Artikel 1

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 588 kali

EFEKTIVITAS PELATIHAN PENYESUAIAN DIRI BAGI SANTRI BARU SMP ISLAM PONDOK PESANTREN AS SUNNAH LOMBOK TIMUR

Zaitun Zulkarnain

 

Program Studi Magister Psikologi Profesi

Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

 

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta lapangan yang menunjukkan kurangnya kemampuan menyesuaikan  diri  yang  ditunjukkan  santri  baru SMP Islam As Sunnah Lombok Timur, ditandai dengan para santri  merasa tidak betah tinggal di pondok, ingin pulang, menjadi seorang yang pemurung, tidak mau makan dan bahkan ada yang berhenti karena merasa tidak bias menyesuaikan  diri  dengan  lingkungan  pondok  yang  memang  jauh  berbeda  dengan lingkungan rumah tempat tinggalnya. Kehidupan baru sebagai santri di  pondok pesantren merupakan transisi antara bergantungnya individu dengan orang tua dan kemandirian status serta  identitas  yang  harus  diraih,  tuntutan  untuk  mandiri  bertanggung  jawab,  dewasa, mempunyai  penyesuaian diri yang baik, berprestasi dan dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri bagi santri baru dengan memberikan pelatihan  penyesuaian  diri,  karena  merupakan  cara  tercepat  untuk  dapat  menyampaikan pengetahuan penyesuaian diri pada santri baru. Teknik pengumpulan data menggunakan skala penyesuaian  diri  yang  diberikan  sebelum  dan  sesudah  dilakukan  pelatihan,  analisis  data dengan menggunakan analisis uji beda yang dinamakan Analysis of Variance. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan nyata penyesuaian diri santri baru kelompok eksperimen antara sebelum dengan sesudah mendapatkan pelatihan karena perbedaan sebesar -8,742 yang didukung  oleh  nilai  p  =  0,001.  Sesudah  dilakukan  perlatihan  penyesuaian  diri,  terdapat perbedaan yang signifikan antara  kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen karena perbedaan sebesar -8,955 yang didukung oleh nilai p = 0,001.

Kata kunci : Pelatihan, Penyesuaian Diri, Santri, Pondok Pesantren

 


PENDAHULUAN

Penyesuaian diri merupakan salah satu  persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan  mental remaja. Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidup karena ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri (Mu’tadin, 2002). Kegagalan  remaja dalam melakukan penyesuaian diri akan menim-bulkan bahaya  seperti  tidak  bertanggung  jawab dan mengabaikan pelajaran, sikap agresif dan sangat yakin pada diri sendiri, perasaan tidak aman, merasa ingin pulang jika berada jauh dari lingkungan yang tidak dikenal,  dan  perasaan  menyerah.  Bahaya yang lain adalah terlalu banyak berkhayal untuk mengimbangi ketidakpuasan, mundur ke tingkat perilaku sebelumnya & meng-gunakan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi, proyeksi, berkhayal, dan pemindahan (Hurlock, 1997).

Pondok pesantren merupakan salah satu tempat pendidikan keaga-maan yang dianggap  mampu   mengem-bangkan kepribadian  santri  dan  ikut  serta dalam mencerdaskan bangsa. Pesantren yaitu suatu lembaga pendi-dikan yang menyediakan asrama atau  pondok sebagai tempat  tinggal  bersa-ma  sekaligus  tempat belajar para santri yang dianggap sebagai subkultur  masyarakat  Indonesia,  menjadi salah  satu alternatif pilihan para orangtua ketika menginginkan putra mereka tumbuh  dalam   lingkungan  Islami  yang kondusif, pesantren dinilai mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan pendidikan kontemporer, karena proses pendidikan dan pengajaran yang terpadu. Pondok pesantren As Sunnah merupakan salah satu pondok pesantren Islam Salafiyah di Lombok Timur. Berdiri sejak tahun 2004 dan mulai mendapatkan izin operasional dari  Departemen   Agama  setempat  pada tahun  2011. Memiliki santri pada tahun ajaran 2011-2012 sebanyak 621 santri. Terbagi  di  beberapa  jenjang  pendidikan yaitu TK Islam Assunnah, SD Islam Assunnah, SMP  Islam  Assunnah,  SMA Islam Assunnah dan Ma’had Ali (Wawancara dengan pengurus Yayasan, 2013).

Saat  dilakukan  interview pada tanggal 3 Agustus  2013 di  lingkungan pondok  pesantren, 7 orang santriwati mengaku bahwa tuntutan yang dibeban-kan kepadanya merupakan tuntutan yang berat dan menimbulkan  kebi-ngungan dan stress pada masa awal masuk  pondok. Rutinitas kegiatan yang terlalu padat dan budaya yang sangat  jauh berbeda  dengan kehidupan mereka sehari-hari yang mengalami   perubahan   drastis, misalnya santriwati yang  sebelumnya tidak menggunakan jilbab ketika di pondok diwajibkan  mengikuti aturan dengan menggunakan jilbab ukuran besar beserta cadar. Tidak pernah melakukan kontak dengan lingkungan di luar pondok santriwati. Tidak ada kontak langsung dengan laki-laki diluar pondok putri, karena pondok putri bagi santriwatri steril dari  para lelaki. Hanya ada beberapa pengajar laki-laki yang boleh masuk saat mengajar, itupun para santri tidak diperkenankan untuk melintas dengan bebas saat ada laki-laki didalam pondok, semua santriwati diwajibkan bercadar dan jika tidak ada kegiatan lain harus berada di dalam kelas ataupun  di dalam kamar. Banyaknya  tuntutan yang jauh  berbeda dengan   kehidupan  sebelum tinggal di pondok menyebab-kan timbulnya masalah penyesuaian diri pada para santri di pondok pesantren As Sunnah. Kehidupan baru  sebagai  santri  di pondok  pesantren merupakan transisi antara bergantung individu  dengan orang  tua  dan  kemandirian  status serta identitas yang harus diraih. Santri dituntut untuk mandiri, bertanggung jawab, dewasa, mempunyai penyesuaian diri yang baik, berprestasi dan dapat  menyelesaikan tugas  yang diberikan  dengan baik. Keadaan yang begitu berbeda akan membuat para santri mengalami perubahan dan penyesuaian terhadap lingkungan baru yang ditempatinya. Permasalahan yang dihadapi adalah berawal  dari  ling-kungan fisik dan sosial di tempat yang baru hingga peraturan dan adat  istiadat  yang berbeda. Pada dasarnya santri  yang belajar di pondok pesantren tidak hanya berasal dari daerah dimana pondok pesantren  tersebut berdiri, tetapi juga berasal dari luar kota bahkan ada yang berasal dari luar propinsi. Setiap  santri  yang  berasal  dari  berbagai wilayah tersebut   secara   otomatis akan menempati tempat tinggal  baru  didalam pondok pesantren yang tentunya akan berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya serta  bersama-sama  dengan   para  santri lainnya yang juga berbeda latar  belakang budaya dan tempat tinggal, dalam hal ini individu dituntut harus mampu berperan sesuai dengan tugas  perkembangannya yang berkaitan erat dengan tuntutan peru-bahan kematangan, persekolahan, peker-jaan,  pengalaman beragama dan hal lain  sebagai  prasyarat  untuk  peme-nuhan dan   kebahagiaan   hidup. (Havighurst dalam Yusuf, 2010).

Berbagai upaya dapat   ditempuh agar  siswa segera bisa menyesuaikan diri dengan  banyaknya  perubahan  lingkungan dan beban akademik di sekolah yang baru. Salah  satu  upaya   yang  dapat  ditempuh misal   dengan menerapkan suatu metode berupa pelatihan. Pelatihan tersebut bias berupa permainan dan penyuluhan mengenai   penyesuaian diri pada siswa. Menurut Ristiasih (dalam Ery, 2010) pelatihan adalah suatu bentuk belajar yang efektif, individu dapat meningkatkan pengeta-huan dan penguasaan keterampilan yang baik. Pelatihan dianggap menjadi cara tercepat untuk menyampaikan pengeta-huan tentang penyesuaian diri pada santri, dimana pada proses  pelatihan   ini para  santri  diajak untuk  mempe-lajari  serta  mempraktekkan  langsung bagaimana  kemampuan menyesuaikan diri yang baik untuk selanjutnya agar santri dapat  melakukan penyesuaian diri dengan baik dilingkungan yang  baru  mereka  tempati  yaitu  pondok pesantren As Sunnah.

Penyesuaian diri dapat dikatakan sebagai           usaha    beradaptasi, conform terhadap hati nurani maupun norma sosial, serta perencanaan  dan pengorga-nisasian respon   dalam   menghadapi   konflik   dan masalah. Penyesuaian  diri didukung oleh adanya kematangan emosi         yang menyebabkan individu mampu    untuk memberikan respon secara  tepat  dalam segala situasi. Lawton (Zakiyah dkk, 2010) berpendapat bahwa siswa yang mampu  menyesuaikan diri  dengan baik akan  menge-tahui kapan saat harus belajar dan  kapan   saatnya  harus  bermain  dan segera mengatasi  permasalahanyang menuntut penyele-saian.

Menurut            Kartono (2000), penye-suaian diri adalah usaha manusia untuk  mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungan. Sehingga permusuhan, kemarahan, depresi, dan emosi negative lain sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bila dikikis. Ulfah (2011), mengatakan kemampuan  penyesuaian  diri  sangat  erat hubungan  dengan mutu atau kualitas suatu  lingkungan,  baik  keluarga  maupun lingkungan masyarakat secara luas, sebab kemampuan penyesuaian diri yang dimiliki individu dihasilkan  mela-lui interaksi & pengamatan  sehari-hari dengan orang tua atau lingkungan di sekelilingnya.

Menurut Willis (Pidiana dkk, 2004) penyesuaian diri adalah usaha seseorang untuk menyelaraskan pemu-asan kebutuhan dengan situasi di luar, mampu hidup dan bergaul secara  wajar terhadap lingkungan, sehingga   merasa  puas terhadap diri dan terhadap lingkungannya. Pada hakikat kegiatan dan tingkah laku individu merupakan cara memenuhi kebutuhan. Hal penting untuk  memenuhi sendiri kebutuhan ini individu harus dapat menyesuaikan antar kebutuhan dengan  segala  kemungkinan yang ada dalam lingkungan.

Asrori (2008) berpendapat bahwa penyesuaian mengandung banyak  arti, antara  lain  seseorang  berusaha mengurangi tekanan dorongan kebutuh-an  atau  seseorang  mencoba mengu-rangi frustasi, dapat mengembangkan mekanisme psikologis, membentuk simptom, menggunakan pola perilaku  yang  dapat  dimanfaatkan  dalam berba-gai situasi, dapat juga bersikap tenang, efisien dalam memecahkan konflik &  belajar  sebaik-baiknya  menempatkan diri  di  tengah-tengah  orang  lain.  Semua usaha tersebut tergolong usaha penyesuaian diri.

Menurut  Tallent  (dalam  Agustina, 2010)  di  dalam  setiap  tahap  kehidupan, individu  akan  beru-saha  untuk mencapai keselarasan antara tuntutan personal, biologis, social dan psikologis, serta tuntutan lingkungan sekitarnya. Ada sebagian individu yang berhasil dalam melakukan penyesuaian diri tetapi ada juga yang terhambat.   Penyesuaian diri yang baik akan   memberikan kepuasan yang lebih   besar   bagi kehidupan seseorang. Hanya indi-vidu yang mempunyai kepribadian yang kuat yang mampu menyesuaikan diri secara baik.

Satmoko (dalam Agustina,   2010) memandang penyesuaian diri sebagai interaksi seseorang yang kontinyu dengan dirinya  sendiri, orang lain, dan dunia. Seseorang dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang berhasil apabila dapat mencapai  kepu-asan dalam usaha memenuhi  kebu-tuhan, mengatasi ketegangan, bebas  dari berbagai simptom (gejala) yang mengganggu seperti, kecemasan, kemu-rungan,  depresi,  obsesi, atau  gangguan  psikosomatis  yang  dapat menghambat tugas seseorang. Sebaliknya, gangguan penyesuaian diri terjadi apabila sese-orang tidak mampu mengatasi masalah yang  dihadapi  dan  menimbulkan  res-pon dan reaksi yang tidak efektif, situasi emosional  yang tidak terkendali, dan keadaan yang tidak memuaskan.

Menurut            Gunarsa &  Gunarsa (dalam  Agustina, 2010) ada orang  yang cepat menyesuaikan  diri terhadap perubahan,   namun  ada  juga  yang  perlu waktu lama untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan  dalam dirinya dengan usaha  penyesuaian diri sese- orang mengadakan perubahan-peru-bahan tingkahlaku dan sikap supaya mencapai kepuasan dan sukses dalam aktivitasnya,

Menurut  Fernald  penyesuaian  diri  adalah “a  continuous  process  and  in  a  general sense,  it  exist  on  a  continuum”. Artinya bahwa penyesuaian diri adalah proses yang terus  menerus  dan bukan  tahapan  statis atau berhenti. Lebih khusus proses konstan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan individu sebagaimana          selalu            timbul sepanjang kehidupan individu tersebut.

Runyon dan Haber (dalam Indrawati &  Fauziah,  2012)  menye-butkan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan individu memiliki  lima  aspek  yaitu  :  a)  Persepsi terhadap  realitas. Individu mengubah persepsi tentang kenyataan hidup dan mengin-terpretasikan, sehingga mampu menen-tukan  tujuan  yang  realistik  sesuai dengan              kemampuannya serta mampu mengenali   konsekuensi  dan  tindak-annya agar dapat  menuntun pada peri-laku yang sesuai;  b) Kemampuan  mengatasi stress dan kecemasan.  Mempunyai kemampuan mengatasi stress dan kecemasan berarti individu mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup dan mampu menerima kegagalan yang dialami; c) Gambaran diri yang positif. Gambaran diri yang positifberkaitan dengan penilaian individu tentang dirinya sendiri. Indi-vidu mempunyai  gambaran  diri  yang positif baik melalui penilaian  pribadi maupun melalui  penilaian orang lain, sehingga  individu dapat merasakan kenyamanan psikologis; d)  Kemampuan mengeks-presikan  emosi dengan baik. Kemampuan mengekspresikan emosi dengan   baik berarti individu   memiliki ekspresi  emosi  dan  kontrol  emosi  yang baik; e) Hubungan interpersonal yang baik. Memiliki  hubungan inter-personal yang baik  berkaitan   dengan  hakekat individu sebagai makhluk  sosial yang  sejak  lahir tergantung pada orang lain. Individu yang memiliki  penyesuaian diri yang  baik mampu membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat.

Schneiders (dalam Agustina, 2010) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah : a) Kondisi jasmani, yang meliputi pembawaan  jasmaniah yang dibawa sejak lahir dan kondisi tubuh; b) Perkembangan dan kematangan, yang meliputi kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional; c) Kondisi  lingkungan,  yaitu rumah, keluarga, sekolah.

Sawrey & Telford (dalam Agustina, 2010) mengemukakan bahwa penyesuaian berfariasi sifatnya,  apakah sesuai atau tidak dengan keinginan sosial, sesuai atau tidak dengan ke-inginan personal, menunjukkan  konfor-mitas sosial atau tidak dan atau kombi-nasi dari beberapa  sifat  diatas.  Penyesuaian yang dilakukan tergantung pada sejumlah faktor yaitu pengalaman terdahulu, sumber frustasi, kekuatan motivasi, dan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah.

Penyesuaian diri            ini dapat dipe-ngaruhi  oleh  banyak  faktor,  seperti yang disebutkan oleh Fatimah (dalam Zakiyah dkk, 2010) bahwa ada bebe-rapa factor  yang dapat  mempe-ngaruhi penyesuaian diri,yaitu faktor fisiologis, psikologis,  perkembangan dan kema-tangan, factor lingkungan serta budaya dan  agama.

Menurut Desmita (dalam Zakiyah dkk, 2010) menyatakan bahwa factor yang mempengaruhi penyesuaian diri dapat dilihat dari konsep psikogenik yang meliputi hubungan dengan orang tua, iklim intelektual keluarga, dan iklim emosional keluarga, dan konsep sosiopsikogenik, yang termasuk dalam konsep ini antara lain hubungan  siswa  dengan guru dan iklim intelektual sekolah.

Faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri  dibedakan  menjadi  dua. Pertama, faktor internal, yaitu faktor yang berasal  dari  diri  individu  yang  meliputi kondisi   jasmani, psiko-logis, kebutuhan, kematangan intelek-tual, emosional, mental, dan motivasi. Kedua, faktor eksternal yang berasal dari lingkungan yang meliputi lingkungan  rumah, keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Sesuai dengan kekhasan perkem-bangan fase remaja, penyesuaian diri  di kalangan remaja memiliki karakteristik yang khas: (a). Penyesuaian diri remaja  terhadap  peran dan identitasnya, hal ini        seringkali menyebabkan  remaja menga-lami krisis peran dan identitas, (b).  Penyesuaian diri remaja   terhadap pendi-dikan, pada umumnya  remaja mengeta-hui untuk menjadi  orang  yang  sukses   harus rajin belajar, namun karena dipengaruhi  upaya pencarian identitas diri yang kuat menyebabkan   mereka   mencari   kegiatan lain           yang menye-nangkan, akibatnya seringkali ditemui  remaja  yang  tampak malas dan tidak disiplin dalam belajar, (c). penyesuaian diri  remaja terhadap kehidupan seks, karena secara fisik remaja telah mengalami kematangan   fungsi seksual sehingga perkembangan dorongan seksual semakin kuat, (d). penyesuaian diri remaja terhadap norma  sosial, karena dalam          kehidupan keluargan sekolah maupun masyarakat memiliki ukuran dasar mengenai norma-norma, hukum, moral, sopan      santun dan  adat istiadat, (e). penyesuaian diri  remaja terhadap penggunaan waktu luang, (f). penyesuaian diri remaja terhadap penggunaan uang, (g). penyesuaian diri remaja terhadap kecemasan,  konflik  dan  frustasi,  karena dalam  proses  perkembangan  yang  sangat dinamis,  remaja seringkali dihadapkan pada  kecemasan, konflik  dan  frustasi (Asrori, 2008).

Santri baru  adalah  anggota  santri tingkat awal yaitu para santri yang terdaftar  di  pondok  pesantren  dan  baru akan  memulai  untuk  mengikuti  kegiatan yang akan diadakan di pondok pesantren.

Menurut            Dhofier (2011),             santri adalah siswa yang biasanya hidup mondok di asrama-asrama yang  berada di lingkungan   pondok  pesantren.  Ada dua tipe santri yang belajar di pondok pesantren yaitu : 1) Santri Mukmin. Santri mukmin yaitu santri yang menetap, tinggal bersama  kyai  dan  secara  aktif  menuntut ilmu  dari  seorang  kyai;  dan  2) Santri Kalong. Santri kalong yaitu seorang murid yang berasal dari sekitar pondok pesantren yang pola belajarnya  tidak dengan jalan menetap di dalam pondok pesantren, melainkan  semata-mata belajar dan secara langsung pulang ke  rumah setelah belajar di pesantren.

Pengertian santri baru adalah siswa  baru yang akan mengikuti kegi-atan belajar mengajar  dan  hidup  mon-dok  di asrama yang telah disediakan di lingkungan pondok pesantren.

Pondok pesantren  merupakan  suatu lembaga pendidikan Islam yang mempunyai           tujuan menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian  yang  beriman  dan  berqakwa kepada  Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat, sebagai pelayan-pelayan  masyarakat  sebagaimana kepribadian nabi kepribadian,  menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (Dhofier, 2011).

Pesantren berarti tempat para santri (Dhofier, 2011). Soegarda (dalam Tanshzil, 2012) menyatakan bahwa istilah ”pesantren” berasal dari kata santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam, dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk mempelajari agama Islam.   Secara definitif pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama  atau pondok, diamanat  kyai  sebagai  figur   sentralnya, mesjid sebagai pusat kegiatan  yang menji-wainya, dan pengajaran agama Islam dibawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya (Zarkasyi dalam Tanshzil, 2012).

Pondok Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang  berada pada lingkungan masyarakat Indonesia dengan model pembinaan yang sarat dengan pendidikan nilai, baik nilai agama maupun nilai-nilai luhur bangsa. Sehingga pesantren  menjadi  sebuah  lembaga  yang sangat     efektif  dalam   pengembangan pendidikan karakter (akhlak) peserta didik. Seperti  ungkapan  Sauri  (dalam Tanshzil, 2012) yang menyatakan bahwa pendidikan  karakter di Pesantren lebih efektif dibandingkan  dengan  pendidik-an karakter  di  persekolahan.    Pesan-tren, model pembinaan pembelajaran yang dilaksanakan bersifat kholistik, tidak hanya mengembangkan kemam-puan kognitif, akan tetapi aspek afektif dan psikomotorik Siswa terasah dengan optimal.

Menurut            As’ad, (1995) program pelatihan harus memenuhi komponen- komponen yaitu:  a. Sasaran Pelatihan. Setiap pelatihan harus mempunyai sa-saran yang   jelas   yang   bisa diuraikan   dalam perilaku yang dapat diamati. Jika sasaran dari pelatihan tidak jelas maka tidak bias diketahui   efektivitas   dari   pelatihan   itu sendiri; b. Pelatih (trainer). Tugas pelatih adalah menga-jarkan bahan-bahan latihan dengan metode tertentu sehingga peserta akan memperoleh pengetahuan, keterampilan  dan  sikap  yang  diperlukan seseorang dengan sasaran yang diinginkan; c.   Bahan-bahan pelatihan.   Berdasarkan sasaran pelatihan maka disusun bahan-bahan pelatihan yang  relevan  agar  dapat tercapai; Peserta. Peserta adalah komponen yang cukup penting, jika peserta memang memerlukan   dan  merasa  mampu  untuk mengikuti program  pelatihan maka dapat mempengaruhi      kadar    keberhasilan program pelatihan.

Menurut  Yuwono  (2005)  langkah- langkah  mendesain system pelatihan yang efektif menurut para ahli adalah sebagai berikut: a) Menganalisa kebutuhan pelatihan;  b) Menentukan tujuan pelatihan; c) Memastikan kesi-apan peserta mengikuti pelatihan; d) Menciptakan suatu lingkungan  belajar; e) Mengorganisasikan materi pelatihan; h) Memilih hmetode; &  f) Mengevaluasi program pelatihan;

Pelatihan ini akan mencakup empat aspek  penyesuaian  diri  berda-sarkan  teori yang dikemukakan Derlega (2005) , yaitu :1) kemampuan  individu  untuk  menerima diri sendiri secara obyektif; 2) kemampuan untuk memilih pekerjaan (dalam pembelajaran) yang dapat  memuaskan dirinya  yang  sesuai  dengan  kemampuan dan minatnya;  3) kemampuan mengendalikan luapan emosi, &; 4) kemampuan bersosialisasi.

Pelatihan dianggap menjadi cara tercepat untuk menyampaikan penge-tahuan tentang penyesuaian  diri pada santri, dimana   pada  proses  pelatihan  ini  para santri diajak untuk mempelajari serta mempraktekkan langsung kemam-puan menyesuaikan diri yang baik untuk selanjutnya agar santri dapat melakukan  penyesuaian  diri  dengan  baik di lingkungan  yang  baru  mereka  tempati yaitu pondok             pesantren As Sunnah Lombok Timur.

Berdasarkan paparan teori yang telah diuraikan diatas, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: 1) Ada perbedaan tingkat penyesuaian diri sebelum dan  sesudah          mendapat pela-tihan  penyesuaian diri pada santri baru di SMP  Islam Pondok Pesantren As Sunnah Lombok Timur. 2)  Ada perbe-daan tingkat penyesuaian diri pada santri            baru yang mengikuti pelatihan dengan santri baru yang tidak mengikuti pelatihan penyesuaian diri di SMP Islam Pondok            Pesantren As Sunnah Lombok Timur.

 

Metode Penelitian

Variabel merupakan suatu kon-sep yang dijadikan obyek penelitian dan mempunyai nilai-nilai berubah-ubah. Identifikasi variabel  penelitian  dilaku-kan dengan tujuan agar dapat mengenal fungsi masing-masing variabel pene-litian (Azwar, 2007). Variabel dalam penelitian ini adalah Pelatihan Penyesuaian Diri seba-gai variabel bebas, Penyesuaian Diri  Pada Santri Baru sebagai variabel terikat.

Definisi  operasional  adalah  unsur penelitian   yang   memberikan  bagaimana cara mengukur suatu variable atau dengan kata  lain  sebagai   petunjuk pelaksanaan bagaimana mengukur suatu variable (Azwar, 2007).

Menurut Truelave (dalam Handayani dkk, 1998),         pelatihan adalah salah satu usaha untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang berhubungan dengan tugas tertentu. Dalam penelitian ini, pelatihan dapat   ditempuh sebagai upaya yang direncanakan untuk memfasilitasi proses  belajar guna mencapai kemampuan individu dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidup untuk memper-temukan tuntutan diri dan lingkungan agar  tercapai keadaan atau tujuan yang diharapkan oleh  diri sendiri dan ling-kungan.

Penyesuaian dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya untuk mempertemukan tuntutan diri dan lingkungan agar tercapai keadaan atau tujuan yang diharapkan oleh diri sendiri dan lingkungan. Aspek-aspek penye-suaian diri diadopsi dari konsep yang diungkapkan oleh Derlega (2005) yaitu: 1)  kemampuan individu untuk mene-rima diri  sendiri secara obyektif; 2) kemampuan untuk memilih pekerjaan  (dalam pembelajaran) yang dapat memuaskan dirinya yang sesuai dengan  kemampuan dan minat; 3) kemampuan mengendalikan luapan emosi,4) kemam-puan bersosialisasi

Populasi            penelitian ini adalah seluruh Santriwati Baru di  SMP  Islam Pondok Pesantren  As Sunnah  Lombok Timurya ng seluruhnya           berjumlah 72 orang.

Sampel  penelitian ditetapkan sebagian dari populasi  yang  ada  dengan cara melakukan tryout (mengumpulkan tanggapan dari seluruh anggota populasi) terhadap skala penye-suaian diri.

Berdasarkan hasil tersebut, peneliti menetapkan yang memiliki skor relatif kecil untuk tidak disertakan menjadi anggota sampel. Hasil seleksi tryout tersebut mendapatkan sebanyak 44 orang sebagai sampel yang mana 22 orang sebagai kelompok eksperimen dan 22 orang lagi sisanya  sebagai  kelompok kontrol.  Berdasarkan  hasil   pengumpulan data  tersebut  didapatkan  para  responden yang   memiliki   data-data   yang   bernilai relatif  baik  se-hingga  hasil  tersebut  juga diperla-kukan sebagai test awal (pre-test). Penetapan kelompok  antara  kelompok eksperimen dan kelompok control dilakukan  dengan  teknik  simple  random sampling,   yaitu   individu   dipilih   secara acak   dan   langsung  dibagi  menjadi  dua kelompok yang jumlahnya sama banyak.

Untuk tujuan uji signifikansi, maka subyek di dalam setiap grup harus diambil secara random. Dalam penelitian ini, antara  sampel  kelompok  kontrol  maupun kelompok   eksperimen   dilakukan   secara acak,  yaitu dengan cara membagi seluruh sampel  yang  ada  menjadi  dua  kelompok sama banyak (N = 44, N1  = 22; N2  = 22).

Rancangan eksperimen menggu-nakan desain eksperimen murni. Kelom-pok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki tingkat usia yang sama. Kelompok control tidak menda-patkan perlakuan, sedangkan kelompok ekspe-rimen diberi perlakuan dengan mem-berikan pelatihan penyesuaian diri.

Pelatihan untuk            fasilitator dila-kukan tiga kali dengan melakukan  diskusi  dan  simulasi materi training, dengan   tujuan melakukan   penyamaan   persepsi tentang tujuan pelatihan.

Pelaksanaan pelatihan terdiri  dari empat tahap, yaitu: 1) Melakukan try out pada seluruh populasi penelitian menggunakan skala penyesuaian diri. 2) Perhitungan  nilai  skala  pretest yaitu dari pengumpulan data. Hasil tryout yang telah mengalami seleksi khusus, agar mendapatkan anggota sampel untuk        dijadikan kelompok control dan kelom-pok eksperimen.

Pelatihan  dilaksanakan   selama dua   hari  kepada  para  anggota sampel   kelompok eksperimen. Pelatihan terse-but diselenggarakan dalam bentuk pelatihan  indoor dan   outdoor. Metode  yang digunakan yaitu metode experi-ential learning, dimana peserta akan  merasakan & mengalami sendiri pengalaman-pengalaman hingga mampu   menerapkan dalam kehidupan  sehari-hari, dengan kata lain pelatihan ini merupakan sebuah simulasi kehidupan yang kompleks yang dibuat menjadi sederhana. Pelatihan ini juga mengu-tamakan kegembiraan belajar (joyful learning). Kegembiraan tersebut      bukan berarti menciptakan  suasana ribut dan hura-hura, juga  bukan berarti tidak ada tujuan, namun untuk mendorong bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh   dan  terciptanya  makna, pema-haman, nilai yang membahagiakan  pada diri peserta.

Data utama  pada  penelitian   ini adalah kuesioner yang          diukur menggu-nakan metode   skala. Skala psikologis  yang   digunakan   yaitu   skala penye-suaian diri berdasarkan teknik Skala Likert  dalam empat pilihan respon, yaitu SS (sangat  sesuai), S (sesuai), TS (tidak sesuai),  dan  STS   (sangat  tidak  sesuai). Skala-skala tersebut dibagi  menjadi item- item favourable dan unfavourable.

Indikator penyesuaian diri disusun berdasarkan aspek-aspek penyesuaian diri yang dikemukakan Darlega  (2005), yaitu : 1) kemampuan  individu  untuk  menerima diri sendiri secara obyektif; 2) kemampuan untuk  memilih pekerjaan (dalam pembe-lajaran)          yang dapat memuaskan dirinya  yang  sesuai  dengan  kemampuan dan minatnya;  3) kemampuan mengen-dalikan luapan emosi, &  4) kemampuan bersosialisasi.

Penyusunan alat ukur dimulai dengan menentukan aspek-aspek yang akan digunakan untuk membuat skala. Setelah aspek-aspek ditentukan  peneliti  membuat rancangan skala yang berisi sejumlah item. Penelitian menggunakan skala, yaitu skala penyesuaian diri.

Alat ukur yang digunakan sebelumnya pernah dikembangkan Ery (2008) pada penelitian, yang kemudian oleh peneliti diubah beberapa aitem dengan menyesesuaikan pada tema penelitian yang dilakukan. Uji validitas alat ukur skala penyesuaian diri   terdahulu, diperoleh hasil  22  item dinyatakan valid. Koefisien corrected item total  correlation  pada  skala  penyesuaian diri  untuk  item-item   yang  valid  berada pada  kisaran  angka  0,266  hingga  0,623. Uji reliabilitas untuk variabel penyesuaian diri meng-gunakan teknik Alpha Cronbach. Hasil  yang  didapatkan  bahwa   koefi-sien reliabilitas sebesar alpha 0,827 ini  berarti skala penyesuaian diri cukup reliabel.

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument.Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur yang diinginkan  (Azwar,2012). Uji  validitas  dilakukan   dengan menggunakan  teknik  korelasi  Corrected Item-Total Correlation Coefficient. Indikator dinilai valid bila-mana koefisien tersebut bernilai lebih dari 0,30. Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas yang dilakukan, diketahui bahwa koefisien validitas alat ukur sebanyak 33 aitem tidak valid 19 aitem valid dengan kisaran  nilai  koefisien  corrected  item  to total correlation antara yang terkecil sebesar 0,301 dan yang terbesar 0,532.

Reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2012).  Reliabilitas akan  diukur  dengan koefisien ?  dari Cronbach dengan syarat bahwa  skala dapat dipercaya bilamana ? Cronbach yang  dihasilkan lebih dari 0,30. Hasil  pengujian   memperlihatkan  bahwa koefisien ?  Cronbach  didapatkan sebesar 0,823 sehingga  angket  meme-nuhi  syarat reliabilitas.

Setelah  data terkumpul selan-jutnya dilakukan  analisis  data. Metode  analisis data yang digunakan adalah analisis statistik uji beda yang dinamakan Analysis of Variance (Anova). Metode ini dilakukan untuk menguji  hubungan antara satu variabel dependen dengan satu atau lebih variable independen. Perhitungan  Anova tersebut dilakukan dengan  program SPSS Windows, dengan  memenuhi uji asumsi sebagai berikut : 1) Uji Homogenitas, yaitu Variabel dependen harus memiliki variance yang sama dalam setia kategori variabel  independent.  Jika  terdapat  lebih dari satu variabel independen, maka harus ada homogeneity of variance di dalam cell yang  dibentuk  oleh  variabel  independen kategorikal. Pengujian homogenitas ini dilakukan dengan nama  Levene’s  test  of homogeneity of variance. Jika nilai Levene test  signifikan  (p  <  5%),  maka   group memiliki variance yang berbeda dan hal ini menyalahi asumsi. Yang dikehendaki adalah hasil  Levene test tidak signifikan (p > 5%) karena dengan demikian varian data dapat dikatakan homogen. Hasil Temuan penelitian mendapatkan FLevene sebesar 4,989         yang didukung dengan taraf signifikansi (p) 0,064, karena p  >   0,05  maka  data  varian  kelompok penelitian   ni   sudah   meme-nuhi asumsi homogenitas. 2) Multi-variate Normality, Variance harus mengikuti distribusi normal  multi-variate.  Variabel dependen harus  mengikuti  distribusi  secara  normal dalam setiap kategori variabel independen. Uji   normalitas dilakukan dengan melakukan one sample-Kolmogorof_Smirnov test. Berdasarkan          uji One Sample Kolmogorov-Smirnov diatas maka diperoleh            Z=0,775 dengan taraf signifikansi  0,585. (p) > 0,05, maka data penyesuaian diri yang  diukur pada penelitian  ini   sudah  memenuhi  sebaran data yang normal.

 

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil perhitungan statistik yang ditampilkan  maka  dapat  diuraikan hasil sebagai berikut :

Pada  saat  tryout  (pre-test),  nilai rata-rata kelompok eksperimen secara keseluruhan adalah 165,67 sementara pada saat yang sama, kelom-pok kontrol memiliki rata-rata sebesar 167,25. Uji beda dengan metode Anova menunjukkan perbedaan sebesar –1,583  yang didukung oleh  nilai  p  =  0,558.  Kelompok kontrol memiliki nilai penye-suaian diri lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok eksperimen,  tetapi  tidak  ada  perbedaan nyata  (tidak  signifikan)  penyesuaian  diri antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Pada kelompok kontrol, saat pretest diketahui memiliki rata-rata sebesar 167,45,  ketika materi dico-bakan ulang maka diperoleh  rata-rata  sebesar 165,45. Uji beda dengan         metode Anova menunjukkan perbedaan            sebesar 0,212 yang didukung oleh nilai p = 0,936. Hal ini menunjukkan  Skor  rata-rata  penyesuaian diri   pada   siswa   baru   menurun   sedikit dibandingkan dengan skor rata-rata di awal pertemuan  dan  pada  kelompok  ini  tidak terdapat perbedaan nyata         dalam   hal penyesuaian diri, pada saat pretest maupun saat posttest.

Pada  kelompok eksperimen,  saat pretest diketahui memiliki rata-rata sebesar 165,67  dan  setelah  mengikuti  pelatihan rata-rata yang dicapai sebesar 174,41. Uji beda  dengan metode Anova menunjukkan perbedaan  sebesar  -8,742  yang  didukung oleh nilai p = 0,001. Hal ini menunjukkan meningkatnya tingkat penyesuaian diri dan sekaligus memperlihatkan bahwa terdapat perbe-daan nyata penyesuaian diri   santri baru antara sebelum           dengan sesudah mengi-kuti pelatihan yang diadakan. Dengan demikian, maka hipotesis pertama yang menyatakan ada perbedaan tingkat penyesuaian   diri   sebelum   dan   sesudah mengikuti pelatihan penye-suaian diri pada santri baru di SMP Islam  Pondok Pesantren As Sunnah Lombok  Timur terbukti.

Pada saat  post-test,  nilai  rata-rata kelompok eksperimen adalah 174,41 dan pada  saat  yang  sama  kelompok kontrol memiliki rata-rata sebesar 165,45. Temuan ini memper-lihatkan bahwa sesudah diadakan pelatihan penyesuaian diri, kelompok eksperimen mencapai  skor penyesuaian diri yang lebih     tinggi dibandingkan dengan  kelompok  kontrol. Uji  beda  statistika dengan metode Anova menunjukkan  perbedaan  sebesar  –8,955 yang   didukung   oleh   nilai   p   =  0,001 menunjukkan  bahwa          setelah dilakukan pelatihan maka nilai penyesuaian diri santri baru kelompok eksperimen  berbeda nyata dengan santri baru kelompok kontrol.Temuan ini sekaligus memperlihatkan   bahwa   hipotesis   kedua yang  menyatakan  ada  perbedaan  tingkat penyesuaian   diri  pada  santri  baru  yang tidak  mengi-kuti   pelatihan  dengan  santri baru yang mendapatkan pelatihan penye-suaian  diri  di  SMP  Islam  Pondok Pesantren As Sunnah  Lombok Timur terbukti.

Hasil analisis data pada penelitian ini mendukung semua hipo-tesis penelitian yang diajukan Berarti pemberian pelatihan penyesuaian   diri  pada  siswa  baru  SMP Islam       Pondok Pesantren As Sunnah Lombok Timur meningkatkan tpenyesuaian diri pada siswa baru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penyesuaian diri santri dapat distimulasi dengan metode khusus seperti pelatihan penyesuaian diri. Penelitian ini membuktikan bahwa dengan pelatihan penyesuaian diri akan meningkatkan kemampuan  penyesuaian  diri  pada  santri baru. Analisis data yang dilakukan memperlihatkan  bahwa  skor penyesuaian diri santri baru meningkat setelah mendapatkan  pela-tihan penyesuaian diri. Pelatihan penye-suaian   diri  sangat  tepat diterapkan pada santri baru karena menurut Mu’tadin (2002) penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi  terciptanya kesehatan mental remaja.

Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebaha-giaan dalam hidupnya karena ketidak-mampuan dalam menyesuaikan diri. Bertambahnya kemampuan siswa baru dalam penyesuaian diri di lingkungan barunya, prestasi belajar lebih terjamin sehingga materi-materi yang didapatkan di sekolah  dapat terserap oleh siswa secara lebih baik.

Hasil  penelitian  ini  juga  sejalan dengan  pendapat  Ristiasih  (dalam  Ery, 2010) yang  menyatakan  pelatihan  adalah suatu  bentuk belajar yang efektif dimana individu dapat  meningkatkan pengetahuan dan  penguasaan  keterampilan  yang  baik. Pelatihan dianggap  menjadi cara tercepat untuk menyampaikan penge-tahuan tentang penyesuaian diri pada santri, dimana pada proses  pelatihan  ini  para  santri   diajak untuk mempe-lajari serta mempraktekkan langsung bagaimana kemampuan menyesuaikan diri yang baik            untuk selanjutnya  agar para santri dapat melakukan penye-suaian diri dengan baik di lingkungan  yang  baru mereka tempati yaitu pondok pesantren As Sunnah.

Hasil penelitian juga memperli-hatkan  bahwa  pada  siswa  yang tidak mendapat pelatihan, tingkat penyesuaian diri tidak          mengalami perubahan  berarti.  Hal  tersebut  diketahui dari hasil analisis data,dimana saat pertama (pre-test) dengan akhir pertemuan (post-test), tingkat penyesuaian diri  tidak mengalami   perubahan.   Hal   ini   sejalan dengan  pendapat  Gunarsa  dan  Gunarsa (dalam Agustina, 2010), yang menyatakan bahwa ada orang yang cepat menyesuaikan diri terhadap  perubahan, namun ada juga yang perlu waktu lama untuk menyesuaikan  diri  terhadap perubahan. Adanya usaha penyesuaian diri seseorang dengan mengadakan perubahan-perubahan ting-kah laku dan sikap agar supaya menca-pai kepuasan dan sukses dalam aktivitasnya. Agar penyesuaian  diri dapat dicapai lebih cepat oleh siswa baru dalam memasuki lingkungan  baru  dan  materi pelajaran yang lebih berat, maka pelatihan penyesuaian diri dapat diterapkan kepada para santri baru.

Diskusi singkat yang dilakukan di setiap  akhir  permainan  dilakukan  untuk lebih   menanamkan  pada  masing-masing peserta  tentang  makna  yang  terkandung dari   setiap   perma-inan yang  dilakukan. Hanya saja karena keterbatasan waktu dari beberapa per-mainan yang dilakukan beberapa siswa saja yang dapat mengungkapkan apa yang ia peroleh dari permainan yang telah dilakukan. Pada saat permainan “kesan   pertama”   salah   satu peserta  mengungkapkan  bahwa  penilaian yang dituliskan teman sekelompoknya ada yang kurang sesuai dengan pribadi dirinya yang sebenarnya, dimana ada yang menilai bahwa  ia  adalah  seorang  yang  pendiam, namun di kenyataan sehari-hari sebenarnya ia adalah seorang yang cerewet dan  suka sekali  mengobrol.  Hal  ini  terjadi  karena masing-masing peserta belum terlalu saling mengenal satu sama lain.

Saat sesi diskusi tentang kasus penyesuaian diri, ada peserta yang mengakui   bahwa   ia   pernah   mera-sakan murung seperti  yang  terjadi  pada  kasus tersebut, setiap  malam ia menangis tanpa ada yang mengetahui.  Awalnya ia merasa tidak betah tinggal di pondok, tapi setelah mempunyai beberapa teman dekat ia mulai bisa menikmati kehidupandi  pondok dengan teman-teman yang baru, diakui bahwa dengan     dibentuknya kelompok seperti ini ia otomatis memiliki teman baru lagi.  Walaupun  mereka  baru  saja  dekat namun keakraban dapat mereka jalin karena  masing-masing  teman  kelompok aktif untuk saling menunjukkan ingin lebih mengenal  teman  yang  satu  dengan  yang lain.

Sesi berikutnya yang disajikan adalah sesi gambar diriku, masing-masing peserta diminta   untuk  meng-gambarkan  manusia dengan organ  tubuh yang lengkap setelah itu menje-laskan bagian-bagian dari tubuh sebagai simbol seperti  kepala untuk cita- cita, mata untuk kelebihan yang dimilikinya, hidung  untuk apa yang disukainya,  hati  untuk  kekurangan  yang dimilikinya,  perut  untuk  hal  yang  tidak disu-kainya,  kaki  untuk  bagaimana   cara menggapai cita-cita yang dimilikinya. Pada awalnya peserta merasa malu dengan hasil gambarnya, trainer mengatakan bahwa bukan  hasil  gambar  yang  dinilai  akan tetapi salah  satu  dari ciri penyesuaian diri adalah  bagaimana  masing-masing  peserta mampu  dalam mengungkapkan dan menerima mengenai dirinya sendiri kepada teman temannya meliputi kelebihan ataupun kelemahannya.      Akhirnya ada peserta yang bersedia maju untuk menunjukkan hasil yang              sudah digambarnya  kemudian menjelaskan kepada  teman-temannya.  Pada  akhirnya, masing-masing  peserta  memahami  benar bahwa  sebelum bisa menerima orang lain ia juga harus bisa menerima dirinya sendiri Inilah pasanganku, saat sesi ini peserta bebas untuk mengeksplorasi teman-temannya   lebih   banyak   dan   mengenal teman- lagi karena tidak semua  peserta berasal  dari  kelas  yang  sama.  Masing- masing peserta berusaha untuk mengeksplorasi temannya sehingga ia semakin banyak tahu mengenai temannya tidak hanya nama, alamat, akan tetapi juga apa yang  menjadi kesukaannya, apa yang diinginkan oleh temannya, bahkan berbagi informasi mengenai dirinya sendiri kepada temannya. Lebih banyak informasi yang ia ketahui mengenai  temannya akan semakin menjalin  pertemanan  mereka  lebih   erat. Peserta dapat memahami bahwa salah satu cara  penyesuaian  diri  yang  baik  adalah dengan menge-tahui lebih banyak informasi tentang temannya agar dapat terjalin suasana keakraban.

Sebelum pelatihan  di hari  pertama berakhir, dilakukan ulasan mengenai pelajaran   atau   pengalaman   yang   telah didapatkan  pada  hari  pertama  pelatihan, diskusi singkat yang terjadi peserta mengatakan bahwa mereka            menyadari bahwa  untuk   dapat   menyesuaikan   diri dengan lingkungan yang baru ia harus bisa menerima   apa   yang ada pada  dirinya dengan mensyu-kuri kelebihan dan kekurangan sendiri  dengan  begitu  ia akan merasa nyaman berada  dilingkungan baru tanpa merasa minder dan takut  tidak ada yang mau berteman dengannya, selain itu dengan lebih mencoba mengenal orang lain atau  temannya lebih dalam dan tidak hanya menduga-duga karena kesan pertama yang muncul mengenai sese-orang bisa saja salah karena kurangnya informasi mengenai teman tersebut.

Pelatihan di hari           kedua diawali dengan games yang dilakukan di luar aula, Sesi  ini   berjalan  dengan  cukup  lancar. Peserta mengikuti permainan dengan ceria dan semangat. Saat   balon   akan jatuh peserta ramai saling berteriak kepada masing-masing temannya   untuk   berhati-hati dan berlomba untuk sampai  ke garis finish.  Saat  ditanya  mengenai  apa  yang dirasakan oleh  peserta, ada yang mengatakan kalau balonnya jatuh nanti ada teman  yang marah, kalau balonnya pecah juga   mesti   diulang   lagi,   jadi   masing- masing anggota harus berusaha sebaik mungkin  supaya   tidak  melakukan kesalahan agar bisa menang. karena games ini dilakukan berke-lompok, masing-masing peserta  beru-saha  untuk  tidak  melakukan kesa-lahan. Ada yang mengungkapkan jika berbuat salah atau gagal takut ada teman yang  padahal itu dapat meng-hambat pergaulannya hingga bisa saja di musuhin dan tidak ada teman yang mau berteman  dengannya. Trainer berdiskusi    dengan            para peserta dan menjelaskan bahwa      orang yang dapat menye-suaikan diri dengan   baik adalah orang yang mampu menghadapi masalahnya  dan  tahu  bagaimana  solusi yang  paling  tepat  yang  didapat  melalui pengalaman  diri sendiri dan juga bekerja sama dengan  teman  yang  lain  sehingga dapat   mencapai   hasil   yang   diinginkan secara optimal.

Untuk permainan selanjutnya,  setiap peserta mengikuti permainan dan mentaati peraturan  dalam  permainan  dengan  baik. Peserta berlomba untuk sampai pada teman yang berada di garis finish dengan dipandu oleh temannya yang lain, dan saat evaluasi individu mengerti  bagaimana membangun kerja  sama  antara  satu   peserta  dengan peserta lain dalam mencapai suatu  tujuan. Salah satu peserta mengung-kapkan kadang sulit untuk bias menjalin komunikasi dengan   teman   yang   lain   apalagi   yang mempunyai kekurangan karena bisa bikin susah  teman yang lain, tapi ternyata yang dirasakan   ada   kepuasan   tersendiri   bisa bersama-sama  bekerjasama dengan saling membantu walaupun  susah akhirnya bisa sampai juga dan menyelesaikan permainan dengan baik.

Pemberian materi mengenai minat dan diskusi tentang minat yang dimiliki masing-masing      peserta dapat mengingatkan  kembali  bagi  peserta  pada bidang minat atau obyek kesukaan yang disenangi sehingga jika melaku-kan kegiatan tersebut ia akan merasa puas karena sesuai dengan  minatnya dan ia   mampu  untuk melakukannya.

Peserta mengungkapkan bahwa ia pernah  berminat   pada   suatu bidang  tertentu namun karena  kurang dukungan dari lingkungan yaitu  keluarga bahkan ia difasilitasi untuk menekuni bidang yang lain kini ia juga menyukai bidang tersebut, karena keluarga dan lingkung-an yang mendukung membuat ia  akhirnya  bisa  merasa  senang          dengan apa yang dilakukannya sekarang ini.

Sesi ke sebelas dilakukan review dan evaluasi terhadap   pelatihan   yang telah dilaksanakan selama dua hari ini. Pelajaran apa saja yang didapatkan peserta berkaitan dengan penyesuaian diri ternyata disambut oleh peserta  sebagai suatu pelajaran yang menye-nangkan, walaupun sedang berpuasa namun tak terasa lelah karena kegi-atannya tak seperti belajar tapi lebih banyak bermain dan    banyak hal baru yang ditemukan           dalam pelatihan ini. Lebih mengenal  teman  yang  lain,  terbuka dan saling menyadari keku-rangan dan kelebihan  masing-masing   dengan  begitu perasaan  nyaman  dapat  tercipta  diantara peserta.

Sesi akhir pelatihan masing-masing peserta menuliskan pesan pada temannya dengan saling memberi semangat, dari sini nampak bahwa para peserta merasa senang dan  gembira  dan  lebih  lepas  mengikuti pelatihan ini, suasana  keakraban semakin terjalin  diantara  para  peserta   dan  juga dengan para fasilitator juga para  masrifah yang sengaja mengikuti pelatihan ini dan membantu pelaksanaan pelatihan ini.

Beberapa hal yang nampak berbeda ditunjukkan            para peserta sebelum dilakukan pelatihan dan  sesudah mendapatkan pelatihan yaitu peserta yang awalnya  lebih  sering  berdiam  diri  tidak aktif  dan   nampak   tidak  tertarik  terlibat dengan teman yang  lain dapat menunjukkan sikap yang berbeda dan lebih sering  terlihat tersenyum  berkomunikasi dan mau berbaur dengan teman-temannya. Hal lain pula nampak pada peserta yang awalnya selalu terlihat dekat hanya dengan satu   temannya   saja   sudah   mulai   bisa membaur       dan nyaman dengan kelompoknya yang baru. Semakin terlihat suasana keakraban antara para peserta dihari  kedua pelatihan , peserta sudah tak terlihat canggung dan    malu-malu  lagi karena sudah  saling mengenal lebih jauh satu sama lain.

Perbedaan suasana kelas pada kelompok yang tidak mendapatkan pela-tihan  terasa  lebih  kaku  dan  kurang hangat,   komunikasi   yang   terjalin   antar teman kurang memperlihatkan kebersamaan dan lebih menunjukkan sikap individualis dan asyik dengan dirinya sendiri   walaupun   ada   inter-aksi  dengan temannya yang lain namun kurang terlihat akrab. Pengakuan dari Masrifah (ustadzah merangkap Pem-bina) yang melihat perbedaan perilaku santriwati setelah mendapat pelatihan ditemui saat para santri berbuka  puasa tampak  keceriaan,  mulai bisa saling  berbagi hingga saat di kamar maupun saat sahur, mulai terlihat santri dengan kelompok  yang lebih besar,kebersamaan dan    keakraban semakin terjalin  (berdasarkan  hasil  observasi  dan wawancara dengan ustadzah).

Pengakuan para            ustadzah yang melihat perubahan  para santri setelah mengikuti pelatihan menunjukkan pengaruh yang baik bagi penyesuaian diri santri di pondok  pesantren.Terbukti setelah libur idul fitri dan para santri mulai kembali   ke   pondok,   terlihat   keakraban yang  tetap  terjalin  antar   masing-masing teman, mereka terlihat saling melepas rasa kangen, membawa oleh-oleh untuk temannya dan selalu tampak bersama-sama setiap melakukan  kegiatan seperti di hari pertama di pondok, santri ditugaskan bersih-bersih mulai dari ruang tidur dengan merapikan  barang-barang mereka hingga member-sihkan halaman dan kelas masing- masing.Tampak keceriaan di antara mereka,            terdengar canda              tawa     yang membuat mereka  menikmati kegiatan saat itu.  Saat  waktu  sholat  magrib, kebiasaan awal  yang  tadinya  masing-masing siswa langsung berangkat sendiri ke aula, saat ini sudah            berbeda karena mereka saling menunggu  agar  bisa  bersama-sama  pergi ke  aula.  Begitu  pula  saat  waktu  makan, beberapa siswa yang membawa lauk dari rumah membagi lauknya dan makan  bersama-sama dengan teman yang lain.

Saat sekolah sudah mulai  aktif, para  santri  terlihat  sangat  antusias  untuk mengikuti pelajaran dihari pertama. Kenyamanan  mereka  dengan  lingkungan pondok  mulai   semakin  terlihat,  suasana kelas terasa lebih hangat karena para santri menunjukkan kesiapannya untuk mengikuti pelajaran. Ada hal menarik yang terpantau oleh beberapa  ustadzah dimana di kelas VII B yang ia melihat  salah satu santri mengajak temannya yang lain  yang terlihat hanya diam saja untuk bergabung dengannya bersama teman-teman yang lain. Awalnya santri   tersebut menolak untuk bergabung,  namun  karena  teman- temannya   yang   lain juga  mengajaknya untuk bergabung akhirnya ia pun mau. Hal itu menurut para ustadzah merupakan kemajuan  dari para santri  yang  mulai memperlihatkan kepedulian dengan sesama. Ini menjadi menarik karena santri tersebut  saat  pelatihan   tergabung  dalam kelompok kontrol         atau yang tidak mendapatkan   pelatihan, menurut  para ustadzah hanya beberapa orang santri dari kelompok kontrol  yang mau  bergabung dengan  temannya yang lain itupun karena sebelumnya mereka sudah saling  kenal, namun jika dilihat  dari   kemauan   atau inisiatif mereka tampak  kurang aktif, sangat  berbeda  dengan  para  santri yang tergabung  dalam   kelompok   ekspe-rimen yang bisa tetap menjalin hubung-an  baik dengan temannya yang lain.

Hasil wawancara penulis yang  dilakukan tanggal 23 Agustus 2013 dengan salah  satu  santri  yang  ditunjuk  langsung oleh ustadzah  mengatakan bahwa banyak perubahan  yang  terjadi  pada  dirinya  dan juga pada teman-teman  setelah mengikuti pelatihan. N mengaku ia dan teman-teman menjadi lebih akrab, bisa saling menerima dan saling berbagi walaupun  sebelumnya mereka tidak saling kenal karena  berasal dari kelas yang berbeda dan kamar tidur mereka pun berbeda. Tapi sejak itu mereka menjadi merasa saling dekat. Diakuinya ia sekarang  punya  lebih  banyak teman dan tidak  kesulitan  untuk  menjalin  hubungan dengan teman yang lainnya.Hal ini membawa rasa nyaman       pada dirinya sehingga ia menjadi merasa lebih senang belajar  di  pondok,  bahkan  saat  libur  ia tetap berkomunikasi dengan teman-teman dan tak sabar menunggu saat masuk sekolah.

Materi yang diberikan dalam pelatihan ini dapat  meningkatkan pemahaman subjek penelitian tentang cara menyesuaikan diri yang baik dengan lingkungan baru, dengan menge-tahui ciri-ciri individu  yang memiliki kemampuan  penyesuaian  diri  yang  baik memberi pengalaman dan pela-jaran bagaimana subyek dapat menyi-kapi situasi yang   mungkin   akan   dia-laminya   dalam lingkungan  barunya  di  pondok  pesantren agar disikapi dengan cara yang tepat.

Saran yang dapat diberikan adalah:

  1. Bagi Pihak Pondok Pesantren. Mengingat manfaat yang bisa didapat dari  hasil  pelatihan,  diharapkan  bagi pihak sekolah  (Pondok Pesantren) untuk secara rutin mengadakan pelatihan kepada para santri, terutama kepada santri baru yang memang membutuhkan   pelatihan   penyesuaian diri. Pihak sekolah bisa  melakukan gathering   sebagai  media  untuk  bisa saling berkumpul bersama.
  2. Bagi Subjek Penelitian. Tidak hanyapaham & mengerti mengenai penyesuaian diri, melatih  diri  dengan  menerapkan  apa yang   didapatkan  dalam  pelatihan  di kehidupan sehari-hari. Tidak hanya di lingkungan pondok, teman sebaya, namun  juga  dengan  skala  yang  lebih luas,  yaitu   masyarakat  di sekitarnya sehingga kelak  dapat dengan mudah menyesuaikan diri dalam segala situasi dan kondisi.
  3. Bagi Peneliti Selanjutnya agar memperhatikan variable lain yang sekiranya juga berpengaruh terha-dap penyesuaian diri siswa/santri, seperti pengasuhan orangtua, motivasi belajar, dan budaya. Bisa juga melihat kemungkinan lain misalnya dengan memberikan pela-tihan penyesuaian diri bagi  santri yang akan lulus agar bisa mela-kukan   penyesuaian   diri   dengan dunia luar yaitu lingkungan masyarakat di luar pondok pesan-tren. Hal lain yang juga perlu diperhatikan mengenai perkem-bangan kepribadian  santri setelah  tinggal di pondok  pesantren meng-ingat  ada  beberapa  orang  santri yang  sebelumnya  tidak  menggu-nakan jilbab kemudian di ling-kungan pondok setiap santri diwa-jibkan menggunakan jilbab ukuran  besar dan bercadar yang kemung-kinan dapat mempengaruhi peneri-maan diri mereka.

 

DAFTAR PUSTAKA

As’ad,  M. (1995). Psikologi Industry, Yogyakarta : liberty

Asrori, Muhammad. (2007) Psikologi Pembelajaran.    Bandung: CV. Wacana Prima

Azwar, S, (1997). Reliabilitas dan Validitas.Yogyakarta :   Pustaka Pelajar

Chaplin, J.P. (1999).    Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Ery K.,Y.F.A (2008) Efektivitas Pelatihan Kompetensi Inter-personal Terhadap Penyesuaian Diri Siswa Pada masa Transisi di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Katolik Soegijatpranata Semarang.

Handayani, M.M.  dkk  (1998)  Efektivitas Pelatihan Penge-nalan    Diri Terhadap Pening-katan Penerimaan Diri  dan  Harga  Diri.  Universitas Gajah Mada.

Hurlock,E.B. (1997) Psikologi Perkem-bangan Sepanjang Rentang kehidupan.         Alih Bahasa Istiwidayanti dan Soedjarwo. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga.

Indrawati. dan Fauziah N. (2012) Attachment & Penyesuaian Diri Dalam Perkawinan  Vol  11,  No  1  Jurnal Psikologi ISSN : 1693-5586 Fakultas Psikologi Univer-sitas Diponegoro

Kriyantono, Racmat (2008) Teknik Praktek Riset Komunikasi: Diserasi Contoh Praktek         Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organi-sasi, Komunikasi Pemasaran, Edisi ke-1, Cetakan ke-3.

 

Mu’tadin,  Z.  (2002)  (Diakses 20  Juli 2013).  Penyesuaian  Diri  Remaja.  http://www.epsikologi.com/

Muryantinah Handiaya. Sofia Ratna-wati, Avin Fadilla Helmi, (1998)  Efektivitas Pelatihan Pengenal-an Diri            Terhadap Peningkatan  Penerimaan  Diri  dan Harga   Diri, Jurnal Psikologi, Uni-versitas Gajah Mada

Pidiana,            M. dan Nursalim, M. (2004). Penerapan Strategi Modeling   Par-tisipan          Untuk Meningkatkan Penyesuaian  Diri  Terhadap  Teman Sebaya.  Jurnal  Program  Studi BK Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Surabaya

Soenarno, Adi (2006)   Team   Building. Yogyakarta : CV. Andi Offset.

Sunahwa, dan Warsito H. (2011) Peng-gunaan Strategi Self-Manage-ment untuk Meningkatkan Pe-nyesuaian Diri  di  Lingkungan Pesantren.  Jurnal  Program  Studi BK Fakultas Ilmu      Pendi-dikan. Universitas Negeri Surabaya

Ulfah, (2011). Program Bimbingan dan Konseling Pribadi Sosial Untuk Meningkatkan Kemampuan Pe-nyesuaian Diri Siswa Terhadap Keragaman Budaya. Jurnal       ISSN     2337-4276. Universitas           Pendidikan Indonesia Kencana Prenada Media Group.

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya