Artikel 2

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 249 kali

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTI

ENT DENGAN PROBLEM FOCUSED COPING PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNTAG SURABAYA

 

Herlan Pratikto & Alvia Pradipta Putri

Fakultas Psikologi Untag Surabaya

 

Abstrak

 

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empirik tentang ada tidaknya hubungan antara adversity quotient dengan problem focused coping pada mahasiswa psikologi UNTAG Surabaya. Metode sampling yang digunakan adalah teknik Purposive Sample. Metode pengumpulan data berupa kuesioner atau angket yang terdiri dari skala adversity quotient dan problem focused coping, jumlah subyek adalah 100. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis korelasi Product Moment dari Pearson.

Hasil perhitungan menggunakan analisis korelasi menunjukkan bahwa Koefisien Korelasi Momen Tangkar Pearson  sebesar = 0,662 pada taraf signifikansi (p) = 0,000. Artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara adversity quotient dengan problem focused coping, dengan kata lain semakin tinggi adversity quotient, akan semakin tinggi problem focused coping dan sebaliknya atau dengan kata lain hipotesis diterima. Selain itu berdasarkan hasil koefisien yang diperoleh dari perhitungan analisis deskriptif antar variabel adversity quotient dengan problem focused coping pada mahasiswa psikologi berada pada interpretasi sedang, artinya banyaknya subyek saat dihadapkan pada suatu masalah hanya bisa menyelesaikannya tanpa memikirkan antisipasi selanjutnya, namun ada beberapa yang menyelesaikan masalah dengan menunggu waktu yang sesuai untuk menyelesaikan. 

Kata kunci: adversity quotient, problem focused coping

 


Pendahuluan

Sebagai individu yang memasuki masa dewasa awal, mahasiswa memikul tanggung jawab yang semakin besar. Mahasiswa harus mandiri, dapat mengambil keputusan sendiri, bertang-gung jawab akan keputusannya sekaligus berani menanggung berbagai resiko atas keputusan yang diambil, mampu mengatur diri, mengarahkan diri, mampu menyelesaikan berbagai masalah dan sebagainya. Bisa dikatakan proses ini tidaklah mudah, butuh proses yang pan-jang dan sulit untuk mencapai kema-tangan atau kedewasaan (Santrock, 2006).

Dari sisi emosi, masa remaja akhir dan dewasa awal merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Mahasiswa dituntut untuk mampu mencapai kematangan emosional. Mampu mengendalikan, mengelola, mengekspresikan emosi dengan tepat dan dengan cara yang lebih dapat diterima masyarakat (Yusuf, 2002). Sebagai individu yang belum memiliki kestabilan emosi, proses menuju kematangan emosi ini juga tidak mudah dicapai.

Secara sosial mahasiswa juga dituntut untuk mampu melakukan penye-suaian sosial. Mereka harus menye-suaikan diri dengan berbagai peran sosial yang sebelumnya belum pernah dijalani baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, mahasiswa harus membuat banyak penye-suaian baru agar dapat membangun hubungan yang sehat dan matang dengan orang lain (Yusuf, 2002).

Selanjutnya, tanggung jawab sosial yang diemban seorang mahasiswa psikologi, masyarakat menganggap bahwa mahasiswa psikologi ke depan mampu menjadi teladan dalam mengatasi permasalahan hidup dan mampu membantu orang lain untuk mengatasi permasalahan. Tentunya hal ini tidak mudah, butuh kesiapan dan kemampuan yang memadai untuk menjalankan berbagai kewa-jiban dan tanggung jawab tersebut. Berbagai macam peran dan kewajiban yang tidak diimbangi dengan kemampuan yang dimiliki dari pribadi mahasiswa akan menim-bulkan kesenjangan antara tuntutan dan Kenya-taan yang ada, sehingga memposisikan maha-siswa berada pada situasi yang penuh tekanan, konflik, dan frustrasi. Seba-gaimana penelitian Kapanee dan Rao (2007) yang menunjukkan bahwa kondisi distress seperti kecemasan, frustrasi, dan kebingungan muncul secara signifikan pada mahasiswa, khusus-nya mahasiswa  psikologi. Penelitian yang dilakukan oleh Statt, 1994 (dalam jurnal stress management oleh Pettinger, 2002) mengenai tingkat stres pada berbagai bidang profesional menunjukkan bahwa nilai tingkat stres tertinggi adalah 8.3 sedangkan bidang profesi psikologi 5.2. Hal ini menunjukkan bahwa tuntutan mahasiswa bidang psikologi yang tinggi semakin memposisikan mahasiswa psikologi sebagai indi-vidu yang rawan stres.

Ketika individu dihadapkan pada keadaan yang menimbulkan stres, maka terdorong untuk melakukan perilaku coping. Coping adalah sebuah proses individu berusaha memanage perten-tangan atau ketidak-sesuaian antara tuntutan dan sumber daya yang ada dalam situasi yang menimbulkan stres (Sarafino, 1994). Kata manajemen disini mengindi-kasikan bahwa usaha coping sangat bervariasi dan tidak secara esensial selalu mengarah pada pemecahan masalah. Selain dapat mengarah pada perbaikan untuk mengatasi masalah, coping juga dapat membantu individu untuk mengubah persepsinya atas pertentangan yang ada dalam situasi stres. Individu dapat melakukan toleransi dengan menerima bahaya atau tekanan, atau bisa juga melarikan diri atau menolak situasi tersebut (Sarafino, 1994).

Dalam beberapa literatur orang biasanya membedakan cara seseorang melakukan coping (strategi coping) menjadi 2 yaitu Pertama, mengatur reaksi emosional yang muncul karena suatu masalah (emotion focused coping). Kedua, untuk mengubah masalah yang menyebabkan timbulnya stress (problem focused coping). Meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda (Folkman dkk, 1986b; Lazarus and Folkman, 1984; Pearlin and Schooler, 1978) (dalam Selmer, 2002) mengklasifikasikan coping strategies dengan menggunakan istilah engagement vs disenga-gement. Sementara Billing & Moos (1981) dengan istilah strategi approach vs avoidance. Apapun istilahnya, baik emotion focused, avoidance, maupun disengagement, sama-sama menekankan pada pengaturan emosi yang menimbulkan stressfull. Sedangkan problem focused, approach, ataupun enga-gement, adalah untuk mengubah masalah hubungan antara orang dengan lingkungan (personenvi-ronment) yang dipersepsikan sebagai penyebab stres. Oleh karenanya,  dengan strategi emotion focused coping, individu berusaha untuk meminimasi kecemasan melalui penarikan diri baik mental maupun fisik atau untuk menghindari masalah. Sedangkan dengan strategi problem focused coping, individu berusaha untuk menghadapi masalah dengan mengubah situasi (Folkman dkk, 1986b). Meskipun demikian kedua tipe coping ini tidak benar-benar terpisah satu sama lain karena bisa digunakan secara bersamaan oleh individu ketika menghadapi suatu masalah, hanya saja kecenderungan individu dalam memilih untuk menggunakan strategi coping mana yang lebih dominan bisa berbeda-beda.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi respon dan strategi respon yang dilakukan oleh individu, baik eksternal yaitu yang berasal dari luar, maupun internal yang berasal dari dalam (Taylor, 2006). Salah satu faktor internal adalah kepribadian, faktor kepribadian memberi dampak pada terjadinya stres dan proses coping dengan cara positif maupun negatif. Pada penelitian-penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa beberapa orang yang mempunyai kecenderungan optimisme cenderung menggunakan problem focused coping (Scheier and Carver, 1985).

Faktor internal lain yang diasumsikan terkait dengan pemilihan problem focused coping sebagai cara untuk menyelesaikan masalah adalah adanya kegigihan individu dalam mencapai tujuan dan merespon kesulitan hidup.  Konsep ini dinamakan dengan Adversity Quotient (AQ). Stoltz (2005) menya-takan bahwa AQ adalah kecerdasan yang dimiliki individu di dalam mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup. Dengan AQ individu diukur kemampuannya mengatasi setiap persoalan hidup. AQ memperlihatkan bagaimana individu merespon kesulitan serta perubahan-perubahan yang diha-dapinya. Individu yang memiliki AQ tinggi tidak akan pernah takut dalam menghadapi berbagai tantangan, kesulitan ataupun masalah dalam proses kehidupannya.  Individu tidak akan mudah menyerah, bahkan akan selalu berusaha untuk mengubah hambatan yang dihadapinya dan menja-dikannya sebuah peluang (Prayudi, 2007). Tinggi rendahnya AQ yang dimiliki seorang mahasiswa ini akan digunakan peneliti untuk melihat kecen-derungan penggunaan problem fo-cused coping ketika menghadapi masalah. Bagaimana hubungan antara mahasiswa yang memiliki AQ tinggi atau rendah dengan kecen-derungan mereka menggu-nakan problem focused coping ketika mereka menghadapi masalah yang menimbulkan stres. Apakah maha-siswa yang memiliki AQ tinggi akan juga diikuti dengan problem focused coping yang tinggi atau sebaliknya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dicoba dijawab oleh penulis melalui penelitian ini.

 

Metode Penelitian

Variabel yang digunakan pada penelitian ini: variabel bebas (X) :  Adversity Quotient. Dan Variabel terikat (Y) : Problem Focused Coping.

Adapun definisi operasional dari kedua variabel tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Adversity Quotient

Adversity quotient adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk bertahan dalam menghadapi dan mengatasi suatu kesulitan, dimana kesulitan itu adalah suatu hambatan yang akan diubah menjadi suatu peluang sehingga orang tersebut akan mampu mencapai kesuksesan, indikator-indikator yang digunakan mengacu pada aspek-aspek untuk menunjukkan tingkatan adversity quotient yaitu: a. Control (kendali), seberapa banyak kendali seseorang rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan;  b. Origin dan Ownership (asal usul pengakuan), menjelaskan tentang siapa atau apa yang menjadi asal-usul kesulitan dan sedangkan ownership menjelaskan sampai sejauh manakah seseorang mampu mengakui akibat-akibat dari kesulitan yang dialaminya; c. Reach (jangkauan), sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang; d. Endurance (daya tahan), dimensi ini menjelaskan tentang berapa lamakah keulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung (Stoltz, 2005).

Tingkat adversity quotient seseorang tercemin dari jumlah skor yang diperoleh dari instrument untuk mengukur adversity quotient yaitu kuesioner adversity quotient. Semakin tinggi skor yang diperoleh seseorang berarti menggambarkan semakin tingginya tingkat adversity quotient orang tersebut.

 

  1. Problem Focused Coping

Definisi operasional problem focused coping adalah usaha atau cara individu untuk mengatasi suatu masalah yang dirasa menekan dengan cara menghadapi langsung sumber tekanan atau masalah yang sedang dihadapi sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan stres yang dialaminya. Berikut merupakan indikator problem focused coping adalah sebagai berikut: a. Active coping (coping aktif), adalah proses pengambilan langkah-langkah aktif sebagai usaha untuk menghilangkan atau mengurangi stressor, maupun memperbaiki efek yang ditimbulkan oleh sumber stres tersebut, yang termasuk dalam coping aktif ini antara lain: seseorang akan berinisiatif untuk mengambil tindakan langsung, meningkatkan usaha yang dilakukannya untuk mengatasi stres, dan mencoba melaksanakan cara-cara yang bertahap/ teratur dalam melakukan coping, tidak gegabah/sembrono; b. Planning (perencanaan), adalah usaha berpikir mengenai bagaimana caranya mengatasi sumber stres. Planning ini melibatkan adanya strategi dalam bertindak, berpikir tentang langkah-langkah apa yang harus diambil, dan bagaimana cara yang terbaik untuk mengendalikan masalah yang sedang dihadapi; c. Suppression of Competing Activities adalah usaha untuk mengesampingkan aktivitas-aktivitas yang lain untuk berkonsentrasi pada pemecahan masalah; d. Restraint Coping yaitu menunggu datangnya kesempatan yang tepat untuk bertindak, dan tidak memunculkan aksi sebelum waktu yang dirasakan benar-benar tepat itu tiba; e. Seeking Social Support for Instrumental Reasons, mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental merupakan usaha untuk mencari saran, bantuan atau informasi yang diperlukan untuk mengatasi stress (Carver dkk, 1989).

Tinggi rendahnya kecen-derungan problem focused coping seseorang dilihat dari tinggi rendahnya skor total yang dihasilkan dari kuesioner problem focused coping tersebut. Semakin tinggi skor yang diperoleh berarti semakin tinggi pula kecenderungan seseorang untuk melakukan problem focused coping.

Dalam penelitian ini sampel yang digunakan sebanyak 100 orang subyek. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sample, artinya bahwa pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mem-punyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebe-lumnya (Hadi, 1973). Alasan digunakan teknik sampling ini disebabkan tidak semua mahasiswa memenuhi kriteria sebagai subyek penelitian. Adapun kriteria sebagai pengontrol subyek penelitian yaitu : 1. status mahasiswa yang masih aktif semester genap 2011/2012. 2. mahasiswa yang tergolong angkatan 2010 ke bawah. 3. telah memprogram mata kuliah pratikum.

Lokasi penelitian yang dipilih adalah Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (UNTAG) yang berada di Jl. Semolowaru 45 Surabaya. Alasan pemilihan lokasi penelitian di atas, dengan pertimbangan: 1. jumlah subyek penelitian cukup besar sehingga tingkat “keterwakilan” populasi dapat dipenuhi. 2. subyek penelitian diasum-sikan homogen dalam variabel-variabel yang berpengaruh dalam penelitian. 3. memiliki akses yang mudah.

Untuk skala adversity quotient, penulis tidak menggunakan Adversity Response Profile yaitu instrument adversity quotient yang dibuat oleh Stoltz, tetapi penulis memilih untuk membuat skala sendiri dengan tetap didasarkan pada indikator-indikator yang telah dikemukakan oleh Stoltz (2005). Skala adversity quotient ini meliputi: Control, Origin & Ownership, Reach, Endurance.

Skala problem focused coping ini meliputi: Active Coping, Planning, Suppression of Competing Activities, Restraint Coping, Seeking Social Support for Instrumental Reasons

Tingkat adversity quotient dan problem focused coping subyek diukur dengan menggunakan kuesioner yang berbentuk skala likert.

 

 

 

Hasil Penelitian & Pembahasan

Uji Normalitas sebaran dilakukan terhadap variabel terikat atau Problem Focused Coping dengan hasil menunjukkan nilai kai kuadrat sebesar 14,772 dengan derajad kebebasan (db) = 9, dan taraf signifikansi (p) = 0,097. Oleh karena p > 0,05 maka dengan demikian ubahan Problem Focused Coping mempunyai sebaran normal.

Hasil Uji Linieritas Hubungan antara ubahan bebas Adversity Quotient (X) dengan ubahan terikat Problem Focused Coping (Y) diperoleh Fbeda ke 2 – ke 1 = 3,305 pada taraf signifikansi (pbeda) = 0,077. Oleh karena pbeda ? 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa antara ubahan bebas Adversity Quotient (X) dengan ubahan terikat Problem Focused Coping (Y) mempunyai hubungan korelasi linier.

 Korelasi antara variabel bebas (Adversity Quotient) dengan variabel tergantung (Problem Focused Coping) dianalisis dengan Product Moment. Hasilnya menunjukkan bahwa Koefisien Korelasi  Momen Tangkar Pearson  sebesar = 0,662 pada taraf signifikansi (p) = 0,000. Artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara Adversity Quotient dengan Problem Focused Coping, dengan kata lain semakin tinggi Adversity Quotient, akan semakin tinggi Problem Focused Coping dan sebaliknya atau dengan kata lain hipotesis diterima.

Dari hasil analisis diatas, didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel adversity quotient dengan problem focused coping pada mahasiswa psikologi UNTAG Surabaya. Selain itu, berdasarkan angka koefisien korelasi yang diperoleh dari perhitungan analisis korelasi yaitu sebesar 0,662 pada taraf signifikansi (p) = 0,000. Hal ini berarti menunjukkan adanya hubungan positif antara variabel adversity quotient dengan problem focused coping. Artinya seseorang dengan tingkat adversity yang tinggi akan diikuti dengan semakin seringnya atau tinggi seseorang menggunakan problem focused coping ketika menghadapi suatu masalah. Begitu juga sebaliknya tingkat adversity yang rendah maka semakin rendah pula seseorang dalam menggunakan problem focused coping ketika menghadapi suatu masalah.

Setiap orang memiliki kemam-puan untuk mencapai kesuksesan dan kemampuan untuk mengatasi setiap persoalan dalam hidupnya. Sikap optimis atau peristiwa dalam menghadapi masa depan salah satunya dipengaruhi oleh adanya daya juang diri yang disebut adversity quotient (AQ). Setiap kesulitan yang dihadapi merupakan suatu tantangan, setiap tantangan merupakan peluang, dan setiap peluang harus disambut. Perubahan merupakan bagian dari suatu perjalanan yang harus diterima dengan baik (Stoltz, 2005). Ketika seseorang memakai kecerdasannya untuk merubah hambatan menjadi peluang saat mengalami masalah atau stres maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan problem focused coping. Cara ini dilakukan dengan menghadapi langsung sumber tekanan/stres (stressor) sehingga individu akan sukses menjalani kehidupannya.

Individu yang memiliki adversity quotient rendah akan cenderung menghindari masalah dan bahkan akan terus mengalami stres karena individu tersebut tidak berusaha mencari penyelesaiannya, sedangkan individu yang memiliki adversity quotient tinggi cenderung akan terus berusaha mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalahnya sehingga tidak menimbulkan stres yang berkepanjangan.

Seperti yang dikemukakan oleh Stolz (2005), dengan adversity quotient (AQ) individu dalam hal ini adalah mahasiswa diukur potensi kemampuan dalam mengatasi persoalan hidup. Adversity quotient dapat memperlihatkan bagaimana individu merespon kesulitan serta perubahan-perubahan yang dihadapinya. Mahasiswa yang memiliki AQ tinggi tidak akan pernah takut dalam menghadapi berbagai tantangan, kesulitan ataupun masalah yang dihadapinya. Ia tidak akan mudah menyerah, bahkan ia selalu berusaha untuk mengubah hambatan yang dihadapinya dan menjadikannya sebuah peluang untuk terus maju begitu pula dalam menggunakan problem focused coping dalam mengatasi stres yang dialaminya akan cenderung untuk lebih terfokus terhadap masalah yang dihadapinya dan berusaha untuk mencari berbagai cara untuk memecahkan masalah yang dialaminya, karena merasa yakin bahwa hal-hal yang menjadi sumber masalah masih dapat diubah (Arbadiati & Kurniati, 2007).

Mahasiswa yang memiliki adversity quotient (AQ) tinggi akan lebih memfokuskan coping ke arahpemecahan masalah (problem focused coping). Hal ini disebabkan merasa memiliki kemampuan mengontrol hambatan atau rintangan dalam mengatasi permasalahan. Mahasiswa yang merasa masih memiliki kontrol terhadap permasalahannya yang menimbulkan stres akan berusaha mencari pemecahan masalah secara aktif. Mahasiswa menganggap bahwa stressor atau situasi dapat diubah. Misalnya ketika mahasiswa dihadapkan oleh padatnya jadwal kuliah dan tugas-tugas yang tiada henti, tidak lulus mata kuliah tertentu, menghadapi guru atau dosen yang sulit, hasil ujian yang buruk, tugas akhir skripsi yang dirasa berat dan sebagainya maka mahasiswa tersebut akan terus berusaha menghadapinya dengan cepat dan belajar lebih keras lagi agar mampu menyelesaikan tugas di fakultas psikologi. Sebaliknya mahasiswa yang memiliki AQ rendah yang tingkat kontrolnya terhadap suatu permasalahan juga rendah, ketika menghadapi masalah yang sama, mereka akan lebih cepat merasa putus asa. Ia akan merasa semakin tidak berdaya terhadap permasalahan yang muncul dalam penyesuaian dirinya.

 

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara adversity quotient dengan problem focused coping pada mahasiswa psikologi UNTAG Surabaya. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hipotesis kerja dalam penelitian ini diterima.

Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa hubungan antara adversity quotient dengan problem focused coping ini berbentuk korelasi positif. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat adversity quotient, maka akan semakin tinggi pula problem focused coping pada mahasiswa psikologi UNTAG Surabaya.

Saran untuk mahasiswa psikologi terkait peranan adversity quotient dan problem focused coping, mahasiswa diharapkan dapat menghadapi berbagai permasalahan dengan menggunakan strategi problem focused coping yang efektif. Adversity quotient akan mencapai maksimal jika ada kemauan dan keyakinan serta memiliki daya juang yang tinggi terkait dengan berbagai permasalahan hidup yang dihadapi sehingga mampu mengelola kesulitan menjadi sesuatu yang positif serta dapat sebagai alternatif untuk terlepas dari stres saat menghadapi hambatan terkait dengan kesulitan yang dialami.

Bagi yang ingin mengadakan penelitian dengan tema sejenis, ada baiknya menggunakan metode lain, misalnya memakai pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara maupun observasi, sehingga bisa diketahui dinamika coping yang dilakukan oleh subyek.

 

DAFTAR PUSTAKA

Arbadiati, RA. C. W., & Kurniati, N. M. T. 2007. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Kecenderungan Problem Focused Coping pada Sales. Proceeding PESAT (Psiko-logi, Ekonomi, Arsitek & Sipil), 2, B24-B27.

Azwar, S. 2010. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Billings, A.G., & Moos, R.H. 1981. The Role of Coping Responses & Resources in Attenuating The Stress of Live Events. Journal of Behavioral Medicine. 4. 139-157.

Carver, C.S., Scheier, M.F., Weintraub, J.K. 1989. Assessing Coping Strategies: A Theoritically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology, 56(2), 267-283.

Folkman, S., Lazarus, R.S., Gruen, R.J., & Delongis, A. 1986. Appraisal, Coping, Health Status, and Psychological Symptoms. Journal of Personality and Social Psychology, (1986a). 50(3), 571-579.

Folkman, S., Lazarus, R.S., Dunkel Schetter, C., Delongis, A. & Gruen, R. 1986. The Dynamics of a Stressfull Encounter: Cognitive Appraisal, Coping, and Encounter Outcomes. Journal of Personality and Social Psychology, (1986b). 50(5), 992-1003.

Hadi, S. 1973. Metodologi Research. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.

Hadi, S. 2000. Manual SPS Paket Midi, Seri Program Statistik Versi 2000. Universitas Gadjah Mada Yogya-karta.

Kapanee & Rao. 2007. Attachment Style in Relation to Family Functioning and Distress in College Students. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology. Vol. 33. Pg. 15-21. The American Psycho-logical Association.

Lazarus, R.S., & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer-Verlag.

Diri Remaja Obesitas. Skripsi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945.

Pettinger, R. 2002. Stress Management. Capstone Publishing (a While Company).

Prayudi. 2007. Adversity Quotient (AQ) Prayudi Wordpress [on-Line]. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2011 dari http: //Prayudi. Wordpress.com/2007/05/10/adversity quotient-aq/.

Rathus, S.A., & Nevid, J.S. 2002. Psychology and the Challenge of Live: Adjusment in the New Millenium (8th ed.). Danver: John Willey & Sons, Inc.

Santrock, J.W. 2006. Life Span. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sarafino, E.P. 1994. Health Psychology: Biopsychosocial, Interaction (2nd ed.). New York: John Willey & Sonc, Inc.

Selmer, J. 2002. Coping Strategies Applied By Western VS Overseas Chinese Bussines Expatrites In China. The International Journal of Human Resources Management, 50(1), 19-34.

Stoltz, P.G. 2005. Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. (Terj. T. hermaya; Ed Yovita Hardiwati). (Cetakan Keenam). Jakarta: PT Grasindo.

Taylor, S.E.. 2006. Health Psychology (6th ed.). New York: Mc Graw Hill.

Yusuf, S. 2002. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya