Artikel 5

Jumat,10 Mei 2019 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 895 kali

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI PEMAIN SEPAK BOLA PROFESIONAL DENGAN KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF TERHADAP WASIT

DI LIGA INDONESIA

 

Dyan Evita Santi & Fajar Ainurrofiq

Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

Abstrak

 

 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi pemain sepak bola professional dengan kecenderungan berperilaku agresif terhadap wasit di Liga Indonesia. Subjek penelitian ini adalah pemain sepak bola professional dari  tim PERSELA ( Lamongan) dan PERSEWANGI (Banyuwangi). Sampel yang digunakan adalah 31 responden.Menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan teknik analisis data product moment.Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negative yang sangat signifikan antara kematangan emosi pemain sepak bola professional  dengan kecenderungan berperilaku agresif terhadap wasit di LIGA Indonesia,dengan koefisien Korelasi (rxy) =  - 0,706 pada taraf signifikansi (p) = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa makin tinggi kematangan emosi pemain sepak bola profesional, makin rendah kecenderungan untuk berperilaku agresif pada wasit di Liga Indonesia. Demikian pula sebaliknya, makin rendah kematangan emosi, makin tinggi kecenderungan untuk berperilaku agresif.

 

Kata Kunci: Kematangan emosi, Kecenderungan berperilaku agresif

 

 


 Pendahuluan

Sepak bola merupakan salah satu bentuk olah raga yang memiliki sejarah sejalan dengan perkem-bangan manusia. Bisa dikatakan tidak ada satupun masyarakat yang tersebar di penjuru bumi ini yang tidak mengenal olah raga yang disebut sepak bola. Perjalanan sejarah menunjukkan, bahwa sepak bola sudah dimainkan sejak awal Masehi (Muray, 1996).Bagian terpenting dalam pertandingan sepak bola salah satunya adalah peran dari wasit, Tegaknya peraturan dalam olahraga sepak bola dilapangan bergantung kepada wasit yang memimpin pertandingan. Hal ini dikarenakan wasit adalah pengatur, pengadil dan penegak aturan pertan-dingan di lapangan. Wasit mempunyai hak penuh pada suatu pertandingan untuk menerapkan aturan yang berkenaan kepada pemain, tim sepak bola, pelatih dan Ofisial sebuah tim. Karenanya wasit pertandingan dilindungi sepenuhnya oleh badan sepak bola dunia FIFA. Hal ini sebagaimana tertuang pada FIFA Laws of The Game 2010/2011 aturan V –  VI.

Wasit dilapangan juga punya peran yang menentukan kualitas suatu pertandingan serta kenyamanan suatu pertandingan untuk dinikmati para penonton. Sehingga sedikit saja kesalahanyang dilakukan oleh seorang wasit maka akan menodai pertandingan tersebut. Dalam suatu pertandingan apakah sebuah gol bisa sah dan tidak sah, pelanggaran bisa mendapatkan hukuman pinalti atau tendangan bebas, pemain layak diberi kartu kuning atau langsung mendapat hukuman kartu merah, serta keputusan-keputusan lainnya merupakan keputusan penting yang

 

menjadi beban tersendiri bagi seorang wasit.Selain wasit suatu pertandingan sepakbola juga dibantu oleh asisten wasit (sebelumnya disebut hakim garis). Asisten bertugas membawa bendera untuk memberi tanda kepada wasit utama jika terjadi pelanggaran atau menyatakan bola

 

meninggalkan lapangan. Keputusan wasit harus didiskusikan dengan asisten wasit yang berjumlah 2 orang di setiap pertandingan.

Mengingat beratnya tanggung jawab seorang wasit pertandingan sepak bola, maka untuk menjadi wasit diperlukan adanya sebuah lisensi. Di Indonesia, wasit sepakbola yang sudah memiliki lisensi dari Badan Sepak bola Dunia (FIFA) diperkirakan sudah semakin bertambah jumlahnya, dan hal ini tentu merupakan suatu kemajuan pada dunia sepak bola nasional. Namun jumlah yang makin bertambah tersebut ternyata masih tergolong minim bahkan bisa dihitung dengan jari. Hal ini karena untuk dapat lolos menjadi wasit FIFA harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, antara lain wasit tersebut harus mengikuti program Kepelatihan Konfederasi Sepak bola Asia (AFC).

Masalah wasit adalah masalah klasik   sepak bola, khususnya di Indonesia. Terlalu banyak dan beratnya tekanan dari tim maupun suporter seringkali membuat wasit lupa akan peraturan dan takut untuk bertindak sesuai peraturan. Hal ini mungkin tidak terlepas dari timbulnya budaya bahwa wasit di Indonesia merupakan suatu profesi dan umumnya adalah pekerjaan utama.Namun menjadi wasit sepakbola mungkin bukan sebuah cita-cita bagi banyak orang, apalagi di Indonesia.Padahal di luar negeri, profesi menjadi seorang wasit bisa jadi hanya sekedar pekerjaan sampingan.Misalnya, Ravshan Irmatov, wasit terbaik Asia 2011 profesi utamanya adalah instruktur di sebuah sekolah sepakbola. Howard Webb, dulunya adalah seorang polisi, yang kemudian berhenti lalu menjadi wasit profesional FIFA.

Meski wasit adalah seorang pengadil di

lapangan hijau, kenyataannya, wasit malah sering diperlakukan tidak adil. Hal ini karena umumnya pemain dan suporter di Indonesia belum bisa bersikap dewasa.Sebagai pengadil dan hakim di lapangan hijau, apapun keputusan wasit merupakan hukum yang sah, dan wajib dipatuhi serta dilaksa-nakan.Akan tetapi wasit juga manusia, yang bisa salah dan lupa. Sungguh pemandangan yang tidak manusiawi dan sangat menodai sikap fair play, disaat pemain membu-tuhkan wasit untuk memimpin pertandingan, namun pada saat yang bersamaan para pemain justru mengabaikan fungsi wasit sebagai hakim. Jika keputusan wasit dianggap tak sesuai, ataupun ada kesalahan dalam memimpin, wasit menjadi sasaran pengeroyokan dan pemukulan, dan tidak sedikit tim serta perangkat tim seperti pemain dan pelatih sepak bola yang berlabel profesional justru melakukan kekerasan terhadap wasit, padahal pemain sepak bola profesional adalah panutan dan contoh bagi generasi muda.

Beberapa kasusterkait tindak kekerasanterhadap wasit diantaranya adalah : penganiayaan terhadap wasit di IPL ( Indonesian Primer League ) pada tanggal 19 Mei 2012, wasit dikeroyok dalam pertandingan antara Persiba Bantul dan Semen Padang. Sementara di ISL (Indonesia Super Ligue ) pada tanggal 21 Mei 2012, wasit dianiaya sebagian pemain Persela Lamongan karena dianggap membela tuan rumah PSMS Medan. Kericuhan juga terjadi pada pertandingan KSB Sumbawa Barat melawan Persid di Divisi Utama.Pertandingan sempat terhenti beberapa menit, karena para pemain dan ofisial KSB Sumbawa Barat mengejar-kejar Asisten Wasit I yaitu Sutikno, usai Persid mencetak gol kemenangan pada menit 86.Setelah peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan dibunyikan, pemain dan ofisial Sumbawa Barat mengejar dan sempat mengeroyok wasit asal Semarang tersebut. Sutikno terpaksa diamankan oleh aparat kepolisian dalam insiden tersebut.

Selain kasus diatas masih banyak lagi terdapat kasus-kasus kekerasan yang sudah mengarah pada tindakkriminalitas.Misalnya yang terjadi pada wasit Muzair saat memimpin lanjutan kompetisi Divisi Utama antara tuan rumah Persibom Bolaang Mongondow vs PSIR Rembang di Stadion Gelora Ambang Bolaang Mongondow, pada tanggal 12 November 2008. Aksi pemukulan dipicu oleh keputusan Muzair yang memberikan hadiah penalti kepada tim tuan rumah Persibom pada menit 86. Merasa dirugikan, pemain-pemain PSIR langsung menye-rangnya dengan pukulan dan tendangan baik di bagian tubuh maupun wajah.  Muzair mengaku tak menduga keputusan itu bakal berbuah petaka. Apalagi, sejak 18 tahun bertugas sebagai wasit, Muzair belum pernah mendapat perlakuan kasar dari para pemain.

Kasus-kasus kekerasan pemain sepak bola terhadap wasit di Indonesia terbilang sudah sering terjadi, mulai dari tingkat bawah sampai tingkat teratas. Sehingga seharusnya mendapatkan perhatian yang serius oleh liga sepak bola professional Indonesia.Hal ini tentunya sangat memprihatinkan sekaligus menjadi aib bagi wajah persepakbolaan tanah air di kancah Internasional.Sementara itu di kompetisi-kompetisi Eropa, sangat jarang menemukan wasit yang dianiaya oleh pemain ataupun offisial.Padahal tak jarang dijumpai keputusan-keputusan wasit yang kontroversi.Sebagai contoh, pertan-dingan antara Tottenham Hotspur dengan Chelsea di semifinal Piala FA pada tanggal 15 April 2012.Pada pertandingan itu terjadi gol kontroversial dari Juan Mata (Chelsea), yang kabarnya bola belum melintasi gawang Hotspur namun telah disahkan oleh wasit.Meskipun pada kasus ini wasit terkesan kurang cermat dalam memberi keputusan, namun tak satu pun pemain Totenham Hotspur yang melakukan intimidasi dan berperilaku agresif terhadap wasit Martin Atkinson. Menanggapi kejadian tersebut, para pemain hanya sebatas melakukan protes keras atas keputusan kontroversial tersebut.

Adanya perbedaan kecen-derungan berperilaku agresif pada wasit, diasumsikan karena pemain profesional yang bermain di negara Eropa ataupun di negara selain Indonesia sangat memahami peran wasit sebagai pemimpin yang harus dihormati segala keputusan.Sehingga para pemain tersebut mengerti segala konsekuensi yang harus diterima jika melakukan tindakan agresi kepada wasit. Selain itu di Negara-negara tersebut akan menerapkan hukuman yang ketat dan berat bagi pemain-pemain yang mencederai aturan untuk bersikap fair play.Adanya hukuman ini jelas akan sangat mengancam karir pemain yang bersangkutan.Sehingga kalaupun ada timyang merasa ada kesalahan atau merasa curiga terhadap kepemim-pinan wasit, hal ini bisa diajukan pada pihak yang berwe-nang, dalam hal ini adalah otoritas tertinggi sepak bola di negara masing-masing. Kondisi-kondisi seperti ini diper-kirakan mampu mengendalikan sikap-sikap agresi yang mungkin akan ditunjukkan pemain kepada wasit, sekalipun jika ada keputusan wasit yang dianggap kurang tepat.

Kecenderungan berperilaku agresif pada pemain sepak bola diasumsikan tidak terlepas dari kematangan emosi para pemain yang tidak siap menerima kenyataan yang terjadi dilapangan.Kondisi mental yang belum siap menerima kekalahan dalam suatu pertandingan adalah konsekuensi yang seharusnya dimengerti oleh semua elemen tim. Covo (2005) mengemukakan kema-tangan emosi adalah kemampuan untuk mengekspresikan perasaan yang ada dalam diri secara yakin dan berani, yang diimbangi dengan pertimbangan-pertimbangan akan perasaan dan keyakinan akan individu lain.Rendahnya kematangan emosi inilah yang diasumsikan mempengaruhi munculnya kecende-rungan berperilaku agresif para pemain sepak bola terhadap wasit di Liga Indonesia. Dalam hal ini para pemain diperkirakan kurangmemiliki pertimbangan yang matang akan perasaan dan keyakinan akan individu lain, sehingga tega bertindak agresif. Kondisi ini akan berbeda pada individu-individu yang telah memiliki kematangan emosi. Individu yang matang secara emosi diperkirakan dapat mengembangkan emosi yang positif serta menge-liminir emosi-emosi negatif. Bahkan bentuk-bentuk emosi positif seperti rasa sayang, suka, dan cinta akan berkembang jadi lebih baik. Perkembangan bentuk emosi yang positif tersebut memungkinkan individu untuk mampu menye-suaikan diri dengan lingkungannya, dengan menerima dan membagikan kasih sayang baik untuk diri sendiri maupun orang lain.Dalam konteks sepak bola emosi positif semacam itu akan tumbuh menjadi rasa menghormati atau respect kepada lawan ataupun wasit baik atas kemenangan ataupun kekalahan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi merupakan suatu kondisi pencapaian tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi pada diri individu. Individu yang mencapai kematangan emosi ditandai oleh adanya kesanggupan mengendalikan perasaan dan tidak dapat dikuasai perasaan dalam mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri tetapi mempertimbangkan perasaan orang lain.

Berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi bahwa kematangan emosi merupakan elemen penting yang harus dimiliki semua elemen dalam tim sepak bola seperti pelatih, official dan khususnya pemain sebagai aktor lapangan hijau untuk menghindari kecenderungan berperilaku agresif yang bersifat negatif. Sehingga diharapkan kecenderungan berperilaku agresif terhadap wasit seperti seperti melukai wasit baik verbal maupun nonverbal dapat dihindari. Oleh karena itu penelitian ini mencoba membuktikan adanya hubungan antara kematangan emosi pemain sepak bola profesional dengan kecenderungan berperilaku agresif terhadap wasit

 

.

Metode Penelitian

Subjek penelitian ini adalah pemain sepak bola professional lokal maupun asing yang berlaga di ISL (Indonesia Super Leguae) dan di Divisi Utama.Menggunakan teknik sampling yaitu purposive samplingyaitu pemilihan sekelompok subyek penelitian didasarkan atas ciri- ciri atau sifat- sifat tertentu yang dipandang sesuai dengan ciri-ciri atau sifat-sifat

 

keadaan populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2000 ). Adapun ciri- ciri subyek dalam pengambilan sampel adalah sebagai berikut : a. Pemain professional  lokal maupun asing yang tergabung dalam Persela dan Persewangi; b. Pernah mengikuti pertandingan yang diadakan oleh Liga Indonesia ISL (Indonesian Super Leaguae) dan Divisi utama versi ISL.  Jumlah subjek penelitian ini adalah 31 responden.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantiatif dengan menggunakan skala sebagai metode pengum-pulan.Ada 2 skala yang digunakan yaitu skala kematangan emosi dan skala kecenderungan berperilaku agresif.Masing-masing skala meng-gunakan skala likert dengan 4 alternatif pilihan jawaban.

Hasil uji instrumen skala kematangan emosi menunjukkan dari 65 item terdapat29 item gugur dan 36item sahih dengan koefisien Corrected Aitem – Total Correlation  antara 0,313 - 0,778. Hasil uji instrumen skala kecenderungan berperilaku agresiyang menunjukkan dari50 item terdapat 12item gugur dan 36item sahih dengan koefisien Corrected Aitem – Total Correlationantara 0,310 - 0,867. 

Hasil Uji Reliabilitas menunjukkan bahwa skala kecende-rungan berperilaku agresif sebesar 0,959.Oleh karena koefisien Chonbach’s Alpha yang diperoleh lebih besar dari 0,50 maka Skala Kecenderungan Berperilaku  Agresif reliabel. Sedangkan hasil uji reliabilitas Skala Kematangan Emosi  sebesar0,897. Oleh karena koefisien Chonbach’s Alpha yang diperoleh lebih besar dari 0,50 maka Skala kematangan emosi juga tergolong reliabel.

Sesuai dengan tujuan penelitian dan karakteristik data yang dikumpulkan, analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik parametrik dengan teknik korelasi Produk Moment Pearson.Sebelum dilakukan analisa data, terlebih dulu dilakukan uji prasyarat analisis yaitu Uji Normalitas Sebaran dan Uji Linieritas Hubungan (Hadi, 2000).

Uji normalitas sebaran pada variabel Kecenderungan Berperilaku Agresi melalui Test of Normality Kolmogorof-Smirnovdan Shapiro-Wilk diperoleh koefisien signifikansi sebesar 0,000 untuk Kolmogorof-Smirnov dan untuk Shapiro-Wilk koefisien signifikansi sebesar 0,000. Oleh karena taraf signifikansi yang diperoleh lebih kecil dari 0,05 makaubahan Kecenderungan Berperilaku Agresi mempunyai sebaran  tidak normal.

Uji linieritas hubungan antara variable Kematangan Emosi dengan variable Kecenderungan Berperilaku Agresi diperoleh koefisien Deviation from Linearity sebesar 0,226.Oleh karena koefisien Deviation from Linieritylebih besar dari 0,05 maka antara antara variable Kematangan Emosi dengan variable Kecende-rungan Berperilaku Agresi mempu-nyai hubungan yang linier.

 

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil analisa Korelasi Momen Tangkar Pearson diperoleh koefisien Korelasi Pearson (rxy) sebesar = - 0,706 pada taraf signifikansi (p) = 0,000.

Oleh karena taraf signifikansi yang diperoleh lebih kecil dari 0,01 maka antara variable Kematangan Emosi dengan variable Kecenderungan Berperilaku Agresi  mempunyai hubungan  korelasi negatif dan  sangat  signifikan.  Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kematangan emosi seorang pemain maka semakin rendah kecenderungan berperilaku agresif terhadap wasit dalam pertandingan sepak bola.Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya sumbangan efektif sebesar 22,6 %.Hal ini berarti bahwa kematangan emosi menyumbang sebear 22,6% terhadap munculnya kecnederungan berperilaku agresif terhadap wasit.Sedangkan 77,4% lainnya adalah factor-faktor lain diluar kematangan emosi.

 

Pembahasan

Hasil penelitian ini menun-jukkan bahwa hipotesis penelitian yang berbunyi ada hubungan antara kematangan emosi pemain sepak bola profesional dengan kecende-rungan berperilaku agresif terhadap wasit di lapangan, dapat diterima. Hasil ini membuk-tikan bahwa munculnya kecende-rungan perilaku agresif pada wasit yang dilakukan oleh para pemain professional sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan emosi yang dimiliki oleh para pemain.Artinya makin matang emosi para pemain, makin rendah kecenderungan untuk melakukan perilaku agresif terhadap wasit. Demikian pula sebaliknya, makin rendah kematangan emosi, makin mudah menunjukkan perilaku agresif terhadap wasit. Hasil ini mengindikasikan bahwa untuk menghindari perilaku agresif terhadap wasit sebagaimana kasus-kasus yang sudah sering terjadi, dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kematangan emosi yang dimiliki oleh para pemain professional.

Walgito (2010) menyatakan bahwa kematangan emosi dan pikiran saling berkaitan.Individu yang telah matang emosiya, diperkirakan mampu mengendalikan emosinya, sehingga mampu berpikir secara objektif. Dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menye-lesaikan masalah, individu yang telah matang emosinya akan lebih mudah dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Meskipun kadang kala kematangan emosi biasanya erat dikaitkan dengan capaian usia seseorang, namun tidak selamanya perkembangan umur seseorang berjalan seiring dengan perkem-bangan kematangan emosi. Hal ini membuat adanya perbedaan perkem-bangan kematangan emosi antara individu satu dengan lainnya. Misalnya pada orang-orang tertentu kematangan emosi telah berkembang dan ada sejak remaja akhir sementara pada individu lain baru mencapai kematangan pada usia dewasa awal.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam pertandingan sepak bola tidak dapat lepas dari banyaknya tekanan. Tensi permainan yang tinggi serta dorongan keinginan untuk menang, diindikasikan membuat para pemain yang terlibat didalamnya akan berusaha dengan berbagai macam usaha demi sebuah kemenangan. Di sisi lain sepak bola merupakan olah raga yang banyak melibatkan kontak fisik secara langsung, sehingga kemungkinan terjadinya pelanggaran seperti dorongan, tackling, benturan merupakan hal-hal yang  tidak dapat dihindari. Ironisnya situasi seperti ini justru dapat membuat kadar permainan semakin memanas. Sehingga bisa saja terjadi keputusan wasit yang sebenarnya sah dan telah berdasarkan aturan akan terlihat menjadi sebuah kontroversi  bila pemain sudah dalam tingkat emosi tinggi akibat tekanan dari penonton. Sehingga dalam hal ini sangat dibutuhkan kematangan emosi dalam diri setiap pemain sepak bola agar dapat bersikap profesional sebagai-mana yang tertera dalam The Rule Of Game FIFA, bahwa setiap pemain harus mematuhi hukum yang berlaku di lapangan, yang salah satunya adalah sikap menghormati profesi wasit sebagai pemimpin pertan-dingan.

Myers(1993)menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk melukai objek yang menjadi sasaran agresi. Secara umum agresi adalah tanggapan yang mampu memberikan stimulus merugikan atau merusak terhadap organisme lain. Agresi adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental (Berkowitz, 1993).Perilaku agresi-fitas pemain terhadap wasit yang kerap terjadi umumnya berupa umpatan, cacian bahkan omongan kasar sebagai perilaku agresivitas verbal. Pukulan, dorongan bahkan tendangan merupakan contoh lain dari perilaku agresifitas non verbal yang ditujukan kepada wasit maupun hakim garis dalam satu pertandingan.

Terdapat 3 teori utama yang dapat digunakan untuk menjelaskan adanya perilaku agresi di bidang olah raga yaitu teori biological, teori psikologi dan teori belajar sosial. Yang pertama adalah teori biological yang dikemukakan oleh seorang pemenang Nobel yaitu Konrad Lorenz. Lorenz menganggap bahwa perilaku agresi merupakan insting dasar yang merupakan karakteristik manusia yang bersifat inherent. Pada konteks ini olahragadipandang sebagaicara yang dapat diterima secara sosialuntuk melepaskankatup pengaman dari agresi yang secara basic telah ada dalam diri manusia. Teori ini menggambarkan bahwa agresivitas merupakan salah satu perilaku yang bersifat instingtif dalam diri manusia. Dengan kata lain setiap manusia telah dibekali adanya kecenderungan untuk berperilaku agresif, hanya saja setiap manusia memiliki berbagai macam pilihan cara untuk mengekspresikannya. Dari sudut pandang teori ini, olahraga dipandang sebagai media yang aman serta dapat diterima secara sosial sebagai media untuk menyalurkan energi-energi negatif.

Sementara itu dari teori-teori psikologi menganggap bahwa agresi lebih banyak disebabkan oleh frustasi, dimana hal ini berarti lebih mengarah pada faktor-faktor situasional. Frustasi merupakan hasil dari usaha seseorang dalam mencapai suatu tujuan, namun menemui kegagalan. Dalam konteks olahraga, frustasi dapat disebabkan protes-protes yang dilakukan oleh para official, mengalami cedera saat pertandingan, ejekan dari penonton/ suporter, pelatih atau pemain. Berdasarkan teori ini dapat diasumsikan bahwa kecenderungan perilaku agresif yang ditunjukkan para pemain profesional kepada wasit adalah

 

 

adanya frustasi yang dialami selama pertandingan berlangsung. Keinginan untuk mengalahkan lawan, harga diri yang harus dipertaruhkan jika kalah, iming-iming hadiah yang menggiurkan, membuat para pemain akan melakukan usaha-usaha yang maksimal demi meraih suatu kemenangan. Namun di sisi lain keinginan yang kuat untuk memenangkan pertandingan tersebut membuat para pemain justru akan mudah merasa frustasi jika mereka melihat adanya halangan dan hambatan yang harus dilalui. Mereka akan menjadi sangat sensitif terhadap situasi-situasi yang dianggap dapat menghalangi usaha mereka untuk meraih kemenangan. Misalnya jika mereka menganggap bahwa kepu-tusan wasit dilihat lebih menguntungkan pihak lawan, wasit menerapkan peraturan-peratuan yang dipandang diskriminatif, wasit tidak adil dalam menerapkan reward dan punishment. Situasi-situasi inilah yang membuat para pemain tersebut mudah mengekspresikan rasa frustasinya kepada wasit, yang dianggap sebagai tokoh yang berperan penting dalam suatu pertandingan. Menurut Terry dan Jackson (dalam Ramezaninejad, 2012) adanya penguatan terhadap perilaku kekerasan dapat berasal dari 3 sumber : (a) kelompok referensi langsung dari atlet, diantaranya pelatih, rekan sesama tim, keluarga, teman; (b) struktur permainan dan pelaksanaan aturan oleh official; (c) sikap para fans, media, dan masyarakat. Penguatan disini dapat berupa hadiah seperti pujian, trophi, posisi start, kehormatan bagi teman dan keluarga. Penguatan vicarious umumnya berasal dari melihat pemain profesional yang dianggap penting dan memiliki gaji besar, meskipun para pemain tersebut memiliki gaya agresif dalam bertanding. Para pemain yang tidak menunjukkan tingkat agresivitas sebagaimana yang diharapkan justru akan mendapatkan reinforcement negatif melalui kritik dari orang tua dan pelatih, berkurangnya waktu bermain, pelecehan oleh rekan, lawan, atau penonton. Menurut Terry dan Jackson berdasarkan sumber-sumber tersebut seharusnya agresivitas dapat dihindari dengan memodifikasi atau mengendalikan situasi-situasi yang dapat mengha-silkan frustasi.

Teori belajar sosial menun-jukkan hasil yang lebih empiris dan menyatakan bahwa perilaku agresif dipelajari melalui pemodelan yang diperkuat oleh adanya imbalan dan hukuman. Para atlet muda umumnya menggunakan pahlawan olahraga sebagai role model dan meniru perilaku mereka. Selain itu orang tua, pelatih dan rekan sesama tim juga diindikasikan sebagai model yang mendukung munculnya perilaku agresif sebagai salah satu style permainan. Sehingga jika para pemain tersebut menganggap bahwa berperilaku agresif sebagai salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meraih kemenanganan sebagaimana yang ditunjukkan oleh role model mereka, maka perilaku tersebutlah yang akan ditiru.

Diterimanya hipotesis penelitian ini juga sejalan dengan apa yang telah diteliti oleh Stanger dkk (2012). Penelitian yang dilakukan Stanger (2012) mencoba menghubungkan antara empati dan emosi (rasa bersalah) dengan perilaku agresi-vitas. Stanger menggunakan pene-litian eksperimen untuk menguji efek empati terhadap agresivitas serta menghubungkan antara rasa bersalah dengan agresivitas. Subjek penelitian ini adalah 71 mahasiswa pendidikan olahraga dengan rata-rata usia 19.56, yang dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok dengan empati tinggi dan rendah. Penelitian ini menggu-nakan perspective taking test sebagai alat ukur untuk menguji tentang : a) reaksi emosi subjek terhadap gambar-gambar tindakan agresif; b)  kemungkinan mereka akan melaporkan tindakan agresif pada setting olahraga; c) sejauh mana mereka akan mengantisipasi perasaan rasa bersalah jika mereka terlibat dalam tindakan agresif. Hasilnya menunjukkan bahwa subjek yang memiliki empati yang tinggi menunjukkan reaksi emosi negative yang tinggi terhadap gambar-gambar yang menunjukkan perilaku agresif, serta memiliki kecenderungan agresivitas yang rendah diban-dingkan kelompok subjek dengan empati yang rendah. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa empati diperkirakan dapat mereduksi perilaku agresif serta menekankan peran perasaan bersalah sebagai mediator.

Adanya kasus-kasus agresivitas yang ditujukan pada wasit di lapangan menurut peneliti hendaknya perlu mendapat perhatian yang lebih serius dari pemerintah. Karena jika tidak segera dicarikan jalan keluar, dikhawatirkan dapat mengancam kehidupan seorang wasit baik secara pribadi maupun profesional. Beberapa studi membuktikan bahwa banyaknya ancaman tindakan agresi pada wasit akan berdampak buruk pada kinerja wasit di lapangan. Hal ini sebagaimana yang dibuktikan oleh Folkesson dkk (2002) dalam penelitiannya. Folkesson dkk (2002) meneliti tentang ancaman dan agresi selama pertandingan sepak bola pada 107 wasit asosiasi sepakbola yang pernah mengalami tindak kekerasan. Terdapat 3 sumber agresi yang bisa diidentifikasi yaitu dari pemain, pelatih dan penonton. Bentuk tindakan yang diukur adalah mengancam dan tindakan agresif baik secara fisik maupun verbal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan sebelum pertandingan, konsentrasi, performasi dan motivasi dipengaruhi oleh adanya ancaman dan tindakan agresi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya pengaruh beberapa variabel seperti usia, pengalaman dan orientasi kehidupan wasit. Wasit muda ditemukan lebih rentan terhadap adanya ancaman dan agresi. Wasit yang berorientasi pesimis, cenderung kurang termotivasi, berkinerja buruk dan kesulitan melakukan coping terhadap tindakan agresi yang dilakukan penonton dibanding wasit yang berorientasi optimis. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa bertugas sebagai wasit tidaklah mudah. Oleh karena itu hendaknya para pemangku jabatan dapat lebih memperhatikan keberadaan seorang wasit.

 

Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada hubungan negative yang sangat signifikan antara kematangan emosi pemain sepak bola dengan kecenderungan berperilaku agresif terhadap wasit.Hal ini membuktikan bahwa semakin matang emosi para pemain sepak bola, makin rendah kecenderungan untuk berperilaku agresif terhadap wasit. Demikian pula sebaliknya, makin tidak matang emosi maka kecenderungan berperilaku negative akan makin tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengeliminir adanya kecenderungan berperilaku agresif terutama dalam konteks pertandingan sepak bola, maka sangat penting mempertimbangkan peran kematangan emosi para pemain.Sehingga dalam hal ini perlu kiranya melakukan usaha-usaha yang lebih konstruktif guna meningkatkan kematangan emosi para pemain agar mereka dapat lebih dewasa dalam menyikapi berbagai macam persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan selama pertandingan berlangsung. Diharapkan dengan kematangan emosi yang maksimal para pemain sepak bola professional dapat  menjunjung tinggi sikap fair play dan dapat lebih bisa menghargai profesi wasit sebagai pengadil di lapangan. Selain itu mereka dapat menjaga sikap sportif sebagai panutan untuk generasi muda selanjutnya. Karena itu perlu kiranya bagi para pemain untuk lebih aktif belajar mengelola emosi dengan cara mengikuti pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan emosi, atau membiasakan konseling dengan psikolog apabila ada masalah serta belajar menyalurkan emosi-emosi negative yang dirasakan ke dalam bentuk-bentuk perilaku yang lebih konstruktif. Misalnya jika merasa bahwa wasit berlaku tidak adil, maka dapat ditempuh jalur hukum sebagai cara penyelesaian sehingga akan terhindar dari perilaku main hakim sendiri. Selain itu Managemen klub hendaknya lebih selektif dalam memilih pemain dengan mempertimbangkan segala aspek mulai dari skill dan tehnik permainan, penekanan kepada sikap sportivitas dan sikap-sikap fair play kepada seluruh pemain. Selain itu juga disarankan agar memberikan fasilitas yang

 

 

 

bersifat psikologis seperti memberikan kesempatan untuk melakukan konseling psikologi kepada psikolog, selain untuk konseling tentang persoalan-persoalan pribadi, para pemain juga mendapat kesempatan untuk belajar cara-cara meningkatkan emosi saat berada diluar ataupun didalam lapangan.

Pemain usia dini adalah cikal bakal generasi selanjutnya, pembibitan masa junior merupakan aspek yang akan menjadi sorotan sebagai bekal untuk menjalani tahap proses menjadi pemain professional. Kepada mereka hendaknya selain diajarkan tehnik dan dasar-dasar sepak bola, pemahaman terhadap aturan bakuFIFA serta belajar untuk menghargai seluruh profesi wasit dan karir sesama pemain adalah hal mutlak yang harus ditanamkan semenjak usia dini. Pemain-pemain muda hendaknya dapat mengambil poin penting dari kasus-kasus agresivitas pemain terhadap wasit bahwa dibalik itu ada hukuman dari Komisi Disiplin PSSI yang tentu saja hukuman yang diberikan harus setimpal dengan apa yang dilakukan sehingga dapat menghambat karir mereka selanjutnya. Jika aturan-aturan tersebut dapat dijalankan secara adil, maka dapat mengembangkan sikap sporti-vitas dan menghargai profesi wasit sebagai pemimpin pertandingan. Sehingga wujud sikap fair play yang merupakan moto sekaligus pegangan untuk seluruh pihak yang terlibat di dalam pertandingan dapat benar-benar diwujudkan.

 

 

Daftar Pustaka

Ancok, D. (1987). Teknik Penyusunan Skala. Yogyakarta : PPPK UGM.

Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas. Edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2013). Penyusunan Skala Psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

FIFA. (2008). Laws of the game. Jakarta: PSSI.

Folkesson, P., Nyberg, C., Archer, T., Norlander, T.

2002. Soccer referees’ experience of threat and anggression: Effects of age, experience, and life orientation on outcome of coping strategy. Aggressive Behavior, Vol 28, Issue 4, 317-327.

Hadi, S. (1990). Metode Research Jilid I. Yogyakarta : Andi Offset.

Hadi, S. (2000). Statistik Jilid 2. Yogyakarta : Andi Offset.

Hadi, S. (2000).Seri Program Statistik.Yogyakarta : Fak. Psikologi Universitas Gajah Mada.

Hadi, S. (2001). Metodologi Research Jilid III. Yogyakarta: Andi Offset.

Helmi, A.F., & Soedarjo. (1998). Beberapa Perspektif Perilaku Agresi.Buletin   Psikologi. No.2,Th.VI, Desember, h. 9-15.

Myers, D. G. (1993).Social psychology(4th ed.). Mc Graw-Hill, New York.

PSSI. (2001). Peraturan Umum Pertandingan PSSI. Jakarta. PSSI

Ramezaninejad, R., Rahmati, M. M., Hematinejad, M., Azadan, M. (2012).A Factor Analysis of Variables Related to Aggression of Football Spectators from Referees’ Points of View in Iran.Sport Management Review, 4 (13); 201-214.

 

Sarwono, S.W. (2002). Psikologi Remaja. Edisi Enam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Stanger, N., Kavussanu, M., and Ring, C. (2012). Put Yourself in Their Boots: Effects of Empathy on Emotion and Aggression. Journal of Sport & Exercise Psychology, 34, 208-222.

Walgito, B. (2004). Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati Dan Kematangan emosi (http:// kamusbahasaindonesia.org/profesional/mirip)

Zein,M. (2009).Sepak Bola Indonesia Bermain Dalam Aturan. PSSI

 


 

 

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya