampak pada kardiovaskuler, sistem respirasi, gastro intestinal, neuromuskular, traktus urinarius, kulit, dampak pada perilaku, kognitif dan afektif. Sampai kepada dampak terhadap sistem respirasi dan kardiovaskuler yang dapat menyebabkan kesulitan bernafas, nafas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada dan peningkatan tekanan darah (Stuart dan Sundeen, 1995)
Menurut Miltenberger (2004) relaksasi otot progresif adalah teknik untuk mengurangi kecemasan dengan cara menegangkan dan merilekskan otot secara bergantian. Teknik ini dikem-bangkan oleh Edmund Jacobson pada awal tahun 1920-an. Jacobson berpen-dapat bahwa karena kecemasan menyer-tai ketegangan otot, sehingga dapat mengurangi kecemasan dengan belajar bagaimana untuk mengendurkan otot-otot yang tegang (Dierendonck, 2005).
Terjadi ketegangan otot dapat diterangkan bahwa tubuh manusia terdapat 620 otot skeletal. Otot-otot ini sebagai otot volunter yang dapat dilatih secara sadar. Otot-otot skeletal tersusun dari ikatan serabut parallel, dan masing-masing serabut terbuat dari sejumlah slim filament yang dapat mengkerut dan memanjang (melebar). Apabila beribu-ribu slim filament bekerja dalam koordinasi, maka otot akan berkons-traksi, glycogen yang berbentuk gula akan terurai menjadi tenaga dan asam laktat yang dapat menimbulkan kele-lahan. Ketika otot-otot dalam keadaan rileks, asam laktat akan dibuang melalui aliran darah. Akan tetapi jika otot-otot dalam keadaan kontraksi untuk jangka panjang, sirkulasi darah menjadi terham-bat dan kelelahan terbentuk dengan cepat, penimbunan ini mengarah pada ketegangan sehingga menghasilkan rasa sakit pada otot-otot leher, bahu dan sebagainya (Subandi, 2002)
Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis ini. Selain itu juga, ketika otot-otot sudah dirilekskan maka akan menormalkan kembali fungsi-fungsi organ tubuh. Setelah seseorang mela-kukan relaksasi, dapat membantu tubuh menjadi rileks, dengan demikian dapat memperbaiki berbagai aspek kesehatan fisik. Membantu individu untuk dapat mengontrol diri dan memfokuskan perhatian sehingga dapat mengambil respon yang tepat saat berada dalam situasi yang menegangkan (Subandi, 2002).
Selain itu juga dengan relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari reaksi yang berlebihan karena adanya stres, mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan stres seperti hipertensi, sakit kepala, insom-nia, mengurangi tingkat kecemasan, mengurangi kemungkinan gangguan yang berhubungan dengan stres dan mengontrol anticipatory anxiety sebe-lum situasi yang menimbulkan kece-masan (Glaister, 1982).
Dalam penelitian ini meng-gunakan relaksasi otot progresif sebagai metode dalam perlakuan karena relak-sasi menimbulkan counterconditioning antara sistem saraf parasimpatetis dan sistem saraf otonom yang fungsinya berlawanan sehingga menimbulkan perasaan lebih tenang dan rileks. Menurut Wolpe (dalam Subandi, 2002) efek otonomis yang menyertai relaksasi dilawankan dengan ciri-ciri kecemasan. Secara fisiologis melalui denyut nadi dan tekanan darah dapat berkurang dengan relaksasi otot. Selain itu, daya tahan kulit meningkat dan pernafasan menjadi lebih pelan dan teratur selama relaksasi.
Teknik relaksasi otot progresif dibuktikan mampu membantu mengatasi gangguan kecemasan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2006) menunjukkan bahwa relaksasi otot dinyatakan mampu menurunkan tingkat kecemasan pada lansia. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Yildrim (2006) yang menyatakan bahwa teknik relaksasi otot mampu menurunkan tingkat kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Kemudian pene-litian yang dilakukan Cheung (2003) yang menyatakan bahwa relaksasi otot progresif mampu secara signifikan menurunkan kecemasan dan kualitas hidup pasien kanker. Penelitian yang dilakukan Chen (2009) yang menya-takan bahwa relaksasi otot progresif mampu menurunkan tingkat kecemasan pada penderita schizophrenia akut.
Selain itu, pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini juga meng-gunakan pendekatan kognitif. Kognisi adalah ide dalam perasaan seseorang yang ditentukan atau dipengaruhi oleh pemikiran tentang situasi, orang-orang, dan event dalam kehidupan manusia. Pendekatan kognitif berfokus pada pengubahan pikiran-pikiran yang irasi-onal yang menyebabkan menyebabkan perilaku maladaptive, menjadi pemi-kiran yang rasional dengan lingkungan sekitarnya sehingga memunculkan peri-laku yang lebih adaptive. Pendekatan kognitif mengatasi kesulitan-kesulitan individu dengan menyingkirkan pemi-kiran atau kepercayaan yang tidak produktif atau menghambat, dan mengadopsi pemikiran atau kepercayaan yang lebih konstruktif (dalam PSMPP Unair, 2011).
Asumsi pendekatan koginitif adalah bahwa individu menginter-prestasikan dan bereaksi pada peristiwa-peristiwa sesuai dengan persepsi yang dimiliki, pengharapan, dan sikap yang mempengaruhi perilaku individu. Asumsi kedua, yaitu melemahnya fungsi kognitif bisa menyebabkan gangguan-gangguan emosional. Para psikolog kognitif menganggap segala ungkapan diri yang cenderung negative adalah tidak rasional. Bahkan pemikiran-pemikiran tidak rasional bisa menye-babkan kecemasan, kesedihan atau emosi-emosi yang mengganggu lainya. Pendekatan kognitif mengidentifikasi idea atau kepercayaan yang tidak rasional, dan menggantikanya dengan pernyataan yang lebih masuk akal dan realistis tentang lingkunganya (dalam PSMPP Unair, 2011).
Berdasarkan deskripsi permasa-lahan yang telah dikemukakan tentang gangguan cemas menyeluruh dan peng-gunaan relaksasi, maka peneliti ingin mengkaji dan membuktikan efektifitas penggunaan terapi relaksasi progresif pada gangguan cemas menyeluruh, sehingga penderita mampu mengelola ketegangan dan melemahkan rangsang-an yang menekan di dalam kehidupan sehari-hari.
Gangguan cemas menyeluruh merupakan kecemasan yang berlebihan disertai berbagai simtom somatik yang menyebabkan gangguan dalam kehidupan penderita (Sadock, 1997; Alley,1999; Kaplan & Sadock, 2010; Atmaja, 2012; & Fitriah, 2012).
Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affectife) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan ber-kelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality testing Ability/ RTA) kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/splitting of personality), perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal. Selama indi-vidu masih dapat mengatasi stressor maka kecemasan itu masih bersifat normal. Kecemasan yang normal sum-ber kecemasanya dapat diusut, masih dalam taraf sehat, dapat ditoleransi dan tidak akan mengganggu kehidupan seseorang. Sensasi kecemasan sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai rasa keta-kutan yang diffuse, tidak menyenangkan dan samar-samar, seringkali disertai gejala otonomik. Sedangkan gejala tertentu yang ditemukan selama kecemasan cenderung berbeda. Gejala dari kecemasan meliputi gangguan somatik, kognitif, gangguan perilaku dan gangguan persepsi (Yuliani, 2012).
Relaksasi merupakan suatu meto-de untuk melepaskan ketegangan dengan melemaskan otot-otot (Subandi, 2002; Fitriah, 2012; & Makin & Lindley dalam Yuliani, 2012). Ada bermacam-macam bentuk terapi relaksasi (Subandi, 2002) antara lain: relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera, relaksasi melalui hipnosa, yoga, & meditasi.
Relaksasi otot bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan dengan cara melemaskan otot-otot badan. Klien diminta untuk menegang-kan otot dengan ketegangan tertentu, kemudian mengendurkannya. Sebelum dikendurkan, penting untuk merasakan ketegangan yang ada sehingga klien dapat membedakan otot tegang dan otot lemas. Ada 3 macam relaksasi otot: tensionrelaxation, letting go, & diffe-rential relaxation.
Generalized Anxiety Disorder (GAD) menurut DSM IV (dalam Sadock, 1997) adalah kekhawatiran yang berlebihan dan bersifat pervasive, disertai dengan berbagai simtom soma-tik yang menyebabkan gangguan signi-fikan dalam kehidupan sosial atau peker-jaan pada penderita, atau menimbulkan stres yang nyata pada penderitanya.
Di dalam sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Fungsi sistem saraf pusat adalah mengendalikan gerakan-gerakan yang dikehendaki. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan oto-matis. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yang kerjanya saling berlawanan, yaitu pertama, sistem saraf simpatetis yang bekerja meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh, mamacu meningkatnya denyut jantung dan pernapasan, serta menim-bulkan penyempitan pembuluh darah tepi dan pembesaran pembuluh darah pusat, serta menurunkan temperatur kulit dan daya tahan kulit. Kedua, sistem saraf parasimpatetis menstimulasi turunya semua fungsi yang dinaikan oleh sistem saraf simpatetis, mensti-mulasi naiknya semua fungsi yang diturunkan oleh saraf simpatetis. Pada waktu orang mengalami ketegang-an dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatetis, sedangkan pada waktu rileks yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatetis. Dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang dab rasa cemas dengan resiprok, sehingga timbul counter conditioning antara sistem saraf parasimpatetis dan sistem saraf otonom yang fungsinya berla-wanan sehingga menimbulkan perasaan lebih tenang dan rileks (Subandi, 2002).
Menurut Miltenberger (2004) relaksasi otot progresif adalah teknik untuk mengurangi kecemasan dengan cara menegangkan dan merilekskan otot secara bergantian. Teknik ini dikem-bangkan oleh dokter di Amerika bernama Edmund Jacobson pada awal tahun 1920-an. Jacobson berpendapat bahwa karena kecemasan menyertai ketegangan otot, sehingga dapat mengu-rangi kecemasan dengan belajar bagai-mana untuk mengendurkan otot-otot yang tegang (Dierendonck, 2005).
Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis ini. Selain itu juga, ketika otot-otot sudah dirilekskan maka akan menormalkan kembali fungsi-fungsi organ tubuh. Setelah seseorang mela-kukan relaksasi, dapat membantu tubuh menjadi rileks, dengan demikian dapat memperbaiki berbagai aspek kesehatan fisik. Membantu individu untuk dapat mengontrol diri dan memfokuskan perhatian sehingga dapat mengambil respon yang tepat saat berada dalam situasi yang menegangkan (Subandi, 2002).
Beberapa penelitian di bawah ini membuktikan teknik relaksasi otot progresif efektif untuk mengatasi gang-guan kecemasan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2006) menun-jukkan bahwa relaksasi otot dinyatakan mampu menurunkan tingkat kecemasan pada lansia.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Yildrim (2006) yang menyatakan bahwa teknik relaksasi otot mampu menurunkan tingkat kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Kemudian penelitian yang dilakukan Cheung (2003) yang menyatakan bahwa relaksasi otot progresif mampu secara signifikan menurunkan kecemasan dan kualitas hidup pasien kanker.
Penelitian yang dilakukan Chen (2009) yang menyatakan bahwa relaksasi otot progresif mampu menu-runkan tingkat kecemasan pada pende-rita schizophrenia akut.
Pada saat latihan relaksasi akan terjadi proses counter conditioning yaitu relaksasi otot akan dapat menekan atau menurunkan ketegangan dan rasa cemas yang sedang meningkat secara bersa-maan, sehingga pada akhirnya timbul penghilangan yang mampu memun-culkan rasa nyaman dan tenang (Bellack & Hersen, 1979; Prawitasari, 2002).
Selain itu juga dengan relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari reaksi yang berlebihan karena adanya stres, mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan stres seperti hipertensi, sakit kepala, insom-nia, mengurangi tingkat kecemasan, mengurangi kemungkinan gangguan yang berhubungan dengan stres dan mengontrol anticipatory anxiety sebe-lum situasi yang menimbulkan kece-masan (Glaister, 1982). Jadi relaksasi dapat menekan rasa cemas dan tegang dengan cara timbal balik, sehingga timbul counter conditioning dan penghapusan.
Hipotesis penelitian ini adalah penggunaan metode relaksasi progresif efektif untuk menurunkan kecemasan pada penderita gangguan cemas menye-luruh.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi kasus tunggal atau small-N-design. Rancangan pene-litian studi kasus tunggal ini biasa diterapkan pada penelitian yang bersifat behavioral analysis (Goodwin, 2005).
Studi kasus merupakan pene-litian yang intensif mengenai individu. Selain itu studi kasus adalah penelitian yang biasa diterapkan oleh kalangan klinis (Davison, 2006). Spiegler (2003) menyatakan bahwa Single subject study bersifat non eksperimen, penelitian dilakukan dengan melakukan pencatatan pada perilaku yang muncul secara berkala terhadap target perilaku yang dirubah.
Peneliti menggunakan metode Single case study, yaitu case study non eksperimen. Treatment yang diberikan tidak seutuhnya bersifat ekspe-rimen murni, seperti yang dilakukan pada studi kasus eksperimental. Pene-litian ini juga tidak melibatkan suatu kelompok kon-trol, seperti pada studi eksperimental (Spiegler, 2003).
Menurut Kazdin (1992) secara umum, studi kasus meliputi: pemfo-kusan pada individu, menggantungkan pada informasi anek-dotal dan tidak mengandung kontrol eksperimen. Lebih lanjut Kazdin (1992) mengatakan bahwa bila ada beberapa orang yang menjadi fokus studi, hal ini masih dapat digolongkan sebagai studi kasus. Beberapa keadaan tertentu studi kasus dapat mengarah pada pengetahuan mengenai efek treatment yang mende-kati apa yang dicapai melalui metode eksperimen.
Penelitian studi kasus tunggal dalam pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang memiliki sasaran terba-tas. Akan tetapi dengan keterbatasan sasaran penelitian tersebut akan diung-kap sebanyak mungkin data yang dapat menjawab permasalahan yang diteliti pada subjek penelitian dengan menitik-beratkan pada kualitas kedalaman data yang akan diungkap dan bukan pada luasnya sasaran penelitian. Artinya dalam penelitian kualitatif tidak mene-kankan pada aspek kuantitas atau banyaknya subjek yang dijadikan seba-gai sasaran penelitian, melainkan pada aspek kualitas data dalam menjawab masalah penelitian. (Bungin, dalam Marselino, 2007).
Penentuan subjek dalam pene-litian ini adalah individu yang memiliki karakteristik subyek penelitian berda-sarkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu. Adapun ciri-ciri subyek penelitian ini adalah individu yang memiliki tingkat kecemasan kategori berat dan berat sekali atau panik yang diukur dengan HRS-A (Hamilton Rating Scale-Anxiety).
Penentuan subjek dalam pene-litian ini adalah individu yang menderita gangguan cemas menyeluruh. Selan-jutnya agar subjek yang dipilih memungkinkan untuk dilakukan eksplo-rasi dan penggalian informasi sebanyak mungkin dan lebih mendalam terhadap data penelitian, maka pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan menggu-nakan teknik purposive sampling atau sampling bertujuan, yaitu unit-unit yang dianggap kunci diambil sebagai sampel penelitian (Bungin, dalam Slamet 2001).
karakteristik dari subjek penelitian yang meliputi: Jenis Kelamin, Usia, Frekwensi gangguan cemas menyeluruh yang dialami, Memiliki kategori cemas berat dan berat atau panik, dan Menyatakan bersedia terlibat dalam penelitian ini.
Dalam pemilihan subyek pene-litian dilakukan seleksi terlebih dahulu, adapun proses peneliti dalam menda-patkan subyek adalah sebagai berikut :
Berdasarkan informasi yang didapat dari atasan subyek, peneliti melakukan pendekatan secara inten dengan melakukan wawancara untuk mengetahui sakit yang diderita subyek. Subyek menjelaskan bahwa sakit yang sedang dideritanya adalah gangguan psi-kologis yang mengakibatkan fisiknya terganggu. Beberapa kali subyek meme-riksakan ke dokter guna menge-tahui penyakitnya. Subyek didiagnosa meng-alami gangguan cemas menyeluruh. Subyek telah menderita gangguan cemas menyeluruh sudah dialami kurang lebih 2 tahun. Berdasarkan informasi subyek dan diagnosa dari dokter yang menangani, peneliti menetapkan bahwa subyek telah memenuhi kriteria sebagai subyek dalam penelitian.
Dalam pengumpulan berbagai informasi berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, maka ditetapkan 3 (tiga) teknik utama sebagai metode pengum-pulan data: teknik pengamatan (obser-vation); teknik wawancara (interview) dan Skala HRS-A (Hamilton Rating Scale-Anxiety). Data-data yang terkum-pul melalui ketiga metode tersebut kemudian akan diuraikan secara detail untuk dianalisa lalu ditambah dengan metode pengumpulan data tambahan yang berupa data-data yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian bila ditemukan, baik berupa catatan-catatan ataupun dokumen pendukung yang relevan dengan penelitian. Data dari dokumen-dokumen ini berfungsi sebagai data sekunder yang melengkapi data primer atau yang tidak ditemukan di lapangan.
Variabel kecemasan dalam pene-litian diukur dengan menggunakan HRS-A (Hamilton Rating Scale-Anxiety) yang dibuat dengan menggolongkan menjadi 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih specific. Skala HRS-A pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic. Skala HRS-A telah dibuk-tikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk melakukan pengu-kuran kecemasan pada penelitian trial clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kece-masan dengan menggunakan skala HRS-A akan diperoleh hasil yang valid dan reliable (Tawi, 2012).
Dalam sebuah desain kasus tunggal, perilaku subyek diukur sepan-jang waktu selama satu periode kendali basis atau baseline. Pada design ini diawal penelitian dilakukan pengukuran kecemasan dengan menggunakan skala kecemasan (HRS-A) yaitu alat ukur yang dibuat dan dikelompokan menjadi 14 gejala serta diperinci lagi dengan gejala yang lebih specifik terhadap subyek penelitian setelah diberi treatment-treatment dilakukan pengu-kuran kembali dengan skala yang sama, pengaruh keefektivan variable bebas terhadap variable tergantung dilihat dari perbedaan nilai pre test dan pos test (Cozby, 2009).
Prosedur pelaksanaan penelitian:
1. Dilakukan observasi dan wawancara serta diberikan pre test 1 (1 minggu) kemudian pre test 2 ( 1 minggu ) pada subyek gangguan cemas menyeluruh untuk mengetahui dan mengukur kecemasan sebelum diberikan terapi relaksasi progresif.
2. Setelah dilakukan pengukuran kecemasan maka subyek penelitian diberikan treatment atau terapi relaksasi progresif dilakukan setiap hari selama 1 minggu.
3. Dilakukan observasi dan wawancara serta diberikan post test 1 (1 minggu ) dan post test 2 ( 1 minggu ) pada subyek untuk mengukur kecemasan yang dialami subyek setelah diberikan terapi relaksasi progresif.
4. Membandingkan T1 dan T2 dengan T3 dan T4 untuk menentukan seberapa besar perbedaan yang timbul, jika sekiranya ada, akibat dari digunakannya variable eksperimen X.
5. Follow up diberikan satu minggu setelah post tes dengan memberikan skala HRS-A 14 yang terdiri dari kelompok gejala yang ada.
Fokus terapi dalam penelitian ini adalah bagaimana subyek mampu mengenali gangguan cemas yang dialaminya, menyadari bahwa dirinya saat ini mengalami gangguan dan mau berusaha merubah perilakunya tersebut menjadi yang adaptif.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan analisis induktif, yaitu proses analisis data yang dimulai dari sesuatu yang lebih bersifat khusus kemudian diangkat ke dalam sesuatu yang bersifat umum yang dilakukan dengan jalan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Setelah dipelajari dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Setelah data-data tersebut dibuat dalam bentuk abstraksi, maka langkah selanjutnya adalah menyusun dalam satuan-satuan. Satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan pada lang-kah berikutnya, yaitu proses pengkate-gorian dengan membuat koding. Dan tahap terakhir adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data.
Adapun mekanisme proses analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini (Highlen dan Finley (1996, dalam Poerwandari, 2001), yaitu:
a. Organisasi data; data berupa hasil wawancara akan disusun secara sistematis dan rapi, agar tidak ada data hilang dan untuk mempermudah proses analisis. Organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk: mempe-roleh kualitas data yang baik; mendo-kumentasikan analisis yang dilakukan; dan menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.
b.Koding; koding bertujuan supaya peneliti membuat data yang sistematis secara lengkap dan detail sehingga dapat memunculkan fenomena yang dipelajari. Beberapa langkah yang dapat dilakukan peneliti ketika mela-kukan koding adalah: peneliti menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) wawancara sedemikian rupa, agar lebih memberi kode atau catatan tertentu; secara urut dan kontiyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip; serta peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu (Poerwandari, 2001).
c. Interpretasi : setelah mela-kukan analisis, selanjutnya peneliti melakukan interpretasi data. Kvale (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan bahwa intrepretasi mengacu pada usaha memahami data secara lebih ekstensif dan mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui pers-pektif tersebut. Peneliti beranjak melam-paui apa yang sudah dikatakan langsung oleh subyek. Hal yang diperlukan untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan yang bermakna, yang tidak segera tertampilkan dalam teks (data dan transkrip wawancara). Dalam proses interpretasi juga diper-lukan distansi (upaya mengambil jarak) dari data melalui langkah metodis dan teoritis yang jelas, serta memasukkan data ke dalam konteks konseptual khusus.
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara peneliti bertindak sebagai instrument utama dalam penelitian, sekaligus sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, melaku-kan analisis penafsiran data, dan menja-di pelapor hasil penelitian. Alat pengum-pul data yang digunakan yaitu: teknik pengamatan (observation); teknik wa-wancara (interview); dan Skala HRS-A. Selanjutnya data-data yang terkumpul melalui tiga metode tersebut dikom-parasikan lalu ditambah dengan metode pengumpulan data tambahan yang berupa dokumen yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian.
Pada observasi diri ini bagi peneliti untuk mengeksplorasi terhadap fenomena, data, fakta mengenai tingkah laku, pikiran, emosi, persepsi, dan berbagai pola interaksi subyek, orang-orang di sekitar subyek, dan suasana atau peristiwa dalam lingkup keseharian subyek yang akan dijadikan sebagai informasi awal dan menemukan apakah subyek memiliki tingkat relevansi yang tinggi terhadap kriteria yang telah ditentukan dalam pemilihan subyek penelitian. Peneliti pada awalnya telah memberikan penjelasan kriteria dalam menentukan kategori kepada subyek untuk memberikan penilaian dari angka 0 (tidak ada gejala), 1 (ringan), 2 (se-dang), 3 (berat), 4 (berat sekali/panik). Namun, batasan yang membedakan kategori yang ada belum dijelaskan secara mendetail sehingga acuan yang dipakai dalam menentukan kategori 0 (tidak ada gejala) hingga 4 (berat sekali) berdasarkan asumsi subyek yang sebelumnya peneliti jelaskan secara lisan. Tujuanya adalah untuk menyamakan persepsi peneliti dengan subyek dalam menentukan kategori 0 (tidak ada keluhan) hingga 4 (berat sekali).
Hasil observasi yang meru-pakan kategori kecemasan berat dan berat sekali dipakai sebagai bahan kajian dalam penelitian ini. Adapun hasil analisa observasi diri dari awal hingga akhir penelitian yaitu pada sesi pre terapi I subyek menhadapi berbagai masalah yang dianggap berat. Perasaan tegang, kecewa dan rasa cemas dialami membuat subyek mudah emosi dan kehilangan kendali diri. Sesi pre terapi II, pada saat melakukan aktivitas rutin subyek sering merasakan rasa cemas dan gelisah yang tidak tahu penyebabnya. Hal tersebut membuat dampak pada fisiknya, yaitu muncul gejala somatic misalnya mual, kepala pusing dan badan tidak nyaman). Sesi terapi, pada sesi ini subyek melakukan relaksasi setiap hari sekali dalam waktu seminggu. Namun pada saat itu subyek juga mengalami berbagai masalah pribadi yang dianggap berat. Subyel merasa perutnya seperti ditusuk-tusuk dan trauma pada sakitnya yang dahulu. Reaksi yang berlebihan pada hal tersebut membuat lambungnya bermasalah sehingga memparah rasa cemas yang dialaminya. Kemudian sesi post terapi I, pada sesi ini subyek sudah tidak melakukan relaksasi. Subyek merasakan dirinya lebih tenang dan merasa relaks manakala menemui situasi sulit. Namun pikiran-negatif negatif ma-sih kadangkala muncul dalam ingatan.
Pada sesi post terapi II, subyek terkadang masih muncul ingatan akan trauma sakitnya yang terdahulu sehingga rasa cemas juga muncul namun masih dalam batas terkontrol. Selan-jutnya pada sesi follow up, subyek sedikit banyak rasa cemas masih ada namun dalam batas yang ringan. Gangguan fisiologis yang masih dialami pada sesi yaitu pendengaran bermasalah karena memar.
Berdasarkan dari hasil observasi dan wawancara pra terapi I menunjukan bahwa subyek mengalami simton-simtom gangguan cemas menye-luruh yang tergolong berat. Hal tersebut didukung dengan pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan skala HRS-A yang hasilnya mengindikasikan bahwa subyek termasuk mengalami cemas berat. Selanjutnya menurut hasil observasi dan wawancara pra terapi II menunjukan bahwa subyek mengalami simtom-simton gangguan cemas menyeluruh yang tergolong berat. Hasil pengukuran menggunakan HRS-A juga mengindikasikan bahwa subyek menga-lami cemas berat. Adapun sim-tom yang dialami subyek pada sesi pra terapi I dengan pra terapi II memiliki kesamaan yaitu subyek mudah merasa cemas bila menemui situasi yang sulit dan evalu-ative, perasaanya cenderung sensitive pada suatu hal yang berbeda dan bertentangan dengan pola pikirnya sehingga mudah emosi. Mudah tegang bila berhadapan dengan banyak orang. Pikiran tidak tenang dan cenderung memiliki pola pikir yang negatif. Secara fisik mudah merasa mudah lelah walau-pun hanya melakukan aktivitas yang biasa. Mudah berkeringat meskipun melakukan aktivitas ringan. Kaki sering terasa kesemutan. Ada gangguan pada lambung. Sulit saat akan masuk tidur pada malam hari. Telinga terkadang mendenging bila menemui suatu masalah yang dianggapnya berat.
Lebih lanjut pada observasi dan wawancara saat melakukan terapi relaksasi progresif subyek mengalami gangguan cemas menyeluruh dalam kategori berat sekali. Simtom-simtom yang ada pada diri subyek meningkat cukup signifikan dari sebelumnya. Target yang diharapkan yang terjadi seharusnya berkurang tingkatan sim-tomnya saat melakukan terapi. Namun yang terjadi justru kondisinya semakin meningkat gangguan cemasnya. Hal ini terjadi karena saat subyek melakukan relaksasi progresif, subyek menghadapi berbagai macam masalah yang diang-gapnya berat. Bahkan dampak dari pikiran yang sedang kalut terhadap masalahnya tersebut membuat sakit lambungnya kambuh dan bertambah parah. Disertai dengan pikiran-pikiran negative yang masih sering melekat pada ingatanya menambah berat rasa cemasnya. Menurut hasil wawancara dengan istri subyek saat melakukan relaksasi progresif, subyek sedang menghadapi berbagai masalah yang bersamaan. Subyek belum siap dan mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Disamping itu kurang dapat menjaga kondisi tubuhnya dengan pola hidup yang sehat sehingga fisiknya menjadi lemah dan drop. Coping masa-lah dan kontrol diri yang masih belum dipahami dengan baik menyebabkan tujuan dari relaksasi menjadi kurang mengena sehingga peneliti melakukan pendekatan kognitif guna membantu subyek. Peneliti mencoba membantu subyek mengatasi kesulitan-kesulitan dengan menyingkirkan pemikiran atau kepercayaan yang tidak produktif atau menghambat, dan mengadopsi pemi-kiran yang lebih konstruktif dengan merubah pemikiran yang irasional menjadi rasional.
Setelah melalui sesi terapi kondisi subyek secara bertahap inten-sitas dan kadar cemasnya mengalami penurunan hingga pada taraf sedang. Pada sesi ini subyek masih berada dalam observasi diri post terapi I. Hasil observasi dan wawancara post terapi I ini, subyek merasa pikiran dan perasaanya lebih relaks dan tenang walaupun ketika menemui situasi sulit masih muncul rasa cemas yang terkon-trol. Subyek sudah dapat membedakan dan merasakan antara tegang dan rileks karena sudah terlatih saat terapi selama beberapa kali dalam seminggu. Menurut pemahaman yang ditangkap subyek setelah melakukan relaksasi progresif bahwa relaks itu lebih nyaman dan tegang itu menjadi mudah stress. Dari pemahaman ini subyek mulai menyadari bahwa selama ini apa yang dipikir dan dirasakan adalah suatu pembelajaran yang kurang tepat sehingga respon yang diberikan menjadi maladaptif.
Kemudian pada sesi post terapi II ini, intensitas rasa cemas dan simtom-simtom yang sebelumnya muncul dengan tingkatan yang cukup tinggi, saat ini mulai menurun tingkatanya yaitu pada kategori sedang. Selama sesi ini tidak banyak kejadian yang dialami membuat subyek mengalami gangguan cemas. Hanya beberapa masalah yang sampai sesi ini belum tuntas penyelesaianya. Yaitu masalah usaha sampingan (genset) dan sakit lambung yang terkadang masih muncul dalam ingatan (trauma bila kambuh). Setelah konseling dengan terapis maupun ahli medis yang menangani kasusnya, subyek memahami problem solving suatu masalah. Subyek dapat menga-rahkan pikiran mencari solusi dari pada memikirkan masalahnya sehingga akan mengurangi tingkat stress yang dialami. Menurut subyek yang dilaku-kan saat ini adalah berpikir positif dan selalu menanamkan perasaan yang positif dalam berbagai situasi.
Setelah beberapa sesi dalam proses sebelum dan sesudah relaksasi progresif yang dilakukan subyek, pada sesi yang terakhir adalah follow up. Secara bertahap tingkatan cemas yang dirasakan cenderung menurun hingga berada pada kategori cemas ringan.
Menurut observasi dan wawan-cara dengan subyek bahwa ada peru-bahan setelah melakukan relaksasi progresif. Simtom yang sebelumnya tergolong berat menjadi ringan, misal subyek merasa intensitas cemasnya berkurang yang sebelumnya tingkat 3 menjadi 1 dan dirasa normal karena pada dasarnya semua manusia memiliki rasa cemas sebagai antisipasi untuk kelangsungan hidup. Sikapnya lebih tenang bila menemui berbagai situasi sulit yang awalnya tingkat 3 menjadi 1, sehingga membuatnya dapat memahami kekurangan dan kelebihan orang lain tanpa terpaksa. Subyek dapat membedakan tegang dan rileks awalnya 3 menjadi 1 ketika melakukan aktivitas rutin sehingga secara fisik dapat mengelola staminanya. Bila berhadapan dengan banyak orang dapat mengendalikan emosi yang sebelumnya 2 menjadi 1. Pikiran lebih tenang dan cenderung memiliki pola pikir yang positif. Saat akan masuk tidur pada malam hari lebih mudah dan lebih rileks yang awalnya 3 menjadi 1. Namun, masih ada simtom yang belum ada perubahan hingga saat ini yaitu gangguan telinga yang mendenging bila menemui suatu masalah yang dianggap berat. Hal ini setelah di gali melalui wawancara dengan subyek, bahwa su-byek sudah hampir sembilan tahun mengalami gangguan pada telinga ini dikarenakan ada penyempitan pada organ yang ada di dalam telinga. Hal ini diketahui subyek setelah memeriksakan ke dokter spesialis telinga.
Berdasarkan uraian di atas, maka menunjukkan bahwasanya terapi relaksasi otot progresif mampu mem-bantu subjek dalam mengatasi kece-masan. Pemberian rancangan intervensi relaksasi otot progresif ini didasarkan atas simtom-simtom yang muncul pada subjek jika dia berada pada kondisi-kondisi yang dirasakan subjek berada di luar kontrol dirinya, sehingga mem-buat cemas yang berlebihan. Simtom-simtom yang difokuskan pada penelitian ini adalah simtom-simtom fisik, seperti, jantung berdetak kencang, sesak nafas, keringat dingin, gemetar, sakit kepala, sakit perut, bahkan sampai sakit. Seperti yang diungkapkan oleh Tylor (dalam Subandi, 2002) bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu ini pada umumnya tidak menyenangkan dan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis (misalnya, gemetar, berke-ringat, detak jantung meningkat) dan psikologis (panik, tegang, bingung, tidak bisa berkonsentrasi).
Dalam beberapa penelitian, latihan relaksasi otot progresif untuk mengatasi kecemasan biasanya dila-kukan dengan proses beberapa kali per-temuan terapi, untuk melatihkan kemampuan mengontrol rasa cemas pada penderita kecemasan (Chen, 2009; Yildrim, 2006; Cheng, 2003; Cuijpers,2007; Dewi, 1998; Kweekkeboom, 2006).
Pada penelitian ini peneliti mendapatkan hasil perubahan cukup signifikan. Subjek mampu secara bertahap menurunkan tingkat kecemasan secara umum maupun pada kondisi-kondisi yang selalu membuatnya cemas, dengan proses beberapa kali pertemuan yang intensif. Pada tahap awal pra terapi tingkat kecemasan subjek berada pada tingkat 3 (kecemasan tinggi), secara bertahap turun yang kemudian pada tahap Follow Up tingkat kecemasannya berada pada tingkat 1 (kecemasan rendah).
Dalam penelitian Chen (2009), kemampuan mengontrol reaksi cemas yang muncul pada saat menurunya kecemasan merupakan efek dari proses relaksasi yang dilakukan. Penelitian Dugue (2002) kemampuan penderita kecemasan melakukan relaksasi, mem-bantu mereka menurunkan reaksi fisik yang dirasakan dan detak jantung yang cepat, sehingga mampu membuat lebih tenang dan stabil. Penelitian Cheung (2003) pada penderita kanker, menun-jukkan hasil bahwa relaksasi otot progresif mampu memberikan efek positif pada kualitas hidup penderita kanker.
Menurunnya reaksi fisik disaat kecemasan menurun membuat subjek mampu mengontrol rasa cemas yang dirasakan. Perubahan yang terjadi pada subjek merupakan suatu proses bertahap yang harus diusahakan. Dalam hal ini motivasi yang tinggi dan kemauan yang kuat dari subjek dapat sangat membantu atas keberhasilan proses ini. Teknik relaksasi otot progresif ini bekerja pada otot-otot yang tegang disaat subjek merasa cemas. Relaksasi Otot Progresif mampu merilekskan otot-otot yang tegang tersebut, sehingga membantu subjek mengontrol kecemasannya.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian efektifitas relaksasi progresif terhadap penderita gangguan cemas menyeluruh melalui pendekatan kualitatif, maka dapat disimpulkan:
1. Klien yang dijadikan sebagai subyek penelitian, memiliki sifat pencemas dan reaktif pada masalah yang dihadapi. Ini berarti memiliki sifat mudah cemas dan cara menyikapinya berlebihan bila menemui situasi yang tidak pasti dan sulit. Hal ini terjadi karena klien kurang dapat mengem-bangkan pikiran dan perasaan yang positif sehingga membatasi klien untuk berpikir dan bertindak yang adaptif.
2. Keterbatasan penelitian ini adalah pemantauan terapis dalam monitoringnya langsung untuk melihat seberapa jauh perkembangan yang dilakukan subyek dalam mematuhi terapi, karena terapis sulit memantau ke rumah subyek. Namun demikian pemantauan terapis selama subyek melakukan di rumah masih berjalan dengan baik dan hasilnya tidak menge-cewakan.
3. Pemberian relaksasi progresif sebagai upaya untuk mengubah pikiran dan perasaan klien agar lebih adaptif terhadap situasi yang terjadi pada dirinya merupakan salah satu upaya terapi yang dilakukan pada penderita gangguan cemas menyeluruh. Terapi relaksasi progresif mampu merubah simtom-simtom yang mengganggu klien dengan cara mengarahkan pikiran dan fisik lebih selaras dalam merespon suatu stimulus.
Pada dasarnya relaksasi pro-gresif dapat digunakan sebagai salah satu alternative terapi bagi penderita gangguan cemas menyeluruh, khususnya untuk mengontrol kecemasan dengan merilekskan otot-otot yang tegang. Dalam konteks penelitian ini, dihasilkan bahwa relaksasi progresif cukup efektif pada penderita gangguan cemas menye-luruh.
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut :
Setelah menggunakan terapi relaksasi progresif mampu merubah simtom-simtom yang mengganggu klien dengan cara mengarahkan pikiran dan fisik lebih selaras dalam merespon suatu stimulus. Hendaknya masih melanjutkan terapi ini secara teratur dan menyesuaikan dengan kondisi yang ada pada dirinya. Agar perubahan yang saat ini dirasakan klien tetap dalam batas yang wajar dan terkendali dalam mengontrol tingkat kecemasan yang dialami. Terapi ini dapat digunakan penderita lainya yang memiliki masalah yang sama dalam mengatasi gangguan yang dialami.
Dalam penelitian ini masih ada beberapa keterbatasan. Keterbatasan dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai antisipasi bagi peneliti selanjutnya, yang juga ingin meneliti tentang kondisi kecemasan atau kasus Gangguan Kecemasan Menye-luruh atau GAD. Berikut penjelasan beberapa kekurangan dalam penelitian ini:
1. Tidak terlibatnya terapis dalam proses monitoring di rumah. Pada setiap proses intervensi, terapis melakukan monitoring langsung kepada subjek pada saat di luar proses terapi.
2. Dalam penelitian ini keterbatasan penelitian pada poin a menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, karena pemantauan terapis terhadap subjek dengan monitoring langsung ke rumah, untuk melihat seberapa jauh perkembangan yang didapatkan subjek jika tidak sedang berada dalam proses terapi. Keterbatasan ini terjadi dikarenakan aktivitas subjek yang cukup tinggi, sehingga waktu untuk dia berada di rumah sedikit, kebanyakan waktu hanya pada malam hari, dan ini tidak memungkinkan untuk terapis memantau ke rumah subjek. Keterbatasan penelitian menjadi sangat penting untuk mengukur tingkat obyektifitas sebuah pengukuran. Penggunaan alat ukur yang objektif untuk melihat sejauh mana penurunan tingkat kecemasan terhadap subjek, sebagaimana yang dianjurkan Kazdin (1998) seperti BAI (Beck Anxiety Inventory) untuk melihat tingkat kecemasan seseorang tidak dilakukan dalam penelitian.
3. Penelitian ini masih menekankan pada pendekatan behavior. Bagi peneliti lain yang hendak meneliti masalah yang sama, dapat menggunakan pendekatan kognitif yang merupakan pendekatan yang sangat penting dalam merubah perilaku subyek dari aspek kognisi selain pendekatan behavior.
Daftar Pustaka
Alley, B. & Lauren. (1999). Abnormal Psychology Current Pers-pective. Mc.Graw Hill : USA.
Chen, W.C., dkk. (2009).Efficacy of progressive muscle relaxa-tion training in reducing anxiety in patients with acute schizophrenia. Jurnal of clinical nursing, 18, 2187-2196
Cheung, Y.L., dkk. (2001). A Pilot Study on The Effect of Progressive Muscle Relaxation of Patients After Stoma Surgery. European journal of cancer care, 10. 107-114.
Cheung, Y.L, dkk. (2003). The Effect of Progressive Muscle Elaxation Training on Anxiety and Quality of Life After Stoma Surgery in Colorectal Cancer Patient. Psycho-Oncology. 12. 254-266.
Corey, G. (1995). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung. Penerbit PT. Eresco.
Davis, M., Elizabeth, R.E., & Matthew, M. (1995). The Relaxation dan Stress reduction workbook. USA. MJF books:
Davison, G.C & Neale, K.(2006). Psikologi Abnormal. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Dierendonck, D.V., & Jan, T.N. (2005). Flotation Restricted Environ-mental Stimulation Therapy (REST) as a Stress-Management Tool:A Meta-Analysis. Psychology and Health, 20 (03), 405-412.
Duran, V.M., & Barlow, D.H. (2006). Psikologi Abnormal. Yogya-karta. Pustaka Pelajar.
Fitriah, A. (2012). http://ngobro lpsikologi.blogspot.com/2012/05/teknik-relaksasi-otot-progresif-pada.html diakses 15 jan 2013.
Glaister, B. (1982). Muscle Relaxation Training for Fear Reduction of Patients with Psychological Problems: A review of controlled studies. Behav.res.ther. 20. 493-504.
Goodwin, C.J.,(2005). Research in psychology method and design. Fourth Edition. USA. John Wiley & Son, Inc.
Herbert, Martin. (2006). Clinical Child and Andolecent Psychology From Theory to Practice. Third Edition. University of Exeter : England. Jhon Willey and Son Ltd.
Ikwan, M. (2011). Kaplan & Sadock, (2010). Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke- 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kazdin, A.E.(1998). Research design in clinical psychology. Washing-ton DC: America Psychological Association.
Kustanti, E., Widodo, A. (2008). Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Perubahan Status Mental Klien Skizo-prenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surabaya. Berita Ilmu Keperawatan. Vol 1. no. 3. 131-136
Latipun. (2006). Psikologi Eksperimen, Malang : Malang Press. Universitas Muhammadiyah.
Medicastore. Penyakit Kecemasan Menyeluruh.http://medicastore.com/Penyakit_Kecemasan_Menyeluruh.htm/ diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
Miltenberger, R.G. (2004). Behavior Modification Principle and Procedures. USA .Wadsworth.
Nevid, J.S., Rathus, S.A., Green, E.B. (2005). Psikologi abnormal. Jakarta. Erlangga.
Prawitasari, J. E., (2002). Psikologi Klinis Pengantar Terapan Mikro dan Makro. Jakarta, Erlangga.
Program Studi Magister Profesi Psikologi, (2011). Bahan Ajar Modifikasi Perilaku. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Rappe, RM. (1991). Generalized anxiety disorder: a review of clinical features and theoretical concepts. Clinical psychology review. 11. 419-440.
Romadhon, Y.A. (2002). Gambaran klinik psikofarmaka pada penderita gangguan kecemasan. Cermin dunia kedokteran. 135.
Sadock, K. (1997). Sinopsis psikiatri. Jakarta. Bina Aksara.
Sani, Ibrahim Ayub. (2012). Panik Neurosis dan Gangguan Cemas. Tangerang. Jelajah Nusa.
Spiegler, M.D., & Guevremont, D.C. (2003). Contemporary behavior therapy, Fourth Edition. USA. Thompson Wadsworth.
Stuart, & Sudeen. (1995). Principles & Practice of Psychiatric Nursing. 5th ed. Publisher: Mosby, Incorporated.
Subandi, M.A (Ed). (2002). Psikoterapi Pendekatan Konvensional & Kontemporer. Yogyakarta. Pus-taka pelajar.
Suparmi & Widianingtanti, L, T., (2008). Relaksasi pada Ibu Hamil. Jurnal Psikodimensia No. 1 Vol. 7 Fakultas Psikologi: Semarang. Universitas Katolik Soegija-prana,
Tawi, Mirzal. http://syehaceh.wordpress. com/2012/08/03/pengukuran-tingkat-kecemasan/ diakses 19 Pebruari 2013
Thobaben M. (2008). Client Asses-sment: Generalized Anxiety Disorder. Home health care management practice. 21. 1. 67-69.
Van Boeijen, C.A., dkk. (2007). Treatmen of Panic Disorder and/or Generalized Anxiety Disorder with a Guided Self-Help Manual. Clinical case studies. 6. 3. 277-291.
Wahyuni, E.S. (2006). Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap penurunan tingkat kecemasan lansia di Panti wredha griya asih Lawang kab. Malang. Tugas Akhir Akper (tidak diterbitkan). UMM
Woody, S & Rachman, S. (1994). Generalized anxiety disorder (GAD) as an unsuccessful search for safety. Clinical psychology review. 14.8. 743-753.
www.majalah-farmacia.com. Majalah Farmacia Edisi Desember 2007, Vol.7 diakses 3 januari 2013.
Yildirim, Y.K. (2006). The Effect of Progressive Muscle Relaxation Training on Anxiety Levels and Quality of Life in Dialysis Patients. EDNA/ERLA journal, 22. 86-88.
Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya