Artikel 1

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 934 kali

Efektivitas Kelompok Self-Help Terhadap Penurunan Depresi Pada Orangtua Anak Autis.

 

Laily Abida

 

Program Studi Magister Psikologi Profesi

Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

 

Abstrak

 

Melihat anak-anak tumbuh dengan sempurna adalah harapan setiap orangtua, tetapi bagaimana jika anak mengalami hambatan perkembangan seperti autisme. Autisme pada anak akan memunculkan reaksi emosi yang beragam dan dapat memicu depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi tingkat depresi pada orangtua anak autis melalui kelompok self-help. Subyek penelitian (N=5) ini adalah ibu rumah tangga yang memiliki anak autis, mengalami depresi pada taraf sedang dan berat dan telah mendidik serta mengasuh anak mereka yang mengalami autisme dalam jangka waktu maksimal 5 tahun. Kelompok self-help dilakukan 2 kali seminggu sebanyak 6 kali pertemuan, total pertemuan 12 kali dengan masing-masing pertemuan berdurasi 60 menit. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif – studi kasus dengan desain penelitian menggunakan one group dual pretest and posttest design. Untuk mengukur tingkat depresi digunakan skala BDI (Beck Depression Inventory), data mendalam dari subyek diperoleh melalui wawancara dan observasi.  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan mengikuti kelompok self-help dapat penurunan tingkat depresi pada orangtua anak autis.

Kata kunci: depresi, kelompok self-help dan autis.

 


Pendahuluan

Setiap anak akan melalui masa tumbuh kembang dalam rentang kehidupannya. Proses pertumbuhan dan perkembangan pada masing-masing anak tentu tidaklah sama, permasalahan yang dihadapi dalam proses tumbuh kembang itu juga pasti berbeda-beda. Permasalahan yang muncul salah satu adalah hambatan pada perkembangan fisik, perkembangan bahasa dan bicara, perkembangan kemampuan motorik dan hambatan dalam emosinya. Salah satu hambatan perkembangan yang menjadi ketakutan orangtua pada saat ini adalah autisme.

Saat ini angka kelahiran anak dengan gangguan autis didunia semakin tinggi, National lnformation Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa penderita autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50-100 anak per 10.000 kelahiran. Dalam kurun waktu 10 hingga 20 tahun terakhir ini jumlah penyandang autisme di dunia semakin meningkat. Perkiraan jumlah kelahiran di Indonesia tahun 1997 adalah 4,6 juta per tahun. Jumlah penyandang autisme akan bertambah setiap tahunnya sebanyak 2,15% dari 4,6 juta atau 9600 anak. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan penyandang autisme adalah empat banding satu (Sutadi, 2003). Resiko anak laki-laki menderita autis lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan tetapi apabila anak perempuan menderita gangguan autisme maka tingkat keparahannya cenderung tinggi (Maulana, 2011).

Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 400.000 anak mengalami autisme. Tahun 1987 didunia, prevalensi anak autis diperkirakan 1 banding 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1 anak mengalami autisme per 500, tahun 2000, naik menjadi 1:150 dan pada tahun 2001 naik menjadi 1:100 kelahiran (Lubis, M.U., 2009).

 Autisme didefinisikan sebagai sindrom yang sangat komplek, ditandai dengan ciri-ciri kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional, sulit berkomunikasi dengan baik, terbatasnya minat serta perilaku yang tidak wajar disertai gerakan berulang-ulang tanpa tujuan (Maulana, 2011). Safaria, (2005) mengatakan bahwa autisme adalah ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain, adanya gangguan bahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, ekolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotip, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dalam lingkungannya.

Autis mengacu pada masalah dengan interaksi sosial, komunikasi dan bermain imajinatif yang mulai tampak sejak usia anak dibawah 3 tahun. Anak autis memiliki keterbatasan pada level aktivitas dan minat, hampir 75% dari anak autis  mengalami derajat retardasi mental (Priyatna, 2010).

Autisme termasuk dalam gangguan atau penyakit jangka panjang yang tidak dapat disembuhkan, kesembuhan autis biasanya diidentikkan dengan makin banyaknya kosa kata yang dikuasai atau kemampuan sosial dengan tetap mempertahankan kontak mata dengan orang lain selama beberapa menit (www.Indonesiaandroid/gangguan psikologis pada anak autis /di akses pada 11 September 2012).

Reaksi orangtua ketika menge-tahui bahwa anak mereka mengalami autis adalah shock, tidak percaya, marah, menolak dan malu. Orangtua yang memiliki anak autis beresiko tinggi mengalami stress, stress yang berkepanjangan dapat mengarah pada depresi, hal ini disebabkan karena tingkat kesulitan yang tinggi dalam mengasuh dan mendidik anak autis jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami hambatan perkem-bangan. Orangtua anak autis memiliki kecenderungan untuk bertahan dalam kondisi yang membuat mereka nyaman dan aman dengan menunda atau meno-lak mengunjungi tenaga ahli dan bahkan mempercayai kesimpulan awal dari suatu pemeriksaan (Puspita, 2008).

Setiap manusia berpotensi mengalami depresi, tetapi ada juga orang-orang yang mampu bertahan meskipun mengalami permasalahan hidup yang sangat berat. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang lebih tahan terhadap stressor dibandingkan dengan orang lain seperti faktor du-kungan dari pasangan atau ling-kungan, tingkat pendidikan, faktor usia serta kematangan emosional. Karakteristik dan cara pandang seseorang dalam menghadapi permasalahan juga memi-liki peran penting dalam terjadinya depresi. Individu yang lebih terbuka memiliki resiko lebih kecil mengalami depresi dibandingkan dengan individu dengan sifat tertutup (Lubis, M.U., 2009).

Bagi orangtua anak autis, masa-masa awal gangguan autisme pada anak ini merupakan masa yang paling sulit dan paling membebani, bukan hanya disebabkan oleh permasalahan yang ditimbulkan oleh anak yang menderita autis tetapi juga bercampur dengan permasalahan lain seperti hubungan dengan anggota keluarga dan

lingkungan sosial. Perilaku anak autis yang tidak bisa diprediksi, cenderung menyakiti diri sendiri dengan membenturkan kepala atau badan ke tembok, menggigiti jari-jari tangannya atau seringkali berteriak tidak menentu merupakan sumber stresor bagi orangtua (Safaria, 2005).

Penerimaan ibu terhadap kondisi anak sangatlah penting. Penerimaan ditandai dengan adanya sikap positif, adanya pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai individual dan pengakuan terhadap tingkah laku (Chaplin, 2002).

Penerimaan merupakan dasar bagi setiap orang untuk dapat menerima kenyataan hidup, semua pengalaman baik maupun buruk (Rahmitha, 2011).

Ibu juga lebih banyak melakukan kontak langsung dengan anak. Ibu memiliki kecenderungan mengalami perasaan bersalah, gangguan emosional dan depresi sehubungan dengan ketidak mampuan anak sedangkan ayah sebagai pemberi nafkah keluarga lebih sedikit mengalami stress dan depresi disebab-kan karena tidak banyak terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari (Cohen & Volkmar, 1997).

Depresi menurut Trisna (dalam Lubis, N.L, 2009) adalah suatu perasaan sendu atau sedih yang biasanya disertai dengan diperlambatnya gerak dan fungsi tubuh. Depresi adalah gangguan afek atau perasaan yang ditandai dengan  afek disforik (kehilangan kegembiraan atau gairah) disertai dengan gejala-gejala lain seperti gangguan tidur dan menurunnya nafsu makan. Depresi termasuk kendala kesehatan dunia karena telah mempengaruhi sekitar 121 juta orang di seluruh dunia dan telah menjadi salah satu faktor utama kecacatan di seluruh  dunia (WHO, 2010). Depresi merupakan penyakit “seluruh tubuh” yang tidak hanya melibatkan tubuh tetapi juga suasana hati dan fikiran.

Gangguan depresi adalah salah satu gangguan jiwa yang paling sering terjadi. Prevalensi gangguan depresi pada populasi dunia adalah 3% sampai 8% dengan 50% kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20-50 tahun. World Health Organization tahun 2007 menya-takan bahwa gangguan depresi berada pada urutan keempat penyakit di dunia. Diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penderita depresi semakin meningkat dan akan menempati urutan kedua penyakit di dunia (Depkes RI, 2007). Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, bahwa di Indonesia prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi tercatat sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa. Jumlah populasi orang dewasa di Indonesia kurang lebih sebanyak 150.000.000 jiwa. Jadi terdapat 1.740.000 jiwa yang saat ini telah mengalami gangguan mental emosional (Depkes RI, 2010).

Secara fisik depresi dapat memicu berbagai macam penyakit, semisal susah tidur, pusing, cepat lelah dan menurunnya nafsu makan (Lubis, N.L., 2009). Selain itu, orangtua yang mengalami depresi besar kemungkinan akan menularkan depresinya pada anak-anak mereka (Lubis, M.U., 2009).

Penelitian mengenai efektivitas kelompok self-help untuk menurunkan tingkat depresi orangtua anak autis dilakukan di Jember, Jawa Timur  karena saat ini banyak ditemui kasus anak-anak autis di Jember. Peneliti menyertakan hasil wawancara dengan ibu S yang mana putranya mengalami gangguan autisme. Ibu S menyatakan bahwa memiliki anak autis adalah cobaan terbesar dalam hidupnya, butuh energi yang tidak terbatas dan kesabaran luar biasa untuk menghadapi putranya yang didiagnosa mengalami autis. Kemampuan bahasa yang minim didukung perilaku agresif menyebabkan ibu S merasakan bahwa mendidik dan mengasuh anak autis adalah proses yang panjang dan berat. Hal ini menyebabkan ibu S tertekan, putus asa mengenai perkembangan putranya yang naik turun, perasaan sedih yang sering muncul terutama ketika putranya mengamuk dan merusak barang-barang, perasaan malu yang bercampur dengan rasa kasihan ketika putranya berperilaku yang tidak pantas di tempat umum seperti mengepak-ngepakkan tangan (flapping) atau mengulang-ulang ucapan (ekolalia). Perasaan cemas berkaitan dengan keselamatan putranya ataupun terhadap masa depannya menyebabkan ibu S tidak mampu berkonsentrasi, apabila meninggalkan putranya dengan orang lain yang tidak mengetahui dan memahami apa itu autisme maka ibu S selalu merasa khawatir. Kelelahan fisik dan psikologis menyebabkan ibu S mengalami stres berkepanjangan. 

Bukan hanya anak autis yang membutuhkan terapi untuk mening-katkan kemampuan mereka tetapi para ibu yang memiliki anak autis juga membutuhkan terapi sebagai bentuk penyaluran atas perasaannya merawat dan mendidik anak autis selama ini. Dukungan sosial sangat diperlukan terutama bagi penderita depresi sebagai penopang dikala mereka berada dititik terendah kehidupan (Rosenvald dan Oei, 2007). Dukungan sosial bisa dalam bentuk kelompok self-help dimana orangtua yang memiliki persamaan permasalahan berkumpul dengan atau tanpa didampingi fasilitator dan kemudian membicarakan masalah mereka.

Kelompok self-help itu sendiri menurut Kurtz (1997), adalah kelompok-kelompok supportif, edukatif dan umumnya berorientasi pada terjadinya perubahan yang bertujuan membantu memecahkan persoalan secara bersama-sama. Melalui kelompok self-help para ibu yang memiliki anak autis akan mendapatkan informasi-informasi baru mengenai cara mendidik dan mengasuh anak autis, karena di dalam kelompok self-help berkumpul orangtua dengan permasalahan yang sama yaitu berusaha menangani depresi yang timbul berkaitan dengan memiliki anak autis.

Fungsi lain dari kelompok self-help adalah untuk meningkatkan strategi koping. Strategi koping adalah suatu proses tertentu yang disertai dengan suatu usaha dalam rangka merubah domain kognitif atau perilaku secara konstan untuk mengatur dan mengendalikan tuntutan dan tekanan eksternal maupun internal yang diprediksi dan dapat membebani dan melampaui kemampuan atau ketahanan individu yang bersangkutan (Rubbyana, 2012). Perilaku koping terbagi menjadi 2, yaitu koping adaptif dan koping maladaptif. Menurut Carver (1989) perilaku koping dikatakan adaptif apabila mampu menangani atau mengatasi stressor secara efektif atau positif, sedangkan perilaku koping dikatakan maladaptif apabila tidak mampu menangani atau mengatasi stressor secara afektif atau negatif (dalam Rubbyana, 2012). Anggota kelompok dapat menggunakan sumber koping dari lingkungan sosial, inter-personal maupun intrapersonal untuk memecahkan masalah dan merubah pola pikir yang menyebabkan depresi. Pengalaman sesama anggota, dukungan sosial, kemampuan memecahkan masa-lah merupakan sumber koping yang bisa diadaptasi untuk meningkatkan penge-tahuan dan keterampilan bagi orangtua yang mengalami depresi sehubungan dengan memiliki anak autis. 

Depresi adalah penyakit yang sangat berbahaya, dapat menular kepada orang-orang terdekat penderita seperti kepada suami atau istri serta anak-anak bahkan dapat mengancam kesehatan mental dan merenggut nyawa orang lain. 

Penelitian ini menggunakan metode kelompok self-help atau kelompok bantu diri. Kelompok self-help dipilih karena dalam kelompok self-help para ibu anak autis, yang mengalami depresi dapat bertemu dan bersosialisasi dengan orang lain. Perasaan malu, kurang percaya diri dan memandang rendah diri sendiri menjadikan penderita depresi lebih sering mengurung diri di dalam rumah dan merasa malas untuk bersosialisasi. Isolasi sosial adalah suatu hal yang dapat memperburuk keadaan mental penderita depresi.

Selain mengurangi isolasi sosial, didalam kelompok self-help juga memberikan akses bagi orangtua atau ibu untuk menambah pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan pendidikan dan pengasuhan anak autis. melalui pengetahuan-pengetahuan ini diharapkan ibu lebih memahami dan nantinya mahir dalam menerapkan terapi bagi anak autis dirumah. Oleh sebab itu peneliti membuat perumusan masalah sebagai berikut : apakah ada pengaruh pemberian kelompok self-help untuk menurunkan tingkat depresi orangtua yang memiliki anak autis?

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas kelompok self-help dalam menurunkan depresi pada orangtua anak autis.

Kelompok self-help adalah bahwa kelompok self-help merupakan sebuah kelompok yang terbentuk atas keinginan para anggota yang bertujuan untuk membentuk perubahan dalam hidup mereka tanpa ada paksaan dari pihak lain. Kelompok ini merupakan kelompok kecil yang saling mendukung dan berusaha memfasilitasi kebutuhan para anggotanya dengan atau tanpa bantuan tenaga ahli yang bertujuan untuk berbagi pengalaman, menye-lesaikan permasalahan, dan mencapai kehidupan yang lebih baik (Kurtz, 1997 & Oka, 2003).

Menurut Kurtz (1997) atribut-atribut atau karakteristik yang disusun merupakan bagian dari faktor-faktor yang mempengaruhi definisi kelompok-kelompok self-help, yaitu:  Acknowledge purpose, Spontaneous origin, Face to face small groups ,Personal partici-pation, Reference groups, Starting from powerless,Common experiences, & Mutual help.

Depresi merupakan gangguan mood, kata depresi itu sendiri sering kali kita dengar saat seseorang di timpa permasalahan yang pelik. Depresi menurut Lubis, N.L (2009) adalah kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang amat sangat, perasaan tidak berarti dan merasa bersalah; menarik diri dari orang lain; tidak dapat tidur; kehilangan selera makan; hasrat seksual, dan minat serta kesenangan dalam aktivitas yang biasanya dilakukan (Davidson, 2006).

Menurut Trisna (dalam Lubis, N.L, 2009) memberikan kesimpulan bahwa depresi adalah suatu perasaan sendu dan sedih yang biasanya disertai dengan diperlambatnya gerak dan fungsi tubuh. Depresi merupakan gangguan afek (perasaan) yang ditandai dengan afek disforik (kehilangan kegembiraan/ gairah) disertai dengan gejala-gejala lain seperti gangguan tidur dan menurunnya selera makan.

Dalam bidang klinis, depresi merupakan rasa sedih yang dalam dan menyakitkan, biasanya disertai dengan rasa bersalah dan mengasihani diri sendiri (Maurus, 2009).

   Sebagian besar orang menganggap bahwa depresi sama dengan stres, sehingga tidak ada perbedaan diantara keduanya. Padahal kedua kata ini sangatlah berbeda, karena depresi merupakan kelanjutan dari stres yang tidak tertangani dengan baik. Stres itu sendiri menurut Tyler (dalam Lubis N.L, 2009) adalah perasaan tidak enak yang disebabkan oleh persoalan-persoalan diluar kendali kita, atau merupakan reaksi jiwa dan raga terhadap perubahan.

Depresi merupakan salah satu gangguan perasaan yang mana merupakan kelanjutan dari stres yang tidak teratasi dengan tuntas. Depresi ditandai dengan perubahan kondisi emosional antara lain menjadi lebih sensitif yang ditandai dengan mudah tersinggung atau marah dan bersedih hampir sepanjang waktu. Sedangkan perubahan secara fisik tampak pada mengalami gangguan tidur atau tidur yang tidak nyenyak, sering terbangun ditengah malam dan tidak dapat tidur kembali, terganggunya pola makan, konsentrasi menurun hingga mempe-ngaruhi aktivitas sehari-hari. Dari sisi sosial depresi juga dapat menjadikan penderitanya pribadi yang menarik diri dari lingkungan atau mengisolasi diri dan hubungan dengan atasan dan teman kerja yang kurang harmonis. Penderita depresi berat memiliki resiko mence-lakakan diri sendiri ataupun orang lain.

    Depresi telah dikenal sejak jaman dahulu, sehingga banyak teori yang mencoba untuk mengurai sebab-akibat dari depresi. Beberapa teori yang dapat menjelasakan timbulnya depresi menurut Sarason & Sarason, 1993; Stongman, 1996; Davidson, 2008 (dalam Lubis, N.L, 2009), yaitu:

Teori Psikoanalisa. Pendekatan psikoanalisa yang dikembangkan oleh Freud menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh kebutuhan oral pada masa kanak-kanak yang kurang terpu-askan atau sebaliknya, terpuaskan secara berlebihan sehingga menyebabkan seseorang terfiksasi pada tahap ini dan tergantung pada pemenuhan kebutuhan instingtual yang menjadi ciri ditahap ini.

Teori Behavioral. Teori ini mengacu pada perilaku manusia yang dipengaruhi oleh lingkungannya sebab manusia selalu merespon rangsangan dari luar. Ferster menciptakan sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa depresi berkembang sebagai hasil dari kurangnya Positive Reinforcement (dukungan-dukungan positif) untuk tindakan-tindakan penderita depresi (Lubis, N.L, 2009).  

Teori Biologi. Teori ini memiliki kecenderungan yang menya-takan bahwa perkembangan gangguan afektif gangguan manik depresif (bipolar) merupakan pambawaan sejak lahir, Atkinson, 1991 (Dalam Lubis, N.L, 2009). Diantara faktor-faktor yang memegang peranan penting dalam memunculkan gangguan depresi adalah fungsi otak yang terganggu dan faktor hormonal. Terdapat beberapa simptom yang menjadi karakteristik timbulnya depresi termasuk didalamnya perubahan fisiologis misalnya: anoreksia, kons-tipasi, insomnia, kelelahan, sering mengeluh adanya rasa sakit yang kronis, ketidaknyamanan saluran pencernaan, pusing atau pegal-pegal pada tubuh dan kesulitan konsentrasi. Banyaknya penelitian mengenai faktor genetik dalam depresi menggunakan metode keluarga, orang kembar, dan orang-orang yang diadopsi. Resiko orang yang memiliki anggota keluarga penderita depesi untuk mengalami hal serupa sebesar 10% hingga 25%.

Teori Stres. Campbell dan Kub, 1995 (Dalam Lubis, N.L, 2009) mengemukakan bahwa stressor sehari-hari adalah prediktor yang paling kuat dalam depresi, lebih kuat bila dibandingkan dengan kekerasan yang dialami pada masa kanak-kanak. Stres yang berlangsung setiap hari dapat membebani pikiran dan melemahkan daya tahan tubuh terhadap stres.

Teori Kognitif. Di dalam proses kognisi manusia terdapat beberapa tahapan yaitu, stimulus, penginderaan (fisiologis dan psikologis), persepsi, tanggapan/respons, asosiasi dan reproduksi, fantasi, memori, berpikir dan inteligensi. Proses penginderaan terjadi setiap saat yaitu ketika individu menerima stimulus melalui alat indra seperti mata, telinga, hidung dan kulit. Alat indra merupakan penghubung individu dengan dunia luar, stimulus yang diindra kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu mengerti apa yang diinderanya, proses ini disebut persepsi. Setelah melakukan persepsi seringkali persepsi individu terhadap stimulus masih menetap atau tertinggal pada individu tersebut sehingga dapat menghidupkan persepsi atau sebagai antisipasi terhadap sesuatu yang akan terjadi, proses ini disebut dengan tanggapan atau bayangan (Ismail, 2007).

Teori Interpersonal Depresi. Individu yang depresi cenderung memiliki sedikit jaringan sosial dan menganggap jaringan sosial hanya memberikan sedikit dukungan. Berkurangnya dukungan sosial dapat melemahkan kemampuan individu untuk mengatasi berbagai peristiwa hidup yang negatif dan membuatnya rentan terkena depresi (Lubis, N.L., 2009).

Gejala depresi adalah sekumpulan dari perilaku dan perasaan yang secara spesifik dapat dikelompokkan sebagai depresi. Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala-gejala psikis, fisik, kognisi, dan sosial. Tetapi perlu diingat bahwa pada masing-masing individu memiliki perbedaan yang mendasar, yang memungkinkan suatu peristiwa atau perilaku dihadapi secara berbeda dan memunculkan reaksi yang berbeda pula antara satu individu dengan yang lain (Lubis, N.L., 2009).

Safaria (2005) menyebutkan bahwa ada 5 tahapan dalam depresi, yaitu: Denial, Anger, Bargaining, Depression mendalam,  dan Acceptance.

Autisme merupakan suatu kum-pulan sindrom yang mengganggu syaraf, penyakit ini mengganggu perkembangan anak yang ditandai dengan tampilan abnormalitas pada domain interaksi sosial, kemampuan berbicara, kepedulian terhadap sekitar, dan perilaku. Hans Asperger menye-butkan bahwa gangguan ini merupakan psikopat autistik pada masa kanak-kanak (Lubis, M.U., 2009).

Autisme pertama kali dite-mukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943, dia mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berin-teraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ekolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk memperta-hankan keteraturan di lingkungannya (Safaria, 2005).

Autisme merupakan sindrom yang sangat kompleks, ditandai dengan ciri-ciri kurang kemampuan interaksi sosial dan emosional, sulit berkomu-nikasi timbal balik, terbatasnya minat, dan perilaku yang tidak wajar disertai gerakan berulang tanpa ada tujuan. Anak autis memiliki keterbatasan pada level aktivitas dan interest, hampir 75% dari anak autis mengalami beberapa derajat retardasi mental (Priyatna, 2010).

Autisme menurut ilmiah kedokteran, psikikatri dan psikologi termasuk dalam gangguan perkem-bangan pervasive (pervasive develop-mental disorder). Gangguan ini ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan sosial dan berbahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas dan gerakan-gerakan motorik (Safaria, 2005).

Autisme tidak dapat dengan mudah dikenali karena gejala-gejalanya tumpang tindih dengan gangguan yang lain, selain itu gangguan autis hampir selalu dibarengi dengan gangguan yang lain. Dibutuhkan obeservasi dan pemeriksaan dalam jangka waktu yang cukup lama untuk mendiagnosa apakah anak menderita gangguan autisme atau gangguan yang lain.

Autisme merupakan sindrom yang sangat komplek karena berkaitan dengan kinerja neuron-neuron didalam otak yang saling berhubungan dalam proses berpikir dan menangkap informasi. Gangguan autisme biasanya muncul pada usia 3 sampai 5 tahun, dan ditandai dengan tidak adanya kontak mata, perubahan perilaku, menjadi pendiam dan senang dengan dunianya sendiri, adanya hambatan dalam perkembangan kognitif, perkembangan bahasa dan keterampilan bersosialisasi.

Penyebab dari autisme sampai saat ini belum diketahui secara pasti, sebagian peneliti berpendapat bahwa autisme terjadi karena faktor genetika. Otak yang merupakan pusat segalanya termasuk mengatur proses berbicara, bergerak, merasakan, mengingat serta emosi, yang berisikan milyaran sel syaraf dan memiliki sambungan-sambungan serta zat-zat kimia pembawa pesan tidak dapat bekerja sama secara sempurna. Para ilmuwan masih mencoba memahami bagaimana dan mengapa hal ini dapat terjadi, mereka menemukan adanya problem kompleks neurobiologis yang berbasis genetika, seperti kondisi lain yang disebabkan oleh adanya kelainan pada kromosom yang diwarisi seorang anak, (Prayitna, 2010).

Asumsi lain terkait penyebab dari autisme adalah:

a. Zat kimia beracun : Sebuah laporan dari National Academic of Science (NAS) menyatakan bahwa kombinasi dari neurotoksik dan faktor-faktor genetika mendekati dari 25% dari seluruh masalah tumbuh kembang termasuk autisme.

b. Kontaminasi logam berat  imun tubuh bayi rentan secara genetika, dapat diserang  oleh logam berat, seperti : timbal (Pb) dan merkuri (Hg).

c. Vaksinasi : Saat ini pemberian vaksin dalam kombinasi three in one yaitu vaksin campak, vaksin gondok, dan rubella atau yang biasa disebut vaksin (MMR) dinyatakan sebagai penyelamat jutaan nyawa tetapi berdasarkan data patologis usus halus yang berhubungan dengan jenis virus dari vaksin MMR dapat juga berperan sebagai kontributor autisme regresif.

d. Virus; Virus herpes, variciella, virus epstern bass dan human herpes virus dikaitkan dengan munculnya gangguan kemampuan verbal, kejang-kejang demielinasi dan karakter spectrum autisme lainnya.

e. Gluten dan casein : Banyak autisme memiliki ketidakmampuan dalam mencerna gluten dan casein. Gluten adalah campuran protein yang terkandung pada gandum, sedangkan casein adalah protein susu.

f. Jamur : Pertumbuhan jamur candida yang berlebihan dapat menjadi penyebab utama dari banyak tingkah laku yang tidak pantas dan masalah kesehatan yang terlihat pada anak autis.

g. Usus berpori : Racun-racun yang diproduksi jamur dapat mengebor lubang-lubang pada dinding usus. Pada akhirnya substansi racun ini dapat melukai dan menembus sawar darah otak dengan mencampuri aliran nutrisi otak yang menyebabkan rusaknya kesadaran, kemampuan kognitif, kemampuan berbicara atau tingkah laku. (Maulana, 2011).

Anak didignosa mengalami autis umumnya terjadi pada usia 2 sampai 3 tahun, ini adalah tahun-tahun pertama yang paling sulit dan paling membebani bagi orangtua (Safaria, 2005), khususnya bagi ibu karena ibu adalah orang terdekat dan yang lebih banyak melakukan kontak dengan anak (Lubis, M.U., 2009). Tahun-tahun awal adalah tahun yang paling membebani adalah karena saat itu kondisi orangtua masih labil, orangtua sedang mengalami kebingungan dan tidak mengerti langkah-langkah apa yang seharusnya diambil untuk menyelamatkan anak mereka. Masalah yang harus dihadapi orangtua tidak hanya bersumber dari anak-anak autis saja tetapi juga dari permasalahan-permasalahan yang mun-cul karena pandangan masyarakat (Safaria, 2005).

Banyak masyarakat yang belum mengetahui mengenai autisme sehingga anak-anak dengan autisme seringkali ditolak dilingkungannya atau ditolak untuk masuk kesekolah-sekolah umum, dianggap mengganggu karena memiliki perilaku yang tidak pantas serta ketidakmampuannya untuk mengontrol emosi. Hal ini menjadikan orangtua merasa malu dan menutupi kenyataan mengenai gangguan autisme yang diderita anak, Maridjani 2003 (dalam Lubis, M.U., 2009).

Orangtua khususnya ibu akan melalui serangkaian emosi dalam menghadapi anak autis, hal ini bervariasi untuk tiap orangtua dan keluarga. Semua orangtua memiliki respon dan perasaan yang berbeda, rasa bersalah bahwa kondisi anak autis disebabkan pada masa-masa kehamilan, ketakutan dan kekhawatiran orangtua terhadap masa depan anak, rasa kehilangan harapan terhadap anak hingga perasaan terbantu karena akhirnya orangtua memperoleh pengetahuan dan penjelasan mengenai perilaku anak yang tidak biasa (Williams & Wright, 2004).

Orangtua khususnya ibu diharapkan untuk dapat menerima kondisi anak, karena penerimaan ini nantinya akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak dan juga berkaitan dengan kesehatan mental orangtua. Sikap orangtua yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa anaknya menderita autis dapat berakibat sangat buruk, karena hal tersebut hanya akan membuat anak autis merasa tidak dimengerti, tidak diterima apa adanya serta dapat menimbulkan penolakan dari anak (resentment) dan lalu termini-festasikan dalam bentuk perilaku yang tidak diinginkan (Marijani, 2003). Bentuk penerimaan orangtua terhadap anak autis adalah dengan memahami keadaan anak apa adanya, memahami kebiasaan-kebiasaan anak dan menyadari apa yang sudah bisa dan belum bisa dilakukan anak (Puspita, 2004). 

Menurut Katterman (dalam Kasih, 2006), untuk dapat menerima anak dengan gangguan autis, orangtua perlu memiliki pengetahuan yang luas mengenai autis itu sendiri. Bagaimana perjuangan dan kerja keras anak-anak yang mengalami autis untuk memahami lingkungannya, suara-suara disekitarnya, merespon sentuhan-sentuhan yang ditujukan padanya serta bagaimana mengerti kesulitan mereka untuk mengerti ucapan-ucapan orang lain.

Untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang luas dibutuhkan waktu yang tidak sebentar bahkan bisa bertahun-tahun karena tidak ada satupun metode terapi yang diklaim sebagai metode yang terbaik bagi anak autis (Pusponegoro & Puspita, 2003). Menurut Katterman (dalam Wijaya, 2006), semakin banyak frekuensi waktu yang dihabiskan oleh orangtua untuk mendidik dan mengasuh anak autis maka keterampilan dan pemahaman orangtua semakin berkembang, pema-haman yang baik akan menumbuhkan penerimaan yang baik.

Orangtua yang memiliki anak yang menderita penyakit kronis atau ketidakmampuan (disability) memiliki resiko besar mengalami tekanan, termasuk juga dengan orangtua yang memiliki anak autis memiliki kecenderungan untuk lebih mudah mengalami stress dan depresi disebabkan karena tingginya tingkat kesulitan dalam mendidik dan mengasuh anak-anak dengan gangguan autis dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami gangguan (Oka, 2009).

Beberapa alasan munculnya tekanan atau stress pada orangtua adalah karena kurangnya informasi mengenai pola pendidikan dan pengasuhan terhadap anak autis, banyak kalangan masyarakat yang belum memahami tentang autisme cenderung menyalahkan orangtua atas apa yang terjadi dengan anak mereka, orangtua dianggap gagal sebab anak seringkali berperilaku yang tidak pantas dilingkungannya, seperti mengamuk, merusak, bergerak berulang-ulang dan tidak merespon terhadap lingkungan. Masalah lain yang muncul adalah tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pendi-dikan yang terbaik bagi anak autis, waktu, kesabaran serta kemampuan yang luar biasa untuk menerima dan memahami bahwa anak-anak autis itu memiliki aturan-aturan sendiri yang tidak bisa dipahami oleh orang lain.

Orangtua manapun didunia pasti menginginkan anak-anak mereka terlahir dengan sempurna, khususnya ibu. Oleh sebab itu para ibu merusaha sebaik-baiknya dalam pemberian asupan gizi kepada calon bayi yang berada didalam kandungan serta menghindari hal-hal yang nantinya dapat memicu “kelainan” pada bayi. Kelahiran anak-anak dengan autisme dapat menimbulkan pikiran-pikiran yang negatif kepada ibu, ibu akan cenderung menyalahkan sendiri atas ketidakmampuan anak, kekece-waan, sedih berkepanjangan, kecemasan mengenai masa depan anak, penolakan dan usaha-usaha untuk menyingkirkan kenyataan bahwa anak mereka mengalami autis termasuk salah satunya adalah berganti-ganti dokter untuk mendapatkan diagnosa yang dapat membantah diagnosa autis. Kemampuan penyesuaian diri pada ibu sangatlah penting disebabkan peran ibu yang merupakan tonggak keberhasilan anak dan juga ibu yang lebih banyak berinteraksi dengan anak (Lubis, M.U., 2009).

Stress yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan pada ibu anak autis ini dapat menimbulkan depresi. Ibu membutuhkan segala macam bantuan yang tidak menghakimi dari pasangan, sahabat, keluarga, masyarakat dan penyedia layanan khusus autisme (Priyatna, 2010). Hal ini disebabkan karena pandangan masyarakat atau bahkan anggota keluarga sendiri yang seringkali menyalahkan orangtua khususnya ibu atas perilaku anak yang tidak mampu memenuhi aturan-aturan sosial juga menjadi sumber perma-salahan bagi orangtua anak autis. Ibu anak autis yang mengalami depresi membutuhkan dukungan sosial, karena orang yang depresi memiliki kecen-derungan untuk menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna, putus asa, tidak percaya diri, rasa cemas, rasa terbebani, penurunan mood dan sebagainya, Beck, 1967 (dalam Lubis,N.L., 2009).

Salah satu terapi yang bisa digunakan oleh penderita depresi adalah terapi kelompok, salah satau bentuk dari terapi kelompok adalah kelompok self-help atau kelompok bantu diri. Didalam kelompok self-help ini terdapat tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh para anggotanya yaitu untuk memberikan edukasi, memberikan dukungan, memiliki orientasi pada pembentukan perubahan dan bertujuan untuk membantu sesama dalam mencari solusi atas permasalahan mereka.  Dalam kelompok self help anggota lebih bebas berekspresi, memiliki lebih sedikit sikap skeptis sebab permasalahan yang diungkapkan berdasarkan izin dari para anggota sehingga dapat menumbuhkan pemahaman terhadap diri sendiri, Goodman and Jacobs, 1994 (dalam Kurtz, 1997).

Melalui kelompok self-help, ibu anak autis akan mendapatkan informasi yang sangat diperlukan untuk mendidik dan mengasuh anak autis, dapat memberikan dukungan yang sifatnya timbal balik kepada anggota yang lain sehingga memunculkan perasaan bahwa mereka juga mampu memberi dan berguna dalam keterbatasan serta mampu memberikan penguatan yang positif kepada anggota yang lain, hal ini tentunya menjadikan anggota kelompok self-help merasa dihargai. Menjalin relasi dengan orang lain memberikan banyak keuntungan diantaranya adalah mereduksi isolasi sosial, menambah pengalaman, memunculkan pemahaman (insight) terhadap diri sendiri melalui pengalaman orang lain, menumbuhkan kemampuan meng-copy yang berkaitan dengan pengasuhan dan pendidikan anak autis sehingga dapat digunakan untuk membentuk pola pendidikan dan pengasuhannya sendiri, Wasserman dan Danfort, 1988 (dalam Kurtz, 1997).

Pada penelitian ini hipotesis yang diajukan adalah: Terdapat pengaruh kelompok self-help terhadap penurunan depresi pada orangtua anak autis.

Metode Penelitian

Pada penelitian ini berperan sebagai variabel bebas adalah Kelompok Self-helpdan sebagai variabel tergan-tung adalah Depresi.

Kelompok Self-Help adalah kelompok yang terbentuk atas kehendak para angotanya yang ingin berbagi, mendapatkan informasi dan solusi mengenai permasalahan yang relatif sama dan merupakan kelompok yang bersifat edukatif. Anggota berperan aktif selama proses kelompok berlangsung dan menemukan pemahaman mengenai diri sendiri dan mengenai masalah yang menghimpitnya melalui pengalaman orang lain.

Depresi merupakan salah satu gangguan perasaan atau afek yang berawal dari stres yang tidak tertangani sehingga berkelanjutan. Depresi ditandai dengan kecenderungan merusak diri sendiri, perasaan sedih, marah, jengkel, merasa bersalah, kekecewaan yang mendalam, memandang rendah diri sendiri, menurunnya nafsu makan, gangguan tidur, merasa terbebani sepanjang waktu,  terganggunya akti-vitas dan kemampuan sosialisasi. Depresi berat bahkan menjadikan penderitanya memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. 

Subyek penelitian ini adalah: Ibu yang memiliki anak yang mengalami autism; Mengalami depresi pada tingkat sedang atau tinggi; Orangtua yang mendidik anak autis dalam kurun waktu maksimal 5 tahun; dan Bersedia mengikuti proses kelompok hingga selesai.

Alat pengumpul data yang digunakan adalah Angket depresi yaitu Beck Depresi Inventory (BDI) I, Wawancara dan Observasi.

Wawancara bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam mengenai permasalahan kaitannya dengan hubungan sosial dengan lingkungan sekitar, serta  reaksi terhadap kondisi stres atau tekanan. Beberapa topik yang akan diungkap dalam wawancara adalah : data identifikasi subyek, deskripsi permasalahan subyek yang meliputi pandangan keluarga dan masyarakat mengenai anak autis, harapan-harapan orangtua terhadap anak-anak mereka, kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan pengasuhan dan pendidikan anak autis dan kekhawatiran orangtua terhadap masa depan anak mereka.

Observasi dilakukan selama pelaksanaan treatment dan diluar treatment yang mana bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang subyek penelitian. Gambaran tentang subyek penelitian ini dapat dilihat melalui beberapa hal berdasarkan penampilan secara umum, seperti cara berpakaian, kerapian dan ekspresi. Selain itu dapat dilihat juga melalui gaya bicara, nada bicara, kosa kata yang dipergunakan, serta reaksi-reaksi emosi yang nampak.

Penelitian ini adalah penelitian Kualitatif–Studi Kasus yang mene-kankan pada deskripsi subyek dengan menggunakan wawancara mendalam dan observasi (Cozby, 2009).  Penelitian menggunakan desain one group dual pretest and posttest design yang mana diawal penelitian dilakukan pengukuran depresi dengan menggunakan skala depresi terhadap subyek penelitian, pada minggu kedua dilakukan tes kembali, kemudian dilakukan treatment sebanyak 12 kali yang dipadatkan menjadi 6 kali pertemuan. Setelah treatment selesai dilakukan pengukuran kembali sebanyak dua kali dengan jeda waktu satu minggu.

Analisis Data yang dilakukan adalah Analisis Kuantitatif  dan Analisis Kualitatif. Analisis kuantitatif  digunakan statistik non parametrik Uji Wilcoxon Signed Rank Test dengan membandingkan antara pretest I (T1) dengan pretest 2 (T2), pretest 2 (T2) dengan posttest 1 (T3), dan posttest 1 (T3) dengan posttest 2 (T4).

Analisis kualitatif dilakukan dengan menganalisis hasil observasi dan wawancara. Hasil observasi dan wawancara ini akan dilaporkan sebagai proses evaluasi penelitian.

Hasil Analisis Data & Pembahasan

Penelitian ini dilakukan di sekolah bayi, PAUD dan sentra anak kebutuhan khusus Cahaya Nurani Jember pada tanggal 23 April 2012.   

Dari hasil analisis data yang dilakukan ditemukan bahwa hipotesis yang diajukan tersebut dapat diterima, hal ini dibuktikan melalui hasil analisis data statistik non-parametrik diperoleh Z = -2,023 dengan p = 0,043 < 0,05 yang berarti ada perbedaan tingkat depresi pada ibu anak autis antara sebelum dan sesudah dilakukan kelompok self-help. Setelah melakukan proses kelompok self-help terjadi penurunan, hal ini menunjukkan hipotesis yang diajukan terbukti.

Terdapat temuan lain dalam penelitian ini yang menyebutkan bahwa dari hasil analisis statistik non parametrik dengan tehnik Wilcoxon pada nilai posttest 1 dan posttest 2 diperoleh Z= -2,023 dengan p = 0,043 < 0,05. Menunjukkan bahwa ada perbedaan depresi pada ibu anak autis antara post test 1 dan posttest 2 ( follow up 1 minggu tanpa adanya pertemuan kelompok self-help). 

Dari data kuantitatif dan kualitatif yang telah disebutkan diatas diperoleh hasil bahwa pemberian kelompok self-help sangat efektif dalam menurunkan tingkat depresi ibu yang memiliki anak autis. Kondisi anak autis yang sangat kompleks dimana anak autis memiliki kekurangan dalam berkomu-nikasi dan menyampaikan keinginan, emosi dan gerakan tubuh yang tidak terkontrol hingga gangguan atau kesu-litan dalam mengkonsumsi makanan tertentu menjadi faktor pencetus stress dan depresi pada orangtua.

Teori kognitif merupakan teori yang menjelaskan bagaimana individu melihat, mengingat, belajar dan berpikir tentang informasi. Hal ini mengacu pada aktivitas memproses dan menerapkan informasi untuk mencapai perubahan cara pandang dan perilaku individu. Didalam teori kognitif dijelaskan pula bahwa proses kognisi manusia terdapat beberapa tahapan yaitu, stimulus, penginderaan (fisiologis dan psikologis), persepsi, tanggapan/respons, asosiasi dan reproduksi, fantasi, memori, berpikir dan inteligensi. Pengalaman-pengalaman yang dialami oleh individu diproses melalui serangkaian tahapan ini dan menghasilkan perilaku tertentu sebagai bentuk respon terhadap pengalaman. Proses berpikir merupakan aktivitas mental yang memiliki fungsi untuk memproses informasi dan bertujuan untuk memecahkan masalah (Ismail, 2007).

Proses kognisi memiliki andil dalam terbentuknya gangguan depresi. Depresi muncul akibat dari proses kognisi yang menyimpang atau distorsi kognitif. Penderita depresi memiliki kecenderungan untuk mengembangkan

Gambaran-gambaran negatif mengenai diri sendiri, cenderung mengambil informasi dalam bentuk potongan-potongan yang tidak utuh dan mengambil kesimpulan yang tidak cukup matang dalam memahami suatu permasalahan atau disebut juga dengan skema negatif. Adanya skema negatif apabila digabungkan dengan penyim-pangan kognisi akan menjadikan individu tersebut memiliki kecende-rungan memandang negatif terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan, dunia dan masa depannya secara negatif (Lubis, N.L, 2009).

Dalam penelitian ini, ibu yang memiliki anak autis seringkali menyalahkan diri sendiri terhadap apa yang menimpa anaknya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh kelompok yang menyatakan bahwa mereka merasa sangat bersalah terhadap anak-anak mereka yang mengalami autis. Ibu merasa bertanggung jawab atas kondisi anaknya, ibu harus diyakinkan bahwa hal ini bukanlah kesalahannya (Herdiana, 2012). Ibu memiliki resiko tinggi mengalami depresi disebabkan ibu melakukan kontak langsung dengan anak. Gangguan yang diderita anak menyebabkan ibu memiliki pandangan negatif mengenai masa depan anak dan merasa khawatir yang berlebihan mengenai hal tersebut. Tingkat kesulitan dalam mendidik dan mengasuh anak autis dibandingkan dengan anak-anak tanpa hambatan perkembangan turut menjadi faktor timbulnya stress dan depresi pada ibu.

Salah satu terapi yang dapat diterapkan kepada penderita depresi adalah terapi kelompok. Terapi yang berlandaskan kelompok dianggap lebih sesuai bagi individu yang perlu berbagi dengan orang lain untuk merasa bahwa dirinya tidak sendiri dalam menghadapi permasalahannya, bahwa mereka dihar-gai, mereka membutuhkan dukungan dan motivasi dari orang-orang yang juga merasakan hal yang sama.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kelompok self-help sangat efektif untuk menurunkan tingkat depresi terhadap orangtua yang memiliki anak autis.

Pemberian kelompok self-help adalah salah satu terapi yang efektif untuk menurunkan tingkat depresi orangtua (ibu) dengan anak autis.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi depresi pada orangtua yang memiliki anak autis, diantaranya adalah dukungan dari lingkungan terutama pasangan, kondisi ekonomi tingkat pendidikan dan tingkat keparahan gangguan autis yang diderita anak.

Saran yang dapat disampaikan adalah:

  1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian kelompok self-help untuk menurunkan tingkat depresi terhadap orangtua dengan anak autis. sehingga alangkah baiknya jika kelompok self-help tetap dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk mengatasi permasa-lahan yang dihadari orangtua khususnya yang berkaitan dengan perkembangan, pola pendidikan dan pengasuhan anak autis.
  2. Pada Peneliti Selanjutnya. Berda-sarkan hasil penelitian dan evaluasi terhadap rancangan maupun pelak-sanaan intervensi, maka terdapat beberapa saran yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pene-litian sejenis di kemudian hari :
    1. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan memperha-tikan kriteria subyek yang hendak diteliti dengan lebih detail.
    2. Sebaiknya dilakukan kontrol terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi depresi seperti tingkat kemampuan ekonomi, tingkat pendidikan, tingkat keparahan gangguan dan ada atau tidaknya dukungan sosial.
    3. Proses follow-up sebaiknya dilakukan lebih dari sekali supaya peneliti dapat memas-tikan ketahanan efektivitas dari perlakuan yang diberikan.

 

Daftar Pustaka

Alsa, A. (2003). Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Serta Kombinasi Dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar. (2005). Penyusunan Skala Psikologi. Jakarta: Pustaka Pelajar. 

Beck, A.T. (1987). Depression, Clinical, Experimental and Theoritical Aspect. London: Compton Printing Ltd.

Burns, D, D, M.D. (1988). Terapi kognitif “Pendekatan Baru Bagi Penanganan Depresi”. Jakarta: Erlangga.

Chandra, A. (2012). Depresi Dapat Kambuh Kembali. Dalam Jurnal Kesehatan dan Ilmu Kedokteran. Diunduh pada tanggal 11 September 2012.

Chaplin, J.P. (2002). Kamus Lengkap Psikologi – Cetakan Kedelapan. Kartini-Kartono. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Cohen, D.J. & Volkmar, F.R. (1997). Handbook of Autism And Pervasive Development Disorder – 2nd Edition. New York: John Wiley and Son Inc.

Cozby, P,C. (2009). Methods in Behavioral Research – edisi ke-9”. Penerjemah: Maufur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Davidson, G.C., Neale, J.M., & Kring, A.M. (2006). Psikologi Abnormal – Edisi 9. Penerjemah: Noermalasari, F. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Depkes. RI. (2010). Kesehatan jiwa sebagai prioritas Globalhttp://depkes.go.id/index.php/component/content/article/37 infokesehatan/52 kesehatan jiwa sebagai prioritas global.html. Diunduh pada 10 September 2012.

Hadi, S. (2004). Metodologi Penelitian I. Yogyakarta: Andi Offset.

Herdiana, I. (2012). Penerimaan Orangtua yang Memiliki Anak Penyandang Autis. fpsi.web. unair.ac.id/artikel_detail_50333. Diunduh pada tanggal 12 September 2012.

Hurriyati, D. (2012). “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Strategi Coping pada Ibu yang Memiliki Anak Penyandang Autis di Lembaga Terapi Kota Palembang”. Jurnal Psikologi Anima Edisi V No I. (66-74).Diunduh pada tanggal 14 Juni 2012.

Ismail, W. (2007). Belajar Sebagai Suatu Aktivitas Kognisi. Lentera Pendidikan Edisi X, No. 1. (83-94). Malang. Universitas Islam Negri. Diunduh pada 28 September 2012.

Jacobs, Ed E., Masson, Robert L., H, Riley L. (2009). Group Counselling, Strategy and Skill – International Student Edition. Brooks-United States of America: Thomson Higher Education.

Kasih, M. (2006). Pengaruh Pemahaman Tentang Autisme Terhadap Penerimaan Ibu yang Memiliki Anak Autis di Pusat Terapi Anak Kebutuhan Khusus A Plus Malang. Skripsi. Malang: Universitas Wisnuwardhana. Diunduh pada 29 September 2012.

Kurtz, L.F. (1997). Self-Help And Support Groups. New Delhi: Sage Publications.

Lubis, N. L. (2009). Depresi Tinjauan Psikologi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Lubis, M.U. (2009). Penyesuaian Diri Orangtua yang Memiliki Anak Autis. Skripsi. Medan: Univer-sitas Sumatra Utara. Diunduh pada 21 September 2012.

Mappiare, A, AT. (2010). Pengantar Konseling dan Psikoterapi Edisi Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Maramis, W.F. (2004). Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.

Marijani, L. (2003). Bunga Rampai Seputar Autisme dan Penanganannya. Jakarta: Putrakembara Foundation.

Maulana, M. (2011). Anak Autis “ Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Sehat dan Cerdas”. Jogjakarta: KATAHATI.

Maurus, J. (2009). Mengenali dan Mengatasi Depresi. Penerjemah:Qadria, L. Jakarta: Rumpun.

Nirwana, A,D. (2010). Psikologi Ibu, Bayi dan Anak. Yogyakarta: Mulia Media.

Oka, T. (2003). Self-Help Groups for Parents of Children With Interactable Diseases (A Qualitative Study ot Their Organisasional Problems). Desertasi. Chardiff: University of Wales. Diunduh pada 2 Juni 2012.

  Prasetyono, D,S. (2008). Serba-serbi Anak Autis (Autisme dan Gangguan Psikologis lainnya) “Mengenal, Menangani dan Mengatasinya Dengan Tepat dan Bijak”. Yogyakarta: Diva Press

Priyatna, A. (2010). Amazing Autisme! “Mengenal, Memahami, Mengasuh dan Mendidik Anak Autis”. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Psikosomatik-omni.blogspot.com/2011/10/mengapa-perempuan-indonesia-lebih-mudah-depresi-html. Diunduh pada 21 September 2012.

Puspita, D. (2008). Peran Orangtua dalam Mengasuh Anak Autis. Putrakembara.org/rm/peran_ortu.shml. Diunduh pada 21 September 2012.

Puspita, D. (2004). Peran Keluarga Pada Penanganan individu Autistic Spectrum Disorder. http//putra-kembara.org/rm/peran_ortu.htm. Diunduh pada 28 September 2012.  

Pusponegoro, H.D, Puspita, Dra. D. (2003). Bunga Rampai Seputar Autis dan Permasalahannya. Ed- Marijadi, L. Putrakembara.org. Diunduh pada 28 September 2012.

Rahmayanti, S., Zulkaida, A. (2012). “Penerimaan Diri Orangtua Terhadap Anak autis dan Peranannya Dalam Terapi Autisme”.Jurnal Psikologi Klinis, 277-217. Diunduh pada 29 September 2012.

Rahmitha, (2011). Orangtua Dengan Anak Berkebutuhan Khusus. Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini nonformal dan Informal Kementrian Pendidikan Nasional. Diunduh pada 27 September 2012.

Ririnisahawaitun, (2010). Pengaruh Kelompok Swabantu (Self-Help Groups) Terhadapt Tingkat Stres Orangtua dengan Anak Retardasi Mental. Skripsi. Yogyakarta: Publikasi. Diunduh pada 12 Agustus 2012.

Rosenvald, T., Oei, T.P.S. (2011). Perangi Bayangan Kelam Depresi – Upaya Mengelola Depresi Dengan Cognitive Behaviour Theraphy (CBT). Penerjemah: Saraswati, Ina. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Rubyyana, U. (2012). Hubungan Antara Strategi Koping dengan Kualitas Hidup pada Penderita Skizofrenia Remisi Simptom. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 1 No.2. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitan Airlangga.

Safaria, T. (2005). Autisme “Pemahaman Baru Untuk Hidup Bermakna Bagi Orangtua”. Yogyakarta: Graha Ilmu

Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental. Yogyakarta: Kanisius.

Sugiharti, G. (2012). Hubungan Antara Tingkat Depresi dengan Ketera-turan Terapi Rumatan Metadon di Klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Puskemas Manahan Surakarta. Skripsi. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sura-karta. Diunduh pada 29 September 2012. 

Sutadi, R. (2003). Penatalaksanaan Holistik Autisme – Edisi Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sutini, T. (2009). Pengaruh Kelompok Self-Help terhadap Koping Keluarga dengan Anak Retardasi Mental di SLB-C Kabupaten Sumedang. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia. Diunduh 12 Agustus 2012.

 Sutton, C. (2006). Helping Families With Troubled Children A Preventive Approach. West Sussex - England: John Wiley and Son Ltd.

Wijaya, N.S. (2012). Pemahaman Tentang Autisme Terhadap Penerimaan Orangtua yang Memiliki Anak Autisme. Jurnal Psikologi Anima Vol IX No. V (54-59). Malang. Universitas Wisnuwardhana. Diunduh pada 23 September 2012.   

Williams, C & Wright, B. (2004). How To Live With Autism And asperger Syndrome, Strategi Praktis Bagi Orangtua dan Guru Anak Autis. Penerjemah: Tim DR. Jakarta: Dian Rakyat.

Wojowasito, S. (1976). Kamus Umum Lengkap Inggeris - Indonesia, Indonesia - Inggeris. Bandung: PENGARANG.


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya