Artikel 5

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 488 kali

PERBEDAAN KEMAMPUAN BERSOSIALISASI ANTARA SISWA SMA YANG MENGIKUTI PROGRAM REGULER DENGAN YANG MENGIKUTI PROGRAM AKSELERASI

 

Eva Damayanti , Devita Tihas Octavianti

Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

Abstrak

 

Tujuan penelitian ini  melihat adakah perbedaan keterampilan sosial antara remaja madya usia 15-18 tahun yang mengikuti program reguler dengan yang mengikuti program akselerasi di SMU. Fenomena sosial yang muncul di dalam sekolah penyelenggara program akselerasi adalah padatnya jam belajar peserta didik dan banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari. Peserta didik kehilangan waktu untuk bermain maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas akselerasi dan siswa kelas reguler di SMU 1 Sidoarjo dengan jumlah siswa 80 orang. Total dari siswa kelas akselerasi sebagai subyek penelitian adalah 40 orang. Sedangkan siswa kelas regular di SMU 1 Sidoarjo dengan jumlah 40 orang.  Penelitian akan menggunakan uji t. hasil perhitungan analisa uji t untuk kemampuan bersosialisasi siswa kelas regular dan kelas akselerasi diperoleh t sebesar 2,984 pada taraf signifikansi ( p ) = 0,004 ( p ) < 0,01 hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan atau  adanya perbedaan antara kelas regular dan kelas akselerasi dalam hal kemampuan bersosialisasi.

 

Kata Kunci: Kemampuan Bersosialisasi, Program Akselerasi

 


Pendahuluan

Selama ini di Indonesia siswa yang mempunyai kecerdasan dan kemampuan di atas rata-rata masih diberi pelayanan pendidikan yang sama dengan anak-anak yang memiliki kecerdasan dan kemanpuan rata-rata. Siswa yang mempunyai kecerdasan dan kemampuan di atas rata-rata tersebut hanya disediakan kelas regular di tiap jenjang pendidikannya, sehingga dengan daya tangkap yang lebih cepat dalam memahami pelajaran dan menyelesaikan tugas yang diberikan, siswa yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata memiliki aktivitas yang tidak terarah ketika harus menunggu teman-teman yang lain dalam memahami atau menyelesaikan tugas pelajaran yang diberikan.

Kebutuhan pendidikan siswa berbakat ditinjau dari kepentingan siswa berbakat itu sendiri adalah yang berhubungan dengan pengembangan potensinya yang hebat. Untuk mewujudkan potensi yang hebat itu siswa berbakat membutuhkan peluang untuk mencapai aktualisasi potensi yang dimilikinya melalui penggunaan fungsi otak, peluang untuk berinteraksi, dan pengembangan kreativitas dan motivasi internal untuk belajar berprestasi.

Dari segi kepentingan masyarakat, siswa berbakat membutuhkan kepedulian, pengakomodasian, perwujudan lingkungan yang kaya dengan pengalaman, dan    kesempatan  siswa  berbakat   untuk  berlatih  secara  nyata   (www.pustaka.ut.ac.id- Mei 2009 ).

 Sebagai makhluk sosial, seorang siswa dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Oleh karena itu, setiap siswa juga dituntut untuk memiliki kemampuan bersosialisasi atau kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Orang tua, keluarga, lingkungan, dan guru di sekolah mempunyai peran yang sangat penting dalam membangun kemampuan bersosialisasi pada siswa. Saat lingkungan sekitar siswa memberikan dukungan yang positif dan bersifat membangun, maka siswa akan memperoleh suatu pondasi untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang utuh, baik secara intelektual, emosional dan fisik (Gunawan, 2007 ) Kebutuhan akan keterampilan sosial ini juga menjadi sangat penting pada masa remaja karena individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Salah satu yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial seseorang adalah interaksi dan kesempatan untuk bersosialisasi di sekolah.

 Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia selama ini lebih banyak bersifat klasikal-massal, yaitu berorientasi pada kuantitas untuk dapat melayani sebanyak-banyaknya jumlah siswa. Kelemahan yang tampak adalah belum terakomodasikannya kebutuhan individual siswa di luar kelompok siswa normal. Oleh karenanya potensi siswa tidak dapat disalurkan atau berkembang secara optimal ( www.ditplb.or.id- Mei 2009 ). Jika ditinjau dari kemampuan dan kecerdasannya, siswa dapat dikelompokkan dalam tiga tingkatan  (Widyastono,2001 ) yaitu siswa yang memiliki kemampuan; kecerdasan di bawah rata-rata; dan kecerdasan di atas rata-rata. Dari pengelompokan tersebut dapat diasumsikan bahwa setiap siswa mempunyai kebutuhan yang berbeda berkaitan dengan tingkat kecerdasannya. Sehingga pelayanan pendidikan yang diberikan harusnya juga dibedakan. Misalnya siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan rata-rata diberikan pendidikan dengan mengacu pada kurikulum yang berlaku secara nasional untuk kelas regular. Waktu yang diperlukan untuk menempuh tiap jenjang pendidikan di kelas regular adalah sebagai berikut: SD enam tahun, SLTP tiga tahun, dan SMU tiga tahun. Siswa yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata dan diatas rata-rata seharusnya mendapat pelayanan pendidikan khusus (  Tirtarahardja, 2005).

      Program percepatan belajar (akselerasi) adalah program layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa yang memiliki potensi kecedasan dan bakat istimewa untuk dapat menyelesaikan masa belajarnya lebih cepat dari siswa yang lain (program regular). Kehadiran program percepatan belajar atau lebih dikenal dengan program kelas akselerasi, memberikan layanan atau fasilitas terhadap siswa yang mempunyai kemampuan kecerdasan istimewa. Melalui layanan ini diharapkan peserta didik  yang mempunyai kriteria yang dipersyaratkan, mampu mengembangkan kecedasannya secara optimal. 

Program kelas akselerasi atau percepatan ini, dapat mengakibatkan siswa yang berusia muda berada dalam satu ruangan dengan siswa yang lebih tua. Jadi dimungkinkan juga di usia yang tergolong anak-anak akan berada satu ruangan dengan siswa yang tergolong usia remaja. Kepala Sekolah SMA Santa Ursula Jakarta Pusat, Moekti mengatakan kalau program kelas akselerasi kurang memperhatikan aspek sosial, siswa merasa super dan mereka kurang bisa bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya ( Kompas , 2004 )

            Seperti yang disampaikan oleh Psikolog Pendidikan, Royanto, program akselerasi sendiri sebenarnya bertujuan melayani siswa berbakat. Sebab, siswa berbakat ini akan cenderung merasa bosan jika harus mengikuti kelas biasa atau regular. Mereka tak lagi merasa tertantang, karena apa yang diajarkan guru di depan kelas menjadi sangat mudah. Di lingkungannya siswa juga sering tak sabar, karena dia merasa lebih banyak tahu daripada teman-temannya yang lain. Jika sudah demikian, mereka biasanya akan mencari perhatian dengan membuat ulah atau berkelakuan nakal, serta ada juga yang kemudian menjadi tak berprestasi atau disebut juga underachiever  ( Tabloid Ibu Anak , 2009 )

            Keuntungan program akselerasi adalah kecakapan siswa akan terpupuk serta waktu belajar yang ditempuh lebih singkat, siswa juga dapat mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Kelemahan program akselerasi adalah yang diperhatikan hanya keaktifannya saja ; kurang memperhatikan hal lain seperti hubungan sosial, ekonomi, emosi, kemasakan jasmani ; serta adanya pelajaran yang terputus karena terlalu banyaknya materi yang diterima siswa  Tirtonegoro, 2001 (dalam Gunawan,2007).

Fenomena sosial yang muncul di dalam sekolah penyelenggara program akselerasi adalah padatnya jam belajar peserta didik dan banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari. Semua itu bermuara pada perampasan hak-hak peserta didik dalam kehidupannya. Peserta didik kehilangan waktu untuk bermain maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Kelas akselerasi memberikan beban yang berlebihan karena penempatan durasi sekolah menjadi dua tahun secara tidak langsung membuat materi yang diberikan jauh lebih padat. Beban berlebihan justru membuat siswa tak berkembang. Hal ini pada akhirnya berakibat pada  terkucilnya peserta didik dari lingkungannya ( Jawa Pos, 2007 ). Peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk belajar dengan dunianya atau dengan lingkungannya bagaimana cara menghargai orang lain, berempati terhadap orang lain, mengendalikan perasaan dan lain sebagainya, yang semuanya berkaitan dengan masalah emosionalnya. Padahal semua yang berkaitan dengan masalah emosional sangat penting sekali bagi seseorang apabila ia ingin berhasil dalam kehidupannya. Aspek kemampuan kognisi saja tidak cukup bagi seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya.

Hasil penelitian seorang mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Nuraida ( Jawa Pos, 2005 ) menunjukkan hasil skor tes pengukuran kecerdasan emosional kelas akselerasi lebih rendah daripada siswa regular, hal tersebut dikarenakan siswa di kelas akselerasi berpotensi menjadi siswa yang kurang pergaulan karena beban materi yang diberikan sekolah membatasi waktu sosialisasi siswa tersebut. Siswa merasa terkucilkan di lingkungan sekolah dan sulit mencari teman bermain. Siswa tersebut kurang pergaulan karena harus mempelajari materi dan mengerjakan tugas sekolah yang sangat banyak.Permasalahan sosialisasi antara kelas reguler dan akselerasi sulit dihindari. Demikian juga yang terjadi pada Bhima ( Kompas, 2004 ), ibunya sempat kaget ketika putranya Bhima cerita kalau teman-temannya di kelas reguler ( saat SMP ) mengatakan bahwa kelas akselerasinya tidak diakui sebagai satu angkatan dengan murid yang masuk bersamaan ke sekolah itu hanya karena waktu lulusnya berbeda, atau sebaliknya siswa kelas tiga masih menganggap mereka baru kelas dua. Hal itu karena waktu belajar yang umumnya ditempuh tiga tahun, di kelas akselerasi dengan pemadatan materi menjadi dipercepat dan hanya berlangsung dua tahun. Sebagian guru mereka atau hampir semua guru kelas akselerasi mengatakan bahwa siswa kelas akselerasi sangat berbeda dengan anak-anak kelas reguler bahkan cenderung aneh. Mereka sangat jarang yang mau bergabung ramai-ramai dengan kelas reguler, mereka cenderung menyendiri dengan temen-teman sekelasnya, sebenarnya tidak juga merasa "eksklusif" tetapi dikarenakan mereka merasa sepenanggungan dalam menerima "beban" akselerasi.

Selain program reguler, ada remaja berbakat yang mengikuti program akselerasi di sekolahnya. Program akselerasi adalah percepatan masa belajar dari tiga tahun menjadi  dua tahun. Banyak permasalahan yang timbul dan juga pro kontra dari diadakannya proram akselerasi ini terhadap kehidupan sosial siswanya. Program akselerasi dianggap kurang dapat memenuhi kebutuhan sosialisasi siswa karena kepadatan materi yang diberikan ( Jawa Pos, 2007 ). Oleh karena itulah penelitian ini  ingin melihat apakah ada perbedaan keterampilan sosial antara remaja madya usia 15-18 tahun yang mengikuti program reguler dengan yang mengikuti program akselerasi di SMU.

 

Metode Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah siswa SMU yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu X1 = siswa  yang mengikuti kelas akselerasi; dan X2 = siswa yang mengikuti program pembelajaran reguler. Sedangkan variabel tergantung adalah kemampuan bersosialisasi.

Kemampuan bersosialisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan menyesuaikan diri pada remaja di lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah, terutama penyesuaian diri dengan kelompok teman sebaya dan teman- teman disekolahnya. Kemampuan bersosialisasi tersebut akan diukur dengan menggunakan sebuah skala yang terdiri dari sejumlah aitem yang disusun  berdasarkan indikator dari ciri-ciri individu yang mempunyai kemampuan bersosialisasi, yaitu: kemampuan berperan aktif, kemampuan bekerjasama dengan orang lain, kemampuan mengikuti norma masyarakat dan melaksanakan peran yang sesuai dengan norma kemasyarakatan.

Dalam penelitian ini siswa kelas akselerasi adalah siswa-siswa yang mempunyai petensi IQ ( di atas 125 ) dan bakat istimewa yang dalam menyelesaikan masa belajarnya lebih cepat dari siswa yang lain ( program reguler). Selain itu, siswa bisa berada dalam satu ruangan dengan siswa yang usianya lebih muda. Program akselerasi ini memberikan fasilitas terhadap siswa yang mempunyai kemampuan kecerdasan istimewa agar dapat  mengembangkan kemampuan berpikir atau bernalar serta pengembangan kreatifitas siswa;  memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat menyelesaikan program pendidikan secara lebih cepat; serta memacu diri siswa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional secara seimbang.

Siswa kelas regular adalah sekumpulan siswa di sekolah umum yang mendapat program belajar berlandaskan pada kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang mengarah pada pendidikan yang bersifat umum. Penyelenggaraan pendidikan secara regular yang dilaksanakan saat ini bersifat massal, yaitu berorientasi pada kuantitas untuk dapat melayani sebanyak-banyaknya jumlah siswa. Pendidikan menengah regular berfungsi sebagai lanjutan dan perluasan pendidikan dasar, serta untuk mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan tinggi ataupun memasuki lapangan kerja .

Subyek penelitian ini adalah siswa kelas akselerasi dan siswa kelas reguler di SMU 1 Sidoarjo dengan jumlah siswa 80 orang. Total dari siswa kelas akselerasi sebagai subyek penelitian adalah 40 orang. Sedangkan siswa kelas regular di SMU 1 Sidoarjo dengan jumlah 40 orang. Subyek penelitian ini berjenis kelamin laki-laki dan perempuan . Berdasarkan keterangan dari Kantor Dinas Pendidikan Sidoarjo, sekolah menengah tersebut merupakan sekolah yang memiliki program akselerasi dan program reguler. Kemudian dalam mengambil data atau pemilihan sampel dengan teknik Purposive sampling, yaitu pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atu sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala. Asumsi penelitian menggunakan metode skala dalam penelitian ini menurut Hadi ( 2001 ) adalah sebagai berikut: a) adanya pertimbangan bahwa subyek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri; b) apa yang dinyatakan subyek penelitian adalah benar dan dapat dipercaya; c) interpretasi subyek tentang pernyataan yang diajukan adalah sama dengan apa yang dimaksud peneliti.

Dalam penelitian ini metode pengumpulan datanya menggunakan skala Likert dengan skala kemampuan bersosialisasi yang disusun berdasarkan indikator-indikator sebagai berikut: kemampuan berperan aktif, kemampuanbekerjasama dengan orang lain, kemampuan mengikuti norma masyarakat dan melaksanakan peran yang sesuai dengan norma kemasyarakatan.

Pada penelitian ini, tipe validitas yang digunakan adalah validitas isi (Content Validity) Aitem berkorelasi positif dengan skor total (Hadi, 1991). Hasil uji validitas pada skala kemampuan bersosialisasi siswa menggunakan tingkat validitas dengan taraf signifikansi ( p ) < 0,05. Perhitungan validitas aitem dan realibilitas aitem dalam penelitian ini menggunakan seri program statistik (SPS-2000) edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih, Universitas Gajah Mada, versi IBM / IN tahun 1999.

Untuk menguji hipotesis penelitian akan digunakan uji t, karena bertujuan untuk melihat perbedaan kemampuan bersosialisasi pada siswa yang mengikuti program akselerasi dengan yang mengikuti pembelajaran reguler.

 

Hasil Penelitian

Dari hasil perhitungan analisa uji t untuk kemampuan bersosialisasi siswa kelas regular dan kelas akselerasi diperoleh t sebesar 2,984 pada taraf signifikansi ( p ) = 0,004 ( p ) < 0,01 hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan atau  adanya perbedaan antara kelas regular dan kelas akselerasi dalam hal kemampuan bersosialisasi.

Hipotesa yang berbunyi adanya perbedaan kemampuan bersosialisasi antara siswa regular dan siswa akselerasi dapat diterima. Demikian pula dengan asumsi bahwa kelas regular memiliki kemampuan bersosialisasi yang lebih tinggi daripada kelas akselerasi juga dapat diterima.

Hasil analisis data juga diketahui rerata empiris A1 (siswa kelas reguler)=157,700 dengan rerata empiris A2 ( siswa kelas akselerasi )= 144,425 yang berarti adanya perbedaan kemampuan bersosialisasi antara siswa regular dengan siswa akselerasi, dimana kemampuan bersosialisasi siswa regular lebih tinggi daripada siswa kelas akselerasi.

Dari hasil analisis data menunjukkan baik siswa regular maupun siswa akselerasi memiliki rerata empiris yang lebih besar daripada rerata hipotesis= 125. Ini mengungkapkan bahwa intensitas variabel kemampuan bersosialisasi antara siswa regular dan siswa akselerasi bearda pada kategori tinggi. Hal ini diketahui dari Mean Hipotesis < Mean Empiris.

 

Pembahasan

Berdasarkan hasil perhitungan analisis data diketahui bahwa adanya perbedaan kemampuan bersosialisasi antara siswa regular dan siswa akselerasi. Hipotesa yang berbunyi adanya perbedaan kemampuan bersosialisasi antara siswa regular dan siswa akselerasi dapat diterima. Demikian pula dengan hipotesa bahwa kelas regular memiliki kemampuan bersosialisasi yang lebih tinggi daripada kelas akselerasi juga dapat diterima.

Diterimanya hipotesa tersebut dapat dilihat dari  siswa kelas akselerasi, yaitu siswa yang mempunyai keceradasan dan kemampuan di atas rata-rata tersebut, dengan kegiatan pendidikan yang begitu banyak, tampak kecerdasan intelektual saja yang dipentingkan sekolah untuk mempersiapkan siswa untuk menuju kehidupan yang kompetitif. Siswa disibukkan dengan berbagai tugas sekolah, dan target nilai yang di atas rata-rata, sehingga seringkali waktu untuk siswa menjalani kehidupan sosial menjadi berkurang . Jam sekolah yang lebih lama dari kelas regular serta tugas-tugas sekolah yang lebih banyak, membuat siswa kelas akselerasi cenderung menutup diri dan menjadi kurang dapat bersikap sosial terhadap lingkungannya. Selain itu, di dalam kelas akselerasi ada beberapa siswa berada dalam satu ruangan dengan teman yang tidak sebaya, atau dapat mempunyai teman sekelas yang usianya lebih muda. Kondisi tersebut dapat menghambat kemampuan bersosialisasi pada siswa , karena dengan usia yang tidak sebaya, penampilan, sikap dan perilakunya juga berbeda, demikian juga dengan cara berpikirnya pun berbeda. Pada situasi seperti itu, kemampuan bersosialisasi pada siswa bisa terhambat dan suasana di kelas menjadi tidak nyaman karena adanya siswa yang tidak sebaya.

Para siswa akselerasi juga mendapatkan perlakuan khusus di lingkungan sekolahnya. Hal tersebut dapat dilihat dari ruangan kelas akselerasi yang terpisah dari kelas regular dan memiliki fasilitas yang lebih memadai daripada kelas reguler, hal tersebut membuat mereka lebih senang menghabiskan waktunya di dalam kelas daripada keluar kelas untuk bersosialisasi, sehingga mereka jarang berinteraksi dengan teman kelas regularnya. Siswa akselerasi hanya mengenal teman-teman sekelasnya saja, sehingga terkesan “eksklusif”, hal tersebut dapat juga menghambat berkembangnya kemampuan bersosialisasi pada siswa akselerasi karena sebagian besar waktu para siswa tersebut dihabiskan di lingkungan sekolah.

Gambaran diatas tampak bahwa siswa akselerasi bisa saja mempercepat proses belajarnya tetapi akan cenderung mengalami masalah sosial dan emosional yaitu ketika anak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dalam hal ini siswa harus berada satu kelas dengan murid yang tidak sebaya dan pada gilirannya akan mengalami hambatan dalam kemampuan bersosialisasi pada siswa. Kondisi-kondisi tersebut didasari adanya beberapa teori yang menyatakan bahwa perkembangan psikologis tidak selalu seiring dengan kemampuan akademis ( Goleman, 2004 ).

Berbeda dengan situasi di kelas akselerasi, siswa yang berada di kelas regular mempunyai teman sebaya dalam satu kelas dengan waktu penyelesaian jenjang pendidikan tetap sama, yaitu selama tiga tahun. .Keadaan tersebut bisa membuat kemampuan bersosialisasi siswa kelas regular lebih baik daripada siswa-siswa kelas akselerasi. Adanya teman-teman yang sebaya dalam satu ruangan memungkinkan siswa-siswa kelas regular mempunyai teman-teman dengan kesamaan ciri pada masa yang sama, yaitu remaja. Kesamaan ciri tersebut akan tampak melalui cara berpenampilan, sikap dan perilaku serta cara berpikir. Pada masa remaja peran kelompok teman sebaya sangat besar. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya.

Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya. Hal tersebut juga yang membuat siswa kelas regular memiliki kemampuan bersosialisasi lebih tinggi daripada siswa akselerasi

Sebagaimana telah disebutkan bahwa sebagian besar waktu yang dihabiskan pada masa remaja adalah di lingkungan sekolah, sehingga dapat dikatakan bahwa lingkungan sekolah dapat memberi pengaruh yang cukup besar terhadap proses perkembangan remaja, khususnya kemampuan bersoialisasi. Demikian pula yang terjadi pada siswa-siswa akselerasi dan kelas regular.

Sehingga dapat diketahui perbedaan kemampuan bersosialisasi antara siswa akselerasa dan kelas regular yaitu siswa akselerasi memiliki jam sekolah yang lebih lama dari kelas regular serta tugas-tugas sekolah yang lebih banyak, membuat siswa kelas akselerasi cenderung menutup diri dan menjadi kurang dapat bersikap sosial terhadap lingkungan. Selain itu, di dalam kelas akselerasi ada beberapa siswa yang berada dalam satu ruangan dengan teman yang tidak sebaya, atau dapat mempunyai teman sekelas yang usianya lebih muda. Kondisi tersebut dapat menghambat kemampuan bersosialisasi pada siswa akselerasi, karena dengan usia yang tidak sebaya, penampilan, sikap dan perilakunya juga berbeda, demikian juga dengan cara berpikirnya pun berbeda. Sedangkan pada siswa kelas regular mempunyai teman sebaya dalam satu kelas dengan waktu penyelesaian jenjang pendidikan tetap sama selama tiga tahun. Keadaan tersebut bisa membuat kemampuan bersosialisasi siswa kelas regular lebih baik daripada siswa-siswa kelas akselerasi. Lingkungan sekolah dapat memberi pengaruh yang cukup besar terhadap proses perkembangan remaja, khususnya kemampuan bersoialisasi. Demikian pula yang terjadi pada siswa-siswa akselerasi dan kelas regular.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa diterimanya hipotesa karena tampak beberapa faktor yang memang mendukung siswa regular mempunyai kemampuan bersosialisasi lebih baik daripada siswa akselerasi.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Goleman, Daniel. 2004. Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hadi. Sutrisno. 2002. Metodelogi Research 3. Yogyakarta. Andi Offset

Kartono, Kartini. 2000. Psikologi Remaja. Bandung: Mandar Maju

Nasution,S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill

Poerwadarminta.1985. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali

Pramadi Andrian.1996.Hubungan Antra Kemampuan Penyesuaian Diri Terhadap Tuntutan Tugas Dan Hasil Kerja. ANIMA ( Jurnal Penelitian Kajian Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Surabaya).

Reni Akbar,Hawadi. 2004. Akselerasi. Jakarta: PT. Gramedi Widia Sarana Indonesia

Rumini,Sri dan Sundari, Siti.2004. Perkembangan Anak Dan Remaja.Jakarta. RINEKA CIPTA

Santrock, W, Jhon. 2002. Live Span Develepment (Perkembangan Masa Hidup). Edisi kelima. Alih bahasa : Achmad Chusairi. Jakarta. Erlangga

Widyastono, Herry.2001. Sistem Percepatan Kelas (Aksel) Bagi Siswa Yang Memiliki Kemampuan dan Kecerdasan Luar Biasa. Retrived Augustus,31,2009 from www.pdk.go.id

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya