Artikel 1

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 244 kali

PERBEDAAN KREATIFITAS PADA ANAK TK YANG MENGGUNAKAN METODE BEYOND CENTERS  AND CIRCLE TIME DENGAN METODE KONVENSIONAL

 

Hilda Irmawati, Sinta Nova Arpita

Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

Abstrak

 

Tujuan penelitian ini untuk melihat apakah ada perbedaan kreativitas pada anak Taman Kanak-kanak (TK) yang menggunakan metode Beyond Centers and Circle Time (BCCT) dengan metode konvensional. jumlah siswa Taman Kanak-kanak yang menggunakan metode BCCT berjumlah 38 siswa, sedangkan jumlah siswa yang akan dijadikan sampel penelitian  pada Taman Kanak-kanak yang menggunakan metode konvensional berjumlah 42  siswa. Alat ukur yang dipergunakan untuk mengumpulkan data penelitian pada variabel kreativitas adalah Torrance Test of Creative Thinking (TTCT). Hasil analisa data dengan uji-t menghasilkan nilai t sebesar -0,013 dengan p = 0,986 (p > 0,05) artinya tidak ada perbedaan kreativitas pada anak Tk yang menggunakan metode Beyond Centers and Circle Time ( BCCT ) dengan metode Konvensional. Ditemukan  skor rerata Kreativitas pada anak TK yang menggunakan metode BCCT = 199,784 lebih kecil daripada skor rerata Kreativitas pada anak TK yang menggunakan  metode Konvensional = 199,886, tetapi perbedaan skor rerata tidak cukup signifikan sehingga dianggap tidak ada perbedaan.

 

Kata Kunci: Kreatifitas, Beyond Centers and Circle Time

 

 


Pendahuluan

Pengembangan kreativitas terkait dengan masa kritis, yakni masa kanak-kanak. Pada masa ini, anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa. Masa ini juga merupakan periode kritis dalam berprestasi, yaitu masa pembentukan kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses atau sangat sukses. Kebiasaan yang terbentuk pada masa ini cenderung menetap hingga dewasa (Hurlock, 1999).

Masa kanak-kanak disebut sebagai usia kreatif, yaitu suatu masa yang akan menentukan apakah anak-anak menjadi konformis atau pencipta karya baru dan orisinal. Meskipun dasar-dasar kreativitas berada pada awal masa kanak-kanak, kemampuan untuk menggunakan dasar-dasar ini dalam kegitan-kegiatan orisinal pada umumnya belum berkembang sempurna sebelum anak-anak mencapai tahun-tahun akhir masa kanak-kanak. (Nooryanie, 2007)

Kreativitas sebagai suatu proses mental, sebenarnya telah ada pada diri tiap individu, sehingga sering kali hanya karena kurang dan tidak adanya kesempatan membuat potensi tersebut kurang atau bahkan tidak sempat muncul (Csikszentmihaly, dalam Maria, 2004).

Munandar (1999) mengemukakan mengapa kreativitas begitu bermakna dalam hidup. Pertama, karena dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya, dan perwujudan diri termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Maslow (dalam Munandar, 1999) mengatakan bahwa kreativitas merupakan manifestasi dari diri individu yang berfungsi sepenuhnya dalam perwujudan dirinya. Kedua, kreativitas atau berfikir kreatif sebagai wujud untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Ketiga, bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat, tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu. Keempat, kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya.

Begitu pentingnya pengembangan kreativitas murid dapat diamati dari bergesernya peran guru, yang semula seringkali mendominasi kelas kini harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada murid untuk mengambil peran lebih aktif dan kreatif. Ini dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Suasana belajar yang menyenangkan menyebabkan proses pembelajaran lebih efektif, karena bagaimanapun akan sulit membangun pemahaman yang baik pada para murid, jika fisik dan psikisnya dalam keadaan tertekan (Djunaedi, 2005)

Arasteh (dalam Hurlock, 1989) berpendapat bahwa lingkungan Taman Kanak-kanak (TK) tergolong lingkungan yang memperkenalkan kreativitas dengan fleksibel dan tidak begitu terstruktur serta evaluatif seperti di lingkungan rumah, sehingga anak dapat dengan leluasa mengembangkan kreativitas mereka. Hal yang sama dikemukakan Rifai (dalam Dewi, 2003) yang mengatakan bahwa pada masa kanak-kanak usia TK, anak memang sudah tergolong siap dan matang untuk belajar berinisiatif dan kreatif. Sebagai upaya  menciptakan generasi penerus yang tangguh, yang mampu untuk bertindak secara proaktif dan berfikir kreatif, haruslah dimulai sejak dini, diawali dari orangtua, lingkungan pendidikan anak, sampai lingkungan masyarakat sekitar. Perlakuan orangtua yang terlalu memperhatikan tumbuh kembangnya kreativitas anak, sehingga orangtua berusaha untuk benar-benar menciptakan anak yang kreatif tanpa menghiraukan keinginan anak, hal ini menjadi boomerang bagi anak.

Mengenai kreativitas dalam perkembangan mental anak, sejumlah lembaga pendidikan mulai membenahi diri, mereka menggunakan metode-metode dengan pendekatan khusus, diantaranya adalah pendekatan Beyond Centers and Circle Time (BCCT) atau dalam bahasa Indonesianya adalah Lebih Jauh Tentang Sentra dan Saat Lingkaran.

Menurut Lestari (file://G:\Indo%20Pos%20Online.htm, 2008 ) mengatakan  bahwa BCCT terdiri dari aplikasi 3 jenis bermain, yaitu peran, sensomotorik dan pembangunan yang terbagi lagi menjadi pembangunan cair dan terstruktur. Inti dari pendekatan BCCT dalam penyelenggaraannya berfokus pada anak yang dalam proses pembelajarannya berpusat di sentra main dalam lingkaran menggunakan 4 jenis pijakan yaitu: pijakan lingkungan, pijakan sebelum main, pijakan saat bermain, pijakan setelah bermain. Diharapkan anak-anak tahu bentuk yang sesungguhnya seperti apa dengan menggunakan panca inderanya, Metode yang dikembangkan oleh Creative Centers For Childhood Research and Training (CCCRT) Florida Amerika Serikat ini sudah diadopsi sejak 2004.

Kegiatan bermain sambil belajar pada sentra-sentra (sentra persiapan, sentra balok, imtaq, seni, peran dan sentra bahan alam), berupaya mengembangkan seluruh potensi kecerdasan anak. Anak dituntut aktif dan kreatif dalam kegiatan di sentra-sentra:1. Sentra Persiapan, yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan keaksaraan dan kemampuan matematika; 2. Sentra Balok, yang bertujuan untuk megembangkan kemampuan visual spasial dan matematika; 3.Sentra Bermain Peran, yang bertujuan mengembangkan kemampuan bahasa dan bermain peran; 4. Sentra Seni, yang bertujuan mengembangkan kemampuan seni rupa, seni bentuk,seni suara, seni musik, seni gerak; 5. Sentra bahan Alam, yang bertujuan mengembangkan kemampuan sains dan sensori motor; 6. Sentra Imtaq, yang bertujuan meningkatkan pemahaman tentang agama dan wawasan kebangsaan. (Sugiharti, 2007)

Pendekatan Beyond Centers and Circle Time (BCCT) proses pembelajaran diharapkan berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.  Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana pencapaiannya. Siswa sadar bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Siswa dapat memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti, dalam hal ini diperlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing atau inspirator (Nafik, 2008).

Peranan guru selain orang tua memegang peran sangat penting untuk menciptakan serta merangsang segenap potensi anak agar dapat berkembang secara maksimal. Agar mutu pendidikan dapat tercapai maka perlu adanya peningkatan Sumber Daya Manusia, setiap guru hendaknya mencintai dan menguasai bidang pengembangan masing-masing. Selain itu guru yang mengajar di sekolah yang menggunakan metode BCCT hendaknya memiliki sertifikasi melalui pelatihan tentang metode sentra. Namun tidak semua guru yang mengajar di sekolah yang menggunakan metode BCCT memiliki sertifikasi tentang metode tersebut.

Pada masa sekarang ini khususnya disurabaya sekolah Pendidikan Anak Usia Dini mulai di galakkan untuk menggunakan metode BCCT, meskipun tidak memiliki data yang pasti tentang berapa jumlah sekolah Taman Kanak-kanak yang menggunakan metode BCCT namun diyakini telah banyak sekolah yang mulai membenahi diri dengan menggunakan metode BCCT.

Berbeda dengan BCCT, pada proses pembelajaran konvensional, pertemuan antara pengajar dan peserta belajar dilakukan dalam suatu kelas, yang menciptakan berbagai efek baik sosial, moril, maupun psikologis bagi peserta belajar tersebut (file://G:\Ancaman%20Pembelajaran%20Konvensional%20520 <%20Personal%20Blogs, 2008) Jika metode pembelajaran konvensional diperhatikan lebih seksama, suasana kelas lebih di dominasi oleh pengajar dan memiliki pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Guru masih menjadi pusat, ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Selain itu metode pembelajaran konvensional lebih berorientasi target penguasaan materi yang terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Nafik, 2008)

Jika di telaah lebih jauh, sesungguhnya kehadiran metode pembelajaran Beyond Centers and Circle Time (BCCT) tidak diarahkan untuk menghilangkan fungsi dari pada metode pembelajaran secara konvensional, akan tetapi sesungguhnya, kehadiran BCCT adalah suatu upaya untuk mengisi kekurangan yang dimiliki dalam metode pembelajaran konvensional, sehingga menjadikan proses pembelajaran tersebut lebih berkualitas dalam banyak hal. Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti tertarik untuk melihat apakah terdapat perbedaan kreativitas pada anak Taman Kanak-kanak (TK) yang menggunakan metode Beyond Centers and Circle Time (BCCT) dengan metode konvensional.

 

Metode Penelitian

Variabel bebas (X) pada penelitian ini adalah metode pembelajaran pada Taman Kanak-kanak yang dalam hal ini  terdiri  atas metode Beyond Centers and Circle Time (BCCT) dan metode konvensional. Sedangkan variabel tergantung (Y) yaitu tingkat kreativitas.

Kreativitas pada anak TK merupakan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru atau kemmampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru baik dalam seni, atau dalam memecahkan masalah. Dalam penelitian ini kreativitas sebagai transformasi skor angka kasar (hasil langsung) ke dalam skor angka skala (dalam T-score) yang diperoleh dari Torrance Test of Creative Thinking (TTCT) yang merupakan skor total dalam mengukur kemampuan individu untuk menuangkan ide-ide kreatif secara lancar ( Fluency), keterbukaan pada gagasan baru, pengalaman dan kemampuan menggabungkan ide (Flexibility), kemampuan menghasilkan respon yang unik, kemampuan subyek menangkap esensi dari informasi yang ditampilkan dalam bentuk figural yang tertuang dalam judul karya (Originality), kemampuan mengembangkan dan menambah detail, memperindah, melengkapi dan memperluas ide serta kemampuan untuk mengolah stimulasi abstrak menjadi nyata (Elaboration) (Maria, 2004).

Metode Pembelajaran. Dalam penelitian ini metode pembelajaran dibedakan antara metode BCCT dan Konvensional.

  1. Metode Beyond centers and Circle Time (BCCT).  Metode BCCT dengan Moving Class System, kegiatan belajar sambil bermain dilakukan dengan cara berpindah ruang sesuai jadwal perputaran yang telah ditentukan, hal ini dilakukan untuk meminimalkan kejenuhan. Anak dituntut aktif dan kreatif dalam sentra-sentra, adapun sentra-sentra tersebut adalah; 1). Sentra bermain peran; 2). Sentra persiapan; 3) Sentra Balok; 4). Sentra Bahan Alam; 5) Sentra seni; 6) Sentra Imtaq, setiap guru hanya memberikan pengarahan dan pembimbing atau inspirator tanpa harus menjadi pusat pengetahuan bagi anak. Anak dapat belajar mengalami sehingga dapat membangun pengetahuan di benak mereka sendiri tanpa harus menghafal pengetahuan atau transfer ilmu.
  2. Metode Konvensional. Pembelajaran konvensional dirancang dari sub-sub konsep secara terpisah menuju konsep-konsep yang lebih kompleks. Berarti bahwa satu langkah mengikuti langkah yang lain, dimana langkah kedua tidak bisa dilakukan sebelum langkah pertama dikerjakan. Pembelajaran konvensional jarang melibatkan pengaktifan pengetahuan awal dan jarang memotivasi siswa untuk proses pengetahuannya. Pembelajaran konvensional secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa.

Dalam penilitian ini jumlah siswa yang diteliti adalah Taman kanak-kanak yang menggunakan metode  BCCT memiliki 38 siswa secara keseluruhan, dan Taman Kanak-kanak yang menggunakan metode konvensional memiliki 85 siswa secara keseluruhan. Sekolah yang menggunakan metode konvensional memiliki jumlah siswa yang lebih banyak dibandingkan sekolah yang menggunakan metode BCCT untuk menyetarakannya maka peneliti menggunakan cluster random sampling pada sekolah yang menggunakan metode konvensional.

Berdasarkan keterangan di atas, jumlah siswa Taman Kanak-kanak yang menggunakan metode BCCT berjumlah 38 siswa, sedangkan jumlah siswa yang akan dijadikan sampel penelitian  pada Taman Kanak-kanak yang menggunakan metode konvensional berjumlah 42  siswa.

Alat ukur yang dipergunakan untuk mengumpulkan data penelitian pada variabel kreativitas adalah Torrance Test of Creative Thinking (TTCT). TTCT adalah salah satu tes untuk mengungkap pemikiran kreatif secara langsung. Tes yang diciptakan oleh Torrance (1974) ini terdiri atas 2 bentuk yaitu verbal dan figural. TTCT verbal bertumpu pada kreativitas yang berupa kata-kata. Melalui kata-kata individu dapat menyampaikan ide-idenya kepada orang lain, karena kata-kata merupakan salah satu alat berpikir yang dimiliki oleh manusia (martini, 2007)

  1. Permulaan kata. Tes ini mengukur kelancaran kata, yaitu menyangkut kemampuan untuk menemukan kata yang memenuhi persyaratan structural tertentu.
  2. Menyusun kata. Tes ini mengukur “kelancaran kata”, tetapi tes ini juga menuntut kemampuan dalam reorganisasi persepsi.
  3. Membuat kalimat tiga kata. Tes ini merupakan ukuran tiga dari “kelancaran dalam ungkapan”, yaitu kemampuan untuk menyusun kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
  4. Sifat-sifat yang sama. Tes ini mengukur “kelancaran dalam memberikan gagasan”, yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan yang memenui persyaratan tertentu dalam waktu yang terbatas.
  5. Macam-macam penggunaan, terdiri dari: a. Fluency, yaitu kemampuan untuk secara lancar mengemukakan pendapat atau ide; b. Fleksibilitas, yaitu kemampuan untuk lentur, fleksibel, luwes, untuk mengemukakan ide atau gagasan; c. Originalitas, yaitu kemampuan untuk menghasilkan keaslian ide atau gagasan.
  6. Apa akibatnya. Tes ini merupakan ukuran dari kelancaran dalam memberikan gagasan di gabung dengan “elaborasi” artinya sebagai kemampuan untuk mengembangkan suatu gagasan, memperincinya dengan mempertimbangkan bermacam-macam implikasinya.

TTCT verbal lebih bertumpu pada kreativitas yang berupa kata-kata, mengingat kemampuan verbal pada anak usia TK sangat terbatas maka alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian pada variable kreativitas ini adalah TTCT bentuk figural.

Materi tes kreativitas figural ini terdiri dari tiga aktivitas tes yang masing-masing mewakili jenis pemikiran atau dimensi kreatif yang berbeda. Ketiga subtes tersebut adalah sebagai berikut:

1.   Membuat atau menciptakan gambar (picture Constructions). Aktivitas tes ini mengukur originality dan elaboration dalam berpikir kreatif. Subyek diminta untuk menyelesaikan sebuah stimulus berupa bercak hitam melengkung yang belum selesai. Cara penyelesaiannya tergantung pada subyek. Waktu yang disediakan untuk mengerjakan adalah 10 menit.

2    Melengkapi bentuk (incomplete figures). Aktivitas tes ini untuk mengukur flexibility, sekaligus juga originality, elaboration sebagai tambahannya, sedangkan fluency sebagai faktor sampingan. Disini subyek diminta untuk melengkapi gambar yang belum selesai sebanyak sepuluh gambar. Waktu yang tersedia untuk mengerjakan adalah 10 menit.

3.   Mengulang bentuk atau lebih dikenal sebagai tes lingkaran (repeated figures). Aktivitas tes ini untuk mengukur fluency sekaligus originality, elaboration dan flexibility sebagai perimbangannya. Subyek diminta untuk membuat gambar sebanyak mungkin dari lingkaran-lingkaran yang disediakan, yang berjumlah 36 lingkaran. Batas waktu untuk mengerjakan adalah 10 menit.

Nilai total kreativitas yang dimaksudkan dalam TTCT adalah diperoleh dari skor masing-masing dimensi kreativitas yang ada didalamnya. Dimensi atau aspek yang dimaksud seperti yang telah disebutkan diatas oleh Torrance (dalam Maria, 2004) dijelaskan sebagai berikut:

1.   Fluency, yaitu berupa skor yang diperoleh dari kelancaran subyek dalam memunculkan ide dan menuangkan pada gambar yang nyata pada aktivitas tes ke-2 dan ke-3, skor merupakan jumlah gambar atau respon yang mampu dibuat subyek atas stimulus yang ada pada tes, dengan pertimbangan bahwa respon tersebut memiliki makna (bukan sekedar coretan saja) dan bukan merupakan pengulangan bentuk, karena tidak akan dihitung. Jadi semakin banyak respon yang mampu dihasilkan subyek (pada aktivitas tes ke-2 maksimal 10 respon dan pada aktivitas tes ke-3 maksimal 40 respon), maka makin tinggi skor fluency-nya.

2.   Flexibility, yaiu berupa skor yang diperoleh dari jumlah kategori gambar (kelompok jenis respon) yang mampu dihasilkan subyek pada aktivitas tes ke-2 dan ke-3. masing-masing kategori tersebut memiliki kode penomoran yang terstandarisasi, dan berapa banyak nomor kategori gambar tersebut kemudian dijumlahkan. Namun bila terdapat nomor kategori yang sama (dari dua respon atau lebih), maka dianggap hanya ada satu respon dengan nomor kategori tersebut. Skor flexibility subyek tinggi jika ia mampu menunjukkan respon atau gambar yang banyak tetapi tidak dalam satu atau beberapa kategori saja, tetapi beragam kategori.

3.   Originality, yaitu skor yang diperoleh dari nilai keunikan gambar dan keunikan judul gambar yang dibuat subyek pada aktivitas tes ke-1 sampai ke-3 yang didasarkan pada panduan norma yang berlaku. Dalam TTCT Scoring Guide telah terhimpun data jenis gambar dengan klasifikasi nilai original tertentu. Pada aktivitas tes ke-1 nilai originality-nya berkisar antara o sampai 5, pada aktivitas tes ke-2 nilainya antara 0 sampai 2, dan pada aktivitas tes ke-3 nilainya antara 0 sampai 3. jika yang dihasilkan subyek tidak terdapat (tidak termasuk dalam penggolongan) pada daftar originality pada buku panduan, maka dianggap originality baru sehingga berhak mendapat nilai tertinggi sesuai kriteria yang berlaku pada tiap aktivitas.

4.   Elaboration, yaitu skor yang diperoleh berdasarkan jumlah pengembangan ide yang mampu dihasilkan subyek pada tiap aktivitas tes TTCT. Setiap bentuk baru yang merupakan pengembangan dari stimulus, yang bukan merupakan pengulangan, diberikan nilai 1. sehingga satu gambar yang dihasilkan subyek, dapat memiliki nilai elaboration yang tinggi bila gambar tersebut begitu detil dan lengkap.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan antara kelompok yang akan diteliti, maka metode analisis data yang di gunakan adalah uji t (t tes). Sebelum dilakukan analisis data perlu dilakukan uji prasyarat atau uji asumsi yaitu uji normalitas sebaran dengan uji chi kuadrat dan uji homogenitas.

 

Hasil Penelitian

Perbedaan kreativitas pada Anak TK yang menggunakan metode Beyond Centers and Circle Time dengan metode Konvensional telah dianalisis dengan uji-t. Hasil analisa data dengan uji-t menghasilkan nilai t sebesar -0,013 dengan p = 0,986 (p > 0,05) artinya tidak ada perbedaan kreativitas pada anak Tk yang menggunakan metode Beyond Centers and Circle Time ( BCCT ) dengan metode Konvensional. Ditemukan  skor rerata Kreativitas pada anak TK yang menggunakan metode BCCT = 199,784 lebih kecil daripada skor rerata Kreativitas pada anak TK yang menggunakan  metode Konvensional = 199,886, tetapi perbedaan skor rerata tidak cukup signifikan sehingga dianggap tidak ada perbedaan.

Lebih jauh dihasilkan data kreativitas pada Anak TK yang menggunakan metode BCCT dengan metode Konvensional tidak terdapat perbedaan, yang diperkuat dengan hasil dari masing-masing aspek yang tampak tidak berbeda. Mean total fluency pada metode BCCT sebesar 49,973, sedangkan Mean total fluency pada metode konvensional sebesar 49,914. Hal ini menunjukkan tidak adanya perbedaan pada aspek kelancaran didalam memunculkan ide dan menuangkannya pada gambar nyata  antara metode BCCT dengan metode Konvensional. Selain itu. Mean total flexibility pada metode BCCT sebesar 49,892, sedangkan Mean total flexibility pada metode Konvensional sebesar 49,886. hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan dalam menghasilkan ide yang berbeda atau kemampuan secara luwes dalam menggabungkan berbagai ide menjadi ide lain antara metode BCCT dengan metode Konvensional. Mean total originality pada metode BCCT sebesar 49,973, sedangkan Mean total originality pada metode Konvensional sebesar 50,000. hal ini menunjukkan  tidak terdapat perbedaan dalam  menghasilkan  ide yang unik dan baru antara metode BCCT dengan metode Konvensional. Mean total elaboration pada metode BCCT sebesar 49,946, sedangkan Mean total elaboration pada metode Konvensional sebesar 50,086. hal ini berarti tidak terdapat perbedaan dalam pengembangan atau aksplorasi ide antara metode BCCT dengan metode Konvensional.

 

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kreativitas pada anak TK yang menggunakan metode Beyond Centers and Circle Time ( BCCT) dengan metode Konvensional. Hipotesis yang berbunyi “ anak yang bersekolah di sekolah yang menerapkan metode pembelajaran BCCT memiliki kreativitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang bersekolah di sekolah yang menerapkan metode pembelajaran konvensional” tidak terbukti.

Tidak terbuktinya penelitian ini menunjukkan bahwasanya metode pembelajaran hanya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya kreativitas anak, adapun faktor-faktor lain yang berperan dalam terbentuknya kreativitas adalah faktor keluarga dan faktor sosial. Terdapat faktor lain yang saling mempengaruhi kreativitas, yang apabila tidak terdapat salah satu diantaranya maka akan mengakibatkan terhambatnya sebuah kreativitas.

Kreativitas merupakan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru atau kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru baik dalam seni atau dalam memecahkan masalah. Munculnya kreativitas tidak semata-mata karena peranan sekolah dalam menerapkan metode belajar, peranan keluarga dan lingkungan sosial tak lepas dari munculnya kreativitas.

Selo Soemardjan (dalam Munandar, 2004) menyatakan kemampuan kreatif individu tidak sama sekali lepas dari pengaruh kebudayaan dan masyarakat yang mengelilinginya. Timbul dan tumbuhnya kreativitas dan selanjutnya berkembang suatu kreasi yang diciptakan oleh individu tidak luput dari pengaruh masyarakat dimana individu itu hidup dan bekerja. Peranan dari teknologi dalam suatu kebudayaan yang dapat membatasi atau meluaskan kreativitas. Teknologi yang sudah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi membuka kemungkinan yang luas bagi timbul dan berkembangnya kreativitas suatu masyarakat (Munandar, 2004).

Menurut Munandar (2004), faktor yang meningkatkan kreativitas, antara lain adalah faktor Sekolah. Guru mempunyai dampak yang besar tidak hanya pada prestasi pendidikan anak, tetapi pada sikap anak terhadap sekolah dan terhadap belajar pada umumnya. Guru juga dapat melumpuhkan rasa ingin tahu alamiah anak, merusak motivasi, harga diri, dan kreativitas anak. Hal ini disebabkan guru memiliki lebih banyak kesempatan untuk merangsang atau menghambat kreativitas (Munandar, 2004).

Sekolah memiliki peran penting dalam perkembangan kreativitas anak, dapat dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah yang mulai membenahi diri melalui metode belajar yang diterapkan di sekolah, salah satunya adalah metode BCCT. Metode BCCT merupakan metode dimana anak melakukan percobaan sendiri, guru hanya sebagai fasilitator dan mengawasi, mencatat serta melaporkan perkembangan anak. Metode pembelajaran BCCT memang tidak mengajarkan tentang kreativitas tetapi memungkinkan munculnya ide-ide kreatif, karena semua anak pada dasarnya kreatif, faktor lingkunganlah yang menjadikan anak tidak kreatif (Gunawan, 2007).

Taman Kanak-kanak yang menerapkan metode BCCT meskipun memiliki keunggulan dalam konsep belajarnya dimana siswa diberikan kebebasan untuk menyelesaikan persoalan dengan gaya mereka sendiri sehingga siswa berani berbeda dengan orang lain, namun BCCT hanyalah salah satu faktor penunjang untuk meningkatkan kreativitas yang tidak akan  berhasil apabila faktor lain seperti lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat tidak menerapkan metode yang sama, dalam arti pola asuh yang diterapkan di keluarga maupun masyarakat hendaknya sama seperti yang diterapkan pada metode BCCT yaitu memberikan kebebasan dalam berfikir dan bertindak yang nantinya anak dapat menyelesaikan persoalan dengan gaya mereka sendiri.

Metode BCCT akan berjalan dengan baik apabila ketiga faktor tersebut juga menerapkan metode yang sama, jika tidak maka metode BCCT sulit untuk diserap secara baik, hanya sebagian kecil saja dalam artian hampir tidak berhasil, mengingat sebagian besar waktu anak lebih banyak dihabiskan di rumah.

Menurut Dheweeq, (2008) metode BCCT merupakan metode pembelajaran dimana setiap guru mengampu 5-6 anak dalam satu kelas agar guru dapat mencatat perkembangan anak secara maksimal, namun pada kenyataannya hal tersebut belum diterapkan disekolah-sekolah yang menggunakan metode BCCT; a. Sekolah yang dijumpai yang menggunakan metode BCCT dalam satu kelas terdapat 20 siswa dengan 2 staf pengajar. Banyaknya siswa dalam satu kelas membuat guru sulit untuk memperhatikan siswa secara maksimal, hanya sebagian siswa saja yang dapat diperhatikan dengan baik, hal tersebut disebabkan minimnya sumber daya manusia yang berkualitas yang berguna untuk mendidik generasi-generasi baru; b. Ruang kelas yang seharusnya terpisah antara satu sentra dengan sentra lainnya hanya dipisahkan dengan pembatas sederhana dimana  siswa bisa melihat dan mengganggu konsentrasi siwa pada sentra yang lain, hal tersebut disebabkan minimnya ruang kelas; c. Guru yang seharusnya mencintai dan menguasai sentra hanya sebagian yang memiliki sertifikasi dari pelatihan metode BCCT.

Seperti halnya metode BCCT yang memiliki kelemahan dan keunggulan, metode konvensional juga memiliki kelemahan dan keunggulan. Proses pembelajaran konvensional meskipun masih berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa, (http://ipotes.wordpress.com, 2008) namun memiliki keunggulan keunggulan yaitu pertemuan antara pengajar dan peserta belajar dilakukan secara langsung dalam suatu kelas, yang menciptakan berbagai efek baik sosial, moril, maupun psikologis bagi peserta belajar tersebut. Tatap mata dari guru dapat dirasakan sebagai perhatian, teguran, maupun pengawasan. Keunggulan lain dari metode konvensional adalah suasana hiruk-pikuk selama pergantian sesi jadwal belajar merupakan kegiatan penyegaran bagi siswa, agar saat menerima pelajaran berikutnya siswa bisa lebih berkonsentrasi saat guru sedang serius memberikan bahan-bahan pembelajaran, hal ini menghadirkan suasana belajar yang hidup.

            Berdasarkan pembahasan diatas, dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kreativitas yang merupakan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru atau kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru baik dalam seni maupun dalam memecahkan masalah hendaknya  dipupuk dan ditumbuhkembangkan sejak dini, namun dengan memasukkan anak ke sekolah-sekolah yang menunjang anak untuk menjadi kreatif saja tidak cukup, karena peran keluarga khususnya orangtua dan peran masyarakat juga sangat mempengaruhi terbentuknya sebuah kreativitas. Hal ini disebabkan bahwasanya faktor keluarga, faktor sosial dan faktor sekolah saling berkaitan atau saling mendukung. Antara satu dengan lainnya. Tidak seimbangnya ketiga faktor tersebut  membuat anak sulit untuk mengembangkan kreativitas.Pendahuluan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Astuti, S. T. 2005. Hubungan Antara Sikap Guru BK Terhadap Metode 17 Dengan Tingkat Keberhasilan Menangani Kenakalan Remaja di Sekolah. Skripsi (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945.

Chaplin, 2000. Kamus Lengkap Psikologi, Penerjemah Kartini Kartono, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Dewi, Z.P. 2003. Pengaruh Alat Permainan Keterampilan Berfikir (Montessori) Terhadap Kreativitas Anak Usia Prasekolah pada TK Raden Patah di Semolowaru Utara. Skripsi (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945.

Djunaedi, D. 2005. Memacu Kreativitas Siswa Dalam Belajar. (?). http://www.gongle.co.id

Eko, B. 2008. Pengertian Kreativitas. 16 Maret 2008. Google Group. http://eko.l3.wordpress.com.

Gunawan. 2007. (Syiar-Islam) Menumbuhkembangkan Kreativitas Anak. 03 juni 2007. http//www.mail.archive.com/syiar-islam@yahoogroup/msg00269.htm.

Hendrawanti, S. 2003. Perbedaan Sikap Menerima Pada Orang Tua Yang Memiliki Anak Autisme Ditinjau Dari Tingkat Pendidikan (Sekolah Menengah Umum Dan Sarjana). Skripsi (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945.

Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. 5 th ed., Terjemahan Istiwadayanti dan Soedjarwo, Jakarta: Erlangga.

-----------. 1989. Perkembangan Anak, Jilid 1, 6 th ed., Terjemahan Meitasari Tjandrasa, Jakarta: Erlangga.

................ 1989. Perkembangan Anak, Jilid 2, 6 th ed., Terjemahan Meitasari Tjandrasa, Jakarta: Erlangga.

Kartini. 2001. Model Pembelajaran Atraktif di Taman Kanak-kanak. 23 Agustus 2001. Google Group. http://www.depdiknas. go.id.

Kartono, K. 1985. Mengenal Dunia Kanak-Kanak. Jakarta: CV. Rajawali

Maria, F. 2004. Studi Tentang Kreativitas Anak TK. Skripsi (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945.

Martini, R. 2007. Hubungan antara Tingkat Kreativitas Verbal Dengan Kemampuan Memecahkan Soal Cerita Matematika Siswa Sekolah Dasar Negeri Semolowaru IV. Skripsi (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945

Munandar, S. C. U. 1999. Mengembangkan Bakat Kreativitas Anak Sekolah: Petunjuk bagi guru dan orangtua, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

----------1985. Mengembangkan Bakat Kreativitas Anak Sekolah: Petunjuk bagi guru dan orangtua, Jakarta: PT. Gramedia.

------------ 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Jakarta: Rineka Cipta.

Nafik. 2008. Makanan Apa BCCT itu?. 07 Maret 2008. Google Group. http://www.geocities com

Nazir, M. 2003. Metode Penelitian, cetakan kelima, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nooryanie. 2007. Perbedaan tingkat kreativitas antara siswa kelas IV SD Alam Insan Mulia dan SD Negeri Klampis Ngasem I No. 246 Surabaya. Skripsi (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Ruben, M. 2004. "Good-bye, Teacher..", 09 Desember 2004. Google Group. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0412/09/opini/1427597.htm.

Sugiharti. 2007. Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini Nasima Dengan Pola Sentra. 24 November 2007. Google Group. file://G:\Thenaff a creative&Iiin school.htm.

Suryabrata. 1989. Metode Penelitian, cetakan kelima, Jakarta: CV. Rajawali.

Tarigan, J. S, Suparmoko, M. 1995. Metode Pengumpulan Data. Edisi 1, Yogyakarta: BPFE.

Winarto. 2006. Menuju Sekolah yang Inovatif. (?). http://www.google.co,id

-----(?). 2008. Totalitas bermain melalui BCCT. 07 Januari 2008. Google Group. file://G:\Indo%20PosOnline.htm

-----(?). 2008 Ancaman Pembelajaran Konvensional?. 13 Mei 2008. Google group. file://G:\Ancaman%20Pembelajaran%20Konvensional%20%

-----(?). 2008. Suatu Bangsa Unggul Karena SDM, Bukan SDA. 12 Mei 2008. Kompas. http://www.google.co.id

-----(?). 2008. Mengunduh Ilmu dari Dunia Digital. 12 Februari 2008. Google Group. file://G:lindex.php.htm.

-----(?). 2008. Pembelajaran Konvensional. 14 Mei 2008. Google Group. http:/lipotess.worti press.com.

-----(?). 2008. Latih Kreativitas Sejak Dini. 06 April 2008. Google Group. www:RadarBanjar.com..

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya