Artikel 2

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 312 kali

KECENDERUNGAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DITINJAU DARI STATUS KELUARGA

 

Adnani Budi Utami, Ayu Puspitaningrum

Fakultas Pikologi Univrsitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

Abstrak

 

Cara mendidik anak yang salah dalam keluarga, bisa menjadi salah satu pemicu munculnya perilaku bullying. Apakah nantinya kelak anak akan menjadi individu yang agresif atau tidak. Kurangnya perhatian kasih sayang terhadap anak, modelling dari perilaku agresif di rumah, serta kurangnya pengawasan terhadap anak akan memungkinkan munculnya perilaku agresif dan bullying pada anak. Tujuan penelitian ini mengetahui perbedaan perilaku bullying dari remaja yang berkeluarga harmonis dan tidak harmonis. sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 60 orang yang terdiri dari 30 remaja yang berkeluarga harmonis dan 30 remaja yang berkeluarga tidak harmonis.Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala. Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini untuk menguji hipotesis adalah uji-t. Hasil analisa data dengan teknik Uji-t didapatkan koefisien t-test = 4,433 dengan p = 0,000 (p < 0,01) yang menunjukkan bahwa skor t yang didapat sangat signifikan. Artinya ada perbedaan kecenderungan perilaku bullying antara keluarga harmonis dengan keluarga yang tidak harmonis.

 

Kata Kunci: Kecenderungan Perilaku Bullying, Status Keluarga

 

 


Pendahuluan

Masa remaja merupakan masa transisi atau masa pancaroba yaitu perpindahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa yang penuh dengan peralihan, dikatakan anak-anak bukan, dikatakan dewasa juga masih belum. Bisa dikatakan pula, individu dari golongan ini sedang dalam pencarian diri atau jati diri. Para remaja ini mudah terpengaruh, emosi yang kurang tertata sering kali membuatnya salah dalam mengambil keputusan (Ghozally, 2007). Tidak jauh beda dengan pengertian masa remaja menurut Hurlock (dalam Ghozally, 2007) bahwa masa remaja awal merupakan masa transisi, yaitu usianya yang berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, sebab pada perkembangan usia remaja ini banyak terjadi adanya perubahan pada diri remaja tersebut baik secara fisik maupun psikis, juga secara sosial.

Penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan, yang dilakukan oleh kalangan remaja umumnya disebut sebagai perilaku kenakalan remaja (juvenile delinquency). Pengertian dari kenakalan remaja (juvenile delinquency) itu sendiri menurut Kartono (2005) yaitu perilaku jahat atau kejahatan anak-anak muda, yang merupakan gejala sakit secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga para remaja itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Kenakalan yang dilakukan oleh para remaja tersebut bermacam-macam, misalnya saja siswa sekolah yang suka merokok, membolos, kebut-kebutan dijalanan yang telah mengganggu keamanan lalu lintas atau perilaku ugal-ugalan, kecanduan atau ketagihan bahan narkotika (obat bius dan drugs), perjudian, dan lain-lain.

Akhir-akhir ini masyarakat juga sering dikejutkan adanya tindak kekerasan oleh remaja yang dilakukan di sekolah.  Perilaku kekerasan di sekolah ini biasanya di kenal dengan sebutan “bullying”. Makna sebenarnya pada bullying menurut Astuti (2008) adalah adanya suatu penekanan dari sekelompok orang yang lebih kuat, lebih senior, lebih besar, lebih banyak, terhadap seseorang atau bisa juga beberapa orang yang lebih lemah, lebih kecil, lebih junior. Bisa jadi penekanan ini berujung pada pemerasan (minta uang atau materi), tetapi bisa juga dalam bentuk lain dengan menyuruh korban melakukan sesuatu yang sama sekali tidak disukai oleh korban. Salah satu ciri bullying adalah tidak terjadi sekali atau dua kali, tetapi berkelanjutan bahkan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga menjadi semacam kebiasaan atau bahkan kebudayaan dari kelompok tersebut. Beberapa bentuk perilaku bullying menurut Riauskina, Djuwita, dan Soesotio (dalam http://www.popsy.wordpress.com) yang di lakukan pada remaja ini secara kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit, menendang, mencubit); secara kontak verbal (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengejek); perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis dan menjulurkan lidah); perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, mengucilkan, mengirimkan surat kaleng); dan secara pelecehan seksual (kadang di kategorikan perilaku agresi fisik atau verbal).

Pengertian lain tentang bullying menurut Rigby (2008) yaitu sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan dengan aksi, sehingga menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini akan dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, dan tidak bertanggung jawab, biasanya ini dilakukan secara berulang, dan juga dilakukan dengan perasaan senang. Menurut Sullivan (dalam http:www.popsy.wordpress.com) bullying adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang mempunyai kekuasaan, yang bertujuan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik atau psikis, yang dilakukan tanpa alasan yang jelas, terjadi secara berulang, dan juga merupakan suatu perilaku yang agresif atau manipulatif yang dilakukan dengan sengaja dan secara sadar oleh seseorang atau kelompok kepada orang lain atau kelompok lain.

Berdasarkan dari pengertian perilaku bullying di atas, maka kemungkinan faktor yang paling berperan dalam menyebabkan timbulnya kecenderungan perilaku bullying ini adalah faktor keluarga yang kurang harmonis, karena keluarga merupakan kesatuan yang terkecil di dalam masyarakat tetapi menempati kedudukan yang primer dan fundamental, oleh sebab itu keluarga mempunyai peranan besar dan vital dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak, terutama pada tahap awal maupun tahap-tahap kritisnya. Keluarga yang gagal memberi cinta kasih dan perhatian akan dapat memupuk rasa kebencian, rasa tidak aman, dan tindak kekerasan kepada anak-anaknya. Demikian pula jika keluarga tidak dapat menciptakan suasana pendidikan, maka hal ini akan menyebabkan anak-anak terperosok atau tersesat jalannya; dan juga kemungkinan faktor  lingkungan akan mempengaruhi terutama teman sebaya yang kurang baik, karena pada masa ini remaja mulai bergerak meninggalkan rumah dan menuju teman sebaya, sehingga minat, nilai, dan norma yang di tanamkan oleh kelompok lebih menentukan perilaku remaja di bandingkan dengan norma, nilai yang ada dalam keluarga dan masyarakat.

Dari beberapa kemungkinan faktor terjadinya perilaku bullying yang sudah di jelaskan di atas, maka di sini beberapa para ahli akan memberikan pendapat atau penjelasan mengenai penyebab dari perilaku bullying itu sendiri, seperti menurut Halley (dalam Al-mighwar, 2006), faktor terpenting terjadinya berbagai penyimpangan perilaku pada remaja adalah adanya konflik perselisihan berkepanjangan dalam sebuah rumah tangga, khususnya bila kedua orang tua sengaja menjadikan anak sebagai sumber konflik, dan bisa juga adanya suatu kompleksitas masalah keluarga seperti ketidak hadiran ayah, ibu menderita depresi, kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak, perceraian atau ketidak harmonisan orang tua, dan ketidak mampuan sosial ekonomi ini yang mengakibatkan suatu tindakan agresi yang signifikan (Pearce dalam Astuti, 2008), sehingga dengan kondisi yang seperti inilah maka akan muncul wujud rasa frustasi akibat dari tekanan hidup di dalam masalah keluarga dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa di sadari dengan kondisi lingkungan ini dapat memberikan referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara pemecahan masalah (Wenar dan Kerig dalam http://www.kompas.com).

Adapun penyebab perilaku bullying menurut Astuti (2008) adalah: a). Lingkungan sekolah yang kurang baik; b). Senioritas tidak pernah diselesaikan; c). Guru memberikan contoh kurang baik pad siswa; d). Ketidakharmonisan di rumah; e). Karakter anak. Untuk itu pihak sekolah harus segera menyadari dan mengambil beberapa tindakan penting untuk mengatasi masalah tersebut,antara lain:a.) Mengurangi atau meniadakan tindakan bullying (baik yag dipengaruhi atau dilakukan oleh siswa, guru, atau orang tua); b.) Melihat kembali sistem pendidikan dan sosialisasi sekolah;    c.) Menyelenggarakan jaringan komunitas sekolah yang efektif; sedangkan menurut Suderman, Jaffe, & Schiek, 1996 (dalam http://www.namovanma.co.nr) akan menjelaskan dalam Teori Ekologi Bronfenbrenner menurutnya, bahwa individu itu dalam perkembangannya, selalu di pengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Lingkungan itu terbagi menjadi 5, yaitu: 1.) Mikrosistem, merupakan level yang paling dasar dan paling sering anak berinteraksi, misalnya saja keluarga; 2.) Mesosistem, ini ada kaitannya dengan elemen-elemen di mikrosistem, misalnya adanya hubungan antara orang tua dengan pihak sekolah dengan memonitor anak. Dalam hal ini adanya kesamaan berpikir antara pihak sekolah dan orang tua dalam melihat perilaku bullying; 3.) Eksosistem, termasuk pengaruh dalam konteks lainnya, misalnya efek dari kebijakan bullying yang di miliki pemerintah atau keikut sertaan orang tua dalam system sekolah; 4.) Makrosistem, pengaruh dari aturan-aturan budaya, seperti sikap masyarakat terhadap perilaku bullying; 5.) Kronosistem, lebih luas dari itu. Sistem yang paling banyak di teliti adalah level mikrosistem, sebab bagian ini adalah bagian paling dasar. Cara mendidik anak yang salah dalam keluarga, bisa menjadi salah satu pemicu munculnya perilaku bullying. Apakah nantinya kelak anak akan menjadi individu yang agresif atau tidak. Kurangnya perhatian kasih sayang terhadap anak, modelling dari perilaku agresif di rumah, serta kurangnya pengawasan terhadap anak akan memungkinkan munculnya perilaku agresif dan bullying pada anak. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku bullying dari remaja yang berkeluarga harmonis dan tidak harmonis.

 

Metode Penelitian

Identifikasi variabel-variabel dalam penelitian ini adalah kecenderungan perilaku bullying merupakanvariabel tergantung sedangkan status keluarga (keluarga harmonis dan keluarga tidak harmonis) sebagai variabel bebas.

Perilaku bullying yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu perilaku melukai atau membahayakan yang dilakukan dengan sengaja disertai perasaan senang oleh pelaku kepada korban, yang menjadi korban adalah orang yang lemah, yang dikucilkan, dan tidak dapat membela diri, serta kejadian ini dilakukan berulang-ulang. Hal ini akan diungkap melalui skala perilaku bullying yang dikonstruksi oleh peneliti yang meliputi indikator, diantaranya yaitu : a) Bullying secara verbal atau non-fisik, adalah jenis bullying yang juga dapat terdeteksi karena dapat tertangkap indra pendengaran, contohnya pemerasan atau pemalakkan, mengancam, berkata yang jorok atau tidak senonoh terhadap korbannya, mengganggu, memberi panggilan nama, mempermalukan, merendakan, memberikan gertakan, serta menyebar gosip  atau menyebarluaskan kejelekan korban; b) Bullying non-verbal atau secara fisik, adalah jenis bullying yang kasat mata. Siapa pun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya, contohnya memukul, menggigit, menendang, mendorong, meludahi, mencakar, memeras, menjambak, mengunci seseorang di dalam ruangan, menarik rambut,  dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain serta pelaku yang menggunakan senjata; c) Bullying mental atau psikologis, adalah jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap mata atau telinga jika tidak cukup awas mendeteksinya. Praktik bullying ini terjadi diam-diam dan di luar radar pemantauan. Misalnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan umum, mendiamkan, mengucilkan, mempermalukan, meneror lewat pesan pendek telepon genggam atau e-mail, memandang yang merendahkan, memelototi, dan mencibir.

Status Keluarga merupakan keadaan atau kedudukan seseorang dalam suatu hubungan di lingkungan rumah tangga yang terdiri dari ibu, bapak dan anak-anak, berdasarkan asas saling menghormati, menghargai, dan mendukung peran masing-masing sehingga tercipta sinergi dan keteraturan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Adapun jenis status keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keluarga harmonis dan keluarga yang tidak harmonis. Keluarga harmonis adalah keluarga yang masing-masing anggota dapat menyesuaikan diri dan dapat mengisi masing- masing peran secara baik karena adanya kebersamaan, saling mengasihi dan saling mencintai dan juga yang merupakan keluarga seutuhnya (ada ayah dan ibu). Keluarga yang tidak harmonis merupakan suatu keluarga yang telah mengalami keretakan rumah tangga atau telah mengalami perceraian sehingga mengakibatkan didalam keluarga tersebut hanya ada salah satu orang tua (ayah saja atau ibu saja).

Populasi yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki maupun perempuan yang masih menduduki sekolah menengah atas (SMA) kelas I maupun kelas II di Kecamatan Waru dengan usia  berkisar 15 tahun hingga 19 tahun yang mempunyai keluarga harmonis dan keluarga yang tidak harmonis. Adapun ciri-ciri subyek penelitian yang diambil dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Remaja yang mempunyai keluarga harmonis, yaitu remaja merasa nyaman dan dekat dengan kedua orang tuanya ataupun keluarga yang intensitas adanya perselisihan jarang, orang tua yang utuh (ada ayah dan ibu) atau tidak bercerai; 2. Remaja yang mempunyai keluarga tidak harmonis, yaitu remaja yang selalu melihat orang tuanya bertengkar terus-menerus ataupun keluarga yang mengalami keretakan sehingga mengakibatkan kedua orang tuanya bercerai sehingga anak dapat bertempat tinggal dengan ayah saja ataupun ibu saja. Ketentuan subyek dalam penelitian ini dapat diketahui melalui identifikasi yang harus diisi responden saat pengisian angket. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonrandom sampling. Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 60 orang yang terdiri dari 30 remaja yang berkeluarga harmonis dan 30 remaja yang berkeluarga tidak harmonis.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala. Skala adalah suatu jenis alat pengukur dengan menggunakan sejumlah pertanyaan tertulis yang dipakai untuk memperoleh informasi dari responden (Hadi, 2000).

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Selain validitas isi juga dilakukan uji diskriminasi aitem untuk  melihat indeks diskriminasi aitem. Adapun pengujianya dilakukan dengan teknik Korelasi Product Moment (Hadi, 2000). Pengukuran reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik pengukuran analisis varians dari Hoyt. 

Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini untuk menguji hipotesis adalah uji-t. Uji-t termasuk dalam model analisis komparatif, yang tujuan pokoknya untuk menguji signifikansi perbedaan rata-rata dua kelompok atau antara dua amatan ulangan, dalam hal ini untuk mengukur perbedaan kecenderungan perilaku bullying pada remaja yang berkeluarga harmonis dan remaja yang berkeluarga tidak harmonis.

 

Hasil Penelitian

Hasil analisa data dengan teknik Uji-t didapatkan koefisien t-test = 4,433 dengan p = 0,000 (p < 0,01) yang menunjukkan bahwa skor t yang didapat sangat signifikan. Artinya ada perbedaan kecenderungan perilaku bullying antara keluarga harmonis dengan keluarga yang tidak harmonis.

Hasil analisa data juga dapat diketahui melalui dari skor rerata A1 (remaja yang memiliki keluarga harmonis) = 45,000; sedangkan skor rerata A2 ( remaja yang memiliki keluarga tidak harmonis) = 59,700, dengan hasil mean teoritis = 70,000, sehingga ME < MT. Berdasarkan penjelasan di atas secara tidak langsung dapat di interpretasikan bahwa kecenderungan perilaku bullying pada remaja yang memiliki keluarga tidak harmonis lebih tinggi secara meyakinkan dibandingkan kecenderungan perilaku bullying pada keluarga yang harmonis, dengan kata lain hipotesis diterima.

 

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, menunjukan bahwa terdapat adanya perbedaan yang sangat signifikan antara kecenderungan perilaku bullying pada remaja yang memiliki keluarga harmonis dengan remaja yang memiliki keluarga tidak harmonis. Kecenderungan perilaku bullying pada remaja yang memiliki keluarga tidak harmonis lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang memiliki keluarga harmonis.

Hasil penelitian di atas sesuai dengan hipotesis yang diajukan yaitu ada  perbedaan kecenderungan perilaku bullying pada remaja ditinjau dari status keluarga (keluarga harmonis dan keluarga tidak harmonis). Remaja yang memiliki keluarga tidak harmonis mempunyai kecenderungan yang lebih tinggi dalam berperilaku bullying daripada remaja yang memiliki keluarga harmonis. Diterimanya hipotesis ini dapat dijelaskan lebih lanjut.

Perilaku bullying ini biasanya sering dilakukan pada anak usia remaja di lingkungan sekolah. Sebab masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa atau juga dapat dikatakan masa penuh peralihan yaitu posisi  transisinya ini menyebabkan posisi ini labil. Maksudnya pada saat terjadinya proses perubahan status ini (mulai dari masa kanak-kanak yang menuju masa dewasa) banyak remaja yang kurang mendapatkan perhatian dan pengarahan yang baik dari orang tua sehingga posisinya para remaja tersebut merasa terombang-ambing. Patut dipahami  bahwa pada masa transisi, seorang remaja mengalami krisis identitas sehingga mudah sekali tercemar dengan bermacam-macam isu, baik positif maupun negatif (Surbakti, 2008)

Perilaku bullying adalah perilaku yang secara sadar sengaja di lakukan, yang bertujuan untuk melukai ataupun menyakiti. Ada dua macam kategori perilaku bullying, yaitu perilaku bullying secara fisik maupun non fisik. Perilaku bullying fisik misalnya seperti menendang, memukul, mengambil paksa, merusak barang-barang anak, menampar, mencubit, menjambak, dan meludahi, sedangkan perilaku bullying secara non fisik, misalnya mengolok-olok berlebihan, mencibir, memberikan julukan yang merendahkan, mengancam, mempermalukan, dan juga mengabaikan.

Perilaku bullying merupakan salah satu bentuk perilaku dari kenakalan remaja. Kenakalan remaja merupakan peristiwa keturunan, bukan merupakan warisan bawaan sejak lahir. Banyak bukti yang menyatakan bahwa tingkah laku a-susila, kriminal orang tua serta anggota keluarga lain yang dapat memberikan dampak menular pada jiwa anak (Kartono, 2005). Contoh dari beberapa hasil wawancara dalam penelitian ini ada beberapa anak remaja yang menyatakan bahwa “saya berperilaku seperti ini dikarenakan dari tingkah laku orang tua saya yang dulu selalu bertengkar, dan ayah biasanya selalu melakukan tindakan kekerasan dengan ibu saya, namun orang tua saya akhirnya bercerai. Saya merasa benci dan marah dengan sikap ayah saya yang akhirnya telah mempunyai wanita lain. Keadaan keluarga yang dulu seperti itu dan sampai sekarang saya telah menyimpan dendam, oleh karena itu saya melampiaskannya dengan saya suka bertengkar dengan teman sebaya atau selalu mengajak berkelahi, merokok”.

Temperamen orang tua, terutama dari ayah yang agresif meledak-ledak, suka marah, dan sewenang-wenang mudah sekali menular kepada anak-anak atau mudah merangsang reaksi emosional yang sangat tidak dapat tertahankan kepada anak-anak, karena ada perasaan dendam benci sehingga anak tersebut menjadi kacau dan liar.

Beberapa penjelasan di atas ada beberapa faktor yang paling berperan penting dalam menyebabkan timbulnya kecenderungan perilaku bullying ini adalah faktor keluarga yang kurang harmonis yaitu ada perceraian terhadap orang tua. Bagaimanapun, perceraian orang tua dapat menimbulkan kekacauan di dalam keluarga sehingga menyebabkan timbulnya situasi keluarga yang tidak baik. Anak-anak remaja dari keluarga yang bercerai umumnya bertumbuh dalam kemarahan, kekecewaan, malu, cemas, perasaan bersalah dan sebagainya (Surbakti, 2008).

Keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam mempengaruhi perkembangan kehidupan seorang anak, terutama tahap awal maupun tahap lainnya. Para remaja yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua itu, merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan tempat berpijak. Adakalanya para remaja secara terang-terangan dapat menunjukkan ketidakpuasan terhadap orang tuanya, dan mulai melawan atau memberontak, sambil melakukan suatu hal merusak yang tidak terkendali, baik terhadap orang tua maupun terhadap dunia luar yang kelihatannya tidak ramah bagi remaja tersebut. Jelasnya, para remaja tersebut yang merasa tidak bahagia dipenuhi banyak konflik batin serta mengalami frustasi terus-menerus akan menjadi sangat agresif. Kemudian mulailah para remaja tersebut mengadakan “serangan-serangan kemarahan” ke lingkungan sekitarnya. Semua itu dilakukan sebagai tindak penyalur atau pelepas bagi semua ketegangan, kerisauan, dan dendam hatinya (Kartono,2005).

Jika keluarga tidak dapat menciptakan suasana pendidikan, maka hal ini akan menyebabkan anak-anak terperosok atau tersesat jalannya. Sebab baik atau buruknya struktur keluarga juga dapat memberikan pengaruh baik atau buruk pertumbuhan kepribadian para remaja yang menjadi anggota keluarga tersebut. Ada faktor pendukung lain setelah keluarga, yang dapat mempengaruhi perilaku bullyingtersebut yaitu lingkungan sekitarnya, misalnya lingkungan teman sebaya yang kurang baik.

            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keluarga yang harmonis dan keluarga yang tidak harmonis yang melekat pada status keluarga untuk anak-anak remaja ini dapat mempengaruhi pada tinggi rendahnya kecenderungan perilaku bullying pada remaja, hal ini dikarenakan situasi keluarga yang berbeda juga dapat menumbuhkan perasaan dan perilaku antar remaja ini juga berbeda pula, seperti dengan kurangnya perhatian dan kasih sayang serta contoh perilaku orang tua yang sering bertengkar maka akan memberikan dampak buruk pada anak bahwa anak dapat melakukan kekerasan juga terhadap teman sebaya. Para remaja ini melakukan kekerasan tersebut hanya untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaan atau ingin menunjukkan sikap ketidakpuasan terhadap orang tua.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Mighwar, M. 2006. Psikologi Remaja Petunjuk Bagi Orangtua Dan Guru. Pustaka Setia : Bandung.

Azhari, A. 2004. Psikologi Umum Dan Perkembangan. Terajun : Jakarta.

Ghozally, F. 2007. Memahami Perkembangan Psikologi Remaja. Prestasi Pustakaraya : Jakarta.

Hadi, S. 2000. Statistik Jilid 2. Andi Offset : Yogyakarta.

Kartono Kartini. 2005. Kenakalan Remaja Patologi Sosial 2. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Mihari & Wahyurini. http://www.smallcrab.com, 2007.

Papalia. http://www.aryaveerdiramadhani.blogspot.com, 2007.

Remaja Dari Keluarga Broken Home”. Skripsi Sarjana. Surabaya : Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Tidak Diterbitkan.

Rigby. 2008. Childern and Bullying : How Parents and Educator can Reduce Bullying at School. By Markono Print Media Pte Ltd : Singapore.

Retno Astuti,P. 2008. Meredam Bullying. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia : Jakarta.

 

Setiawati. http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com.

Soesetio. http://www.aryaveerdiramadhani.blogspot.com, 2007.

Suderman, Jaffe & Schiek. 1996. http: // www.namovanma.co.nr

Surbakti, EB. 2008. Kenakalan Orangtua Penyebab Kenakalan Remaja.

              PT. Elex Media Komputindo : Jakarta. 

Suryabrata.1992. Metodologi Penelitian. Jakarta : Rajawali Pers.

Susanti. 2004. “Perbedaan Keharmonisan Rumah Tangga Pada Pasangan Suami Istri Yang Pernah Melakukan Seks Pranikah Dengan Yang Tidak Pernah Melakukan Seks Pranikah ”. Skripsi Sarjana. Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Tidak Diterbitkan.

Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA). 2008. Mengatasi Kekerasan Disekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. PT. Grasindo : Jakarta.

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya