Artikel 3

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 557 kali

Hubungan Antara Kecenderungan Distorsi Kognitif Dengan Tingkat Kecemasan Terhadap Kesembuhan Pada Penderita TBC

 

Herlan Pratikto

Fajriyah Rahmawati

 

Fakultas Psikologi Untag Surabaya

 

Abstrak

 

 

Tercatat di Indonesia bahwa penyakit TBC ini terus berkembang setiap tahunnya dan hingga saat ini mencapai angka 250 juta  kasus baru dan 140 ribu diantaranya menyebabkan kematian. Angka ini memposisikan Indonesia menjadi negara terbesar ketiga di dunia untuk penderita penyakit TBC. Seorang penderita TBC merasa cemas akan kesembuhan penyakitnya, apalagi seseorang yang menderita TBC harus melakukan pengobatan selama 6-9 bulan dengan minum obat yang telah ditentukan tanpa telat meskipun hanya 1x minum obat saja. Reaksi cemas akan bisa membuat kesehatan penderita semakin menurun dan semakin sulit untuk segera mendapatkan kesembuhan. Pasien penderita TBC dengan pengobatan DOTS, 11% diantaranya mengalami kecemasan. Definisi kecemasan itu sendiri adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar,yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya yang berkaitan dengan perasaan (Stuart, 2006).   Variabel – variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variable yakni Variabel bebas ( X ) : Tingkat kecenderungan distorsi kognitif dan Variabel terikat ( Y ) : Kecemasan penderita TBC terhadap kesembuhan. Subyek  penelitian ini adalah penderita TB Paru  yang berobat di Poli Paru Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Gresik Jawa Timur sebanyak 85 penderita. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan teknik Korelasi Product Moment diperoleh koefisien korelasi rxy sebesar 0,494 pada taraf signifikansi ,(p), 0,000 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa antara kecenderungan distorsi kognitif  mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan tingkat kecemasanakan kesembuhan pada penderita TBC. 

 

Kata Kunci : distorsi kognitif, kecemasan

 

 

 

Pendahuluan

        Penyakit TBC atau yang biasa dikenal dengan tuberculosis  merupakan suatu penyakit infeksi kronis atau menahun dan menular yang disebabkan oleh bakteri Mikobaterium Tuberklosa yang dapat menyerang pada siapa saja tanpa memandang usia dan jenis kelamin namun sesuai fakta penyakit TBC menyerang pada usia produktif yang berkisar antara usia 15-35 tahun. Udara merupakan media penyebaran bakteri  Mikobaterium Tuberklosa dalam penularan penyakit TBC, biasanya Mikoba-terium Tuberklosa terbawa pada saat penderita TBC batuk atau menge-luarkan dahak dan meludahkannya ke sembarang  tempat.  Jika bakteri ini sering masuk dan terkumpul di dalam  paru-paru maka perkembang-biakan bakteri ini akan semakin cepat terutama pada dengan daya tahan tubuh yang rendah. Setelah terjadi infeksi maka akan dengan mudah menyebar pembuluh darah atau kelenjar getah benih. Oleh karena itu infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah benih dll. Meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.

        Tercatat di Indonesia bahwa penyakit TBC ini terus berkembang setiap tahunnya dan hingga saat ini mencapai angka 250 juta  kasus baru dan 140 ribu diantaranya menye-babkan kematian. Dengan angka ini memposisikan Indonesia menjadi negara terbesar ketiga di dunia untuk penderita penyakit TBC. (http://www.metris- community.com/ gejala-penyakit-tbc-pencegahan-tuberkulosis).

            Seorang penderita TBC merasa cemas akan kesembuhan penyakit, apalagi seseorang yang menderita TBC harus melakukan pengobatan selama 6-9 bulan dengan minum obat yang telah ditentukan tanpa telat meskipun hanya 1x minum obat saja. Reaksi cemas akan bisa membuat kesehatan penderita semakin menurun dan semakin sulit untuk segera mendapatkan kesem-buhan. Hal ini memerlukan penanganan yang serius dari para dokter dan para ahli klinis lainnya untuk mengidentifikasi individu yang memiliki resiko terhadap gangguan emosional. Efek stress dapat menyebabkan produksi epinefrin meningkat, memobilisasi glukosa, asam lemak dan asam nukleat yang cenderung menyebabkan rasa lapar, kecemasan, gemetaran (Hawari, 2001).     

Penderita masih menganggap bahwa meskipun pengobatan yang telah dijalaninya sudah berjalan lama, namun kondisi penyakit yang dideritanya tidak kunjung sembuh (Sukardja, 2004). penderita dengan pengobatan lama juga akan menimbulkan tekanan psikologis pada diri penderita. Penderita akan merasa cemas manakala penyakit yang dideritanya dirasakan tidak membaik, atau bahkan dirasakan semakin parah. Rasa cemas yang timbul juga dapat mengakibatkan timbulnya penyakit lain. Hal inilah yang menyebabkan penderita mempunyai pemikiran-pemikiran yang irrasional terhadap kesembuhan penyakit.

       Penelitian Hawari (2004) mene-mukan bahwa pasien penderita TBC dengan pengobatan DOTS, 11% diantaranya mengalami kecemasan. Definisi kecemasan itu sendiri adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar,yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya yang berkaitan dengan perasaan (Stuart, 2006).

         (Sobur, 2003). Distorsi kognitif adalah kesalahan cara berpikir tentang diri sendiri, lingkungan dan masa depan (http://etd.eprints. ums.ac.id/6297/). Setiap orang pernah mengalami kecemasan, salah satunya dikarenakan oleh distorsi kognitif, tidak terkecuali pada penderita penyakit TBC, mereka mengalami penyimpangan berfikir atau berfikir yang tidak masuk akal dan berfikir secara berlebihan tentang penyakit sehingga mence-maskan kesembuhannya. Pada pasien-pasien TBC penyimpangan berfikir tentang kesembuhan penyakitnya seperti beranggapan jika mereka tidak akan mendapatkan kesembuhan dari penyakitnya dan pemberian pengo-batan selama ini tidak memberikan pengaruh dan perubahan yang berarti bagi kesembuhannya.

       Bedasarkan uraian di atas bahwa distorsi kognitif erat hubungannya dengan kecemasan, pasien atau penderita khususnya penderita TBC haruslah menghindari distorsi kognitif atau penyimpangan berfikir terhadap penyakitnya dan tetap optimis dan berfikir yang logis terhadap kesembuhan penyakit yang diderita, karena dengan hal tersebut mampu memberikan respon positif terhadap kesehatannya sebab bisa terhindar dari rasa cemas.

 

Metode Penelitian

       Variabel – variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variable yakni Variabel bebas ( X ) : Tingkat kecenderungan distorsi kognitif dan Variabel terikat ( Y ) : Kecemasan penderita TBC terhadap kesembuhan

Definisi operasional dari variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Kecemasan merupakan faktor emosional seperti prasangka dalam berfikir dimana pada situasi cemas pikiran individu lebih merasa bingung sebelum masalah benar-benar terjadi, pengalaman perasaan yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan yang juga disertai dengan ciri-ciri fisik, kognitif dan psikis. Kecemasan ini diukur dengan skala kecemasan, skala ini didasarkan pada ciri-ciri kecemasan antara lain : a) Ciri-ciri fisik, seperti gangguan pada sistem percernaan, denyut jantung lebih cepat, telapak tangan menjadi berkeringat, dan merasa lemas, b) Ciri-ciri psikis, seperti takut, tertekan dan khawatir yang berlebihan, c) Ciri-ciri kognitif seperti merasa sulit  berkonsentrasi dan mudah lupa.

Distorsi kognitif adalah kesalahan cara berpikir individu tentang diri sendiri, lingkungan dan masa depan yang mana di dalam kesalahan cara berpikir tersebut berisi pikiran negatif dan keyakinan yang belum pasti kebenarannya. Distorsi kognitif itu diukur dengan skala distorsi kognitif, skala ini didasarkan pada tujuh cara berpikir seseorang ketika mengalami distorsi kognitif, antara lain: a) Mudah membuat kesimpulan tanpa data yang mendukung artinya cenderung berpikir seburuk-buruknya, b) Memiliki pemahaman yang selektif artinya membatasi kesimpulan bedasarkan hal-hal yang terbatas, c) Mudah melakukan generalisasi artinya meyakini suatu kejadian untuk diterapkan secara tidak tepat pada situasi lain, d) Kecenderungan memperbesar dan memperkecil masalah, sehingga membuat individu tidak mampu menilai masalah secara obyektif, e) Personalisasi artinya menghubungkan antara kejadian eksternal dengan diri sendiri dan menyalahkan diri sendiri, f) Pemberian label atau kesalahan melabel artinya menentukan identitas diri bedasarkan kegagalan atau kesalahan, h) Pola pemikiran yang terpolarisasi artinya kecenderungan untuk berpikir dan menginter-pretasikan segala sesuatu dalam bentuk “all or  nothing” (semua atau tidak sama sekali).

Subyek penelitian ini adalah penderita TB Paru  yang berobat di Poli Paru Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Gresik Jawa Timur sebanyak 85 penderita

 

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan teknik Korelasi Product Moment diperoleh koefisien korelasi rxy sebesar 0,494 pada taraf signifikansi ,(p), 0,000 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa antara kecenderungan distorsi kognitif  mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan tingkat kecemasanakan kesembuhan pada penderita TBC.  Selain itu, juga menghasilkan (r²) = 0,244, dengan demikian sumbangan efektif variabel X terhadap Y sebesar 22,4%  yang berarti ada 77,6% variabel lain yang memiliki hubungan dengan tingkat kecemasan terhadap kesembuhan pada penderita TBC.

 

Pembahasan

Sesuai dengan hasil analisis yang sudah dilakukan, maka hipotesis yang berbunyi “ada hubungan positif antara kecenderungan distorsi kogni-tif dengan tingkat kecemasan terhadap kesembuhan pada pasien TBC” dinyatakan diterima dan memiliki hubungan yang sangat signifikan namun hanya memiliki sumbangan efektif sebesar 22,4 %, sehingga dapat diartikan bahwa adanya kecenderungan distorsi kognitif terbukti mempunyai hubungan dengan tingkat kecemasan terhadap kesembuhan, hanya saja distorsi kognitif  yang dimiliki oleh penderita TBC RSUD Ibnu Sina Gresik tidak berkontribusi penuh pada tingkat kecemasan terhadap kesembuhan, dikarenakan masih banyak faktor lain yang memiliki hubungan dengan  tingkat kecemasan.

Distorsi kognitif adalah kesa-lahan cara berpikir individu tentang diri sendiri, lingkungan dan masa depan yang mana di dalam kesalahan cara berpikir tersebut berisi pikiran negatif dan keyakinan yang belum pasti kebenarannya. Sedangkan kecemasan merupakan faktor emosional seperti prasangka dalam berfikir dimana pada situasi cemas pikiran individu lebih merasa bingung sebelum masalah benar-benar terjadi, pengalaman perasaan yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan secara tidak langsung mampu mempengaruhi penderita TBC mengalami kecemasan baik secara psikis, fisik dan kognitif sehingga dapat jelas dikatakan bahwa hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini telah terbukti.

Deffenbacher dan Hazaleus (dalam Ghufron, 2010) mengemukakan bahwa sumber penyebab kecemasan, meliputi antara lain : a) Kekhawatiran (worry) merupakan pikiran negatif tentang dirinya sendiri; b) Emosional (Emosionality) sebagai reaksi diri sendiri terhadap rangsangan saraf otonomi c) Gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan tugas (task generated interference). Adler dan Rodman (dalam Ghufron,2010) menyatakan terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya kecemasan, yaitu (a)  pengalaman  negatif pada masa lalu (b) pikiran yang tidak rasional. Faktor yang mempengaruhi kecemasan antara   lain : Umur, keadaan fisik, sosial budaya, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan. (http://www.digilib.unipdu.ac.id/downlot.php?file=BAB%20II% 20717019. Pdf)

Demikian juga seperti yang dialami oleh penderita TBC, para  penderita TBC mengalami kecemasan yang disebabkan oleh; kekhawatiran yang bisa menjadikan mereka beranggapan bahwa mereka bersalah jika ada orang lain yang tertular penyakitnya , Emosional yang bisa menjadikan mereka takut jika mereka tidak bisa sembuh dari penyakitnya, Gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan tugas yang bisa menjadikan mereka beranggapan bahwa pengobatan selama ini tidak membawa perubahan bagi kesembuhannya, Pikiran yang tidak rasional yang menjadikan mereka beranggapan bahwa mereka harus menghindar dari orang lain agar orang lain tidak tertular.

Di dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak faktor yang perlu diperhatikan selain kecenderungan distorsi kognitif yang berkontribusi terhadap timbulnya tingkat kecemasan seperti tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, umur, social budayaserta pengalaman masa lalu  sehingga hal tersebut mampu mengungkap secara tidak langsung kenapa dalam penelitian ini kecenderungan distorsi kognitif dengan tingkat kecemasan terhadap kesembuhanhanya memiliki sumbangan efektif sebesar 22,4%.  Distorsi kognitif  bukanlah satu-satunya faktor penyebab  timbulnya kecemasan karena masih banyak faktor-faktor lain yang mendukung timbulnya kecemasan. Kondisi subyek saat diteliti mengalami kecenderungan distorsi kognitif yang rendah, hal ini terlihat dari hasil penelitian uji Z = -4,421 pada taraf signifikansi (p) = 0,000 (p<0,01) hal ini berarti rerata hipotesis dengan rerata empiris pada variabel tersebut sangat signifikan / ada perbedaan. Rerata hipotesis (37,500), secara statistik lebih tinggi jika dibandingkan dengan rerata empiris (34,424) sehingga bisa disimpulkan bahwa kecenderungan distorsi kognitif mereka rendah. Subyek mengalami kecenderungan distorsi kognitif pada kategori rendah dikarenakan mereka sudah bisa berpikir positif dan banyak membaca buku-buku maupun artikel tentang informasi penyakit TBC, namun kondisi kecemasan mereka berada pada kategori tinggi, hal ini terlihat dari hasil penelitian uji Z = 6,178 pada taraf signifikansi(p) = 0,000 (p<0,01) hal ini berarti rerata hipotesis dengan rerata empiris pada variabel tersebut  signifikan / ada perbedaan. Rerata hipotesis (60,00), secara statistik lebih rendah jika dibandingkan dengan rerata empiris (65,353), sehingga bisa disimpulkan bahwa tingkat kecemasan terhadap kesembuhan  mereka tinggi. Subyek mengalami tingkat kecemasan pada kategori rendah dikarenakan mereka sudah mengetahui bahwa penyakit TBC adalah penyakit yang menular dan membutuhkan waktu yang cukup untuk mendapatkan kesembuhan.

Namun meskipun memiliki sumbangan efektif yang lemah namun sudah terbukti bahwa  kasus distorsi kognitif yang terjadi pada penderita TBC  RSUD Ibnu Sina Gresik adalah dikarenakan adanya kesalahan berpikir yang dimiliki sebagian penderita TBC RSUD Ibnu Sina Gresik sehingga tanpa sadar memicu penderita TBC mengalami kecemasan terhadap kesembuhan baik secara psikis, fisik dan kognitif.

 

Kesimpulan dan Saran

       Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara kecenderungan distorsi kognitif dengan tingkat kecemasan terhadap kesembuhan pada penderita TBC; semakin tinggi kecenderungan distorsi kognitif semakin tinggi pula tingkat kecemasan terhadap kesembuhan pada penderita TBC. Kesimpulannya hipotesis penelitian ini diterima.    

Bagi dokter yang menangani disarankan memberikan treatment dan informasi tentang penyakit yang diderita dengan sejelas-jelasnya kepada penderita agar terhindar dari distorsi kognitif yang bisa mengakibatkan kecemasan, seperti menyediakan brosur tentang penyakit TBC di Poli Paru supaya penderita tidak memiliki pemikiran yang salah terhadap penyakitnya.

Bagi penderita TBC disarankan untuk menjauhi distorsi kognitif dengan cara mencari sebanyak mungkin informasi tentang penyakitnya dan mentaati nasehat dokter untuk berobat secara teratur.

 

Daftar Pustaka

Community. Metris . Gejala Penyakit TBC-Pencegahan Tubercu-losis. Diunduh dari  http://www.metris-community. com/gejala-penyakit-tbc-pen-cegahan-tuberkulosis

Endah. Teori predisposisi kece-masan. Diunduh dari http:// digilib.unimus.ac.id/files/disk1/111/jtptunimus-gdl-dwiendahay-5542-3-bab2.pdf

Ghufron, M dan Rina, G. (2010). Teori-teori Psikologi. Jogja-karta : Ar-ruzz media

Hadi, S. (1989). Metodologi Riset. Yogyakata : Andi Offset.

Hadi, S. (2000). Seri Program Statistik Manual. Yogyakarta : Fak. Psikologi Universitas Gadjah Mada

Ismail. (2011). Terinfeksinya penyakitTuberkulosis. Diunduh dari http://www.scribd.com/ doc/ 57888913/38/TBC- Terin-feksinya-penyakit-Tuberku-losis-Paru-BTA-positif

Salman. (2007). Diunduh dari  Http://re-searchengines. com/ syukursalman 5-07.html

Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum dalam Lintasan Seja-rah. Bandung : CV Pustaka setia.

Unipdu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan. Diunduh darihttp://www.digilib. unipdu.ac.id/

Wahyudin. (2011). Beda Penyakit Akut dan Kronis. Diunduh dari http://abunajmu.wordpress.com

 

 

 

 

 

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya