Artikel 4

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 1108 kali

EFEKTIFITAS HIPNOTERAPI UNTUK MENURUNKAN TINGKAT DEPRESI PADA ODHA

Rudi Tri Prasetyo

 

Program Studi Magister Psikologi Profesi

 Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

 

Abstrak

 

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas hipnoterapi untuk menurunkan tingkat depresi pada penderita HIV/AIDS. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Kualitatif eksperimental, dengan menggunakan One Group Pretest-.Subyek penelitian ini adalah pasien ODHA yang berobat di poli cendana RS ngudi waloyo Blitar sebanyak 5 orang. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperiment single group pretest-postest design. Analisa data digunakan analisis statistik non parametrik Wilcoxon dan analisis  kualitatif berdasarkan data observasi dan wawancara.  Hasil penelitian menunjukkan Hipnoterapi dapat menurunkan tingkat depresi pada ODHA.

Kata Kunci: Hipnoterapi & Depresi

 


Pendahuluan

Penyakit degeneratif atau penyakit-penyakit kronis memerlukan terapi jangka panjang bahkan seumur  hidup.  Kondisi  ini  berdampak  secara  ekonomi  dan  psikologis  pada  pasien maupun  keluarganya. Sistem  kesehatan  di  negara  maju  yang lebih baik  dibanding  negara berkembang  masih  menyisakan  problem,  begitu  pula dengan  sistem  kesehatan  pada  negara berkembang seperti Indonesia, tentu menjadi problem tersendiri.

Penyakit penyakit kronis seperti HIV & AIDS menjadi masalah global, karena belum ditemukan  vaksin  untuk  mencegah  dan  penyebaran  HIV  &  AIDS  sangat  cepat,  sehingga kematian  akibat  virus  ini  masih  belum  terkendali.  Data  terakhir  UNAIDS  dan  WHO  yang dikeluarkan pada bulan November 2006 diestimasikan 40,3 juta orang di dunia terkena HIV sedangkan  3,1  juta  meninggal  karena  AIDS  dan  orang  baru  terinfeksi  pada  tahun  2006 sebanyak 4,9 juta (http:// www.avert.org/worldstats.html. Kasus  pertama  HIV  &  AIDS  di  Indonesia  ditemukan  di  Bali  pada  tahun  1987  dan penyebarannya meningkat setelah tahun 1995. Hal ini dapat dilihat pada tes penapisan darah donor yang positif HIV meningkat dari 3 per 100.000 kantong pada tahun 1994 menjadi 16 per 100.000 kantong pada tahun 2000. Peningkatan terjadi 5 kali lebih tinggi dalam waktu 6 tahun. Indonesia telah digolongkan  menjadi  negara  dengan  tingkat  epidemi  yang terkonsentrasi  (concentrated  level  epidemic),  karena  memiliki  kantong kantong  epidemi dengan prevalensi lebih dari 5% pada subpopulasi tertentu (Depkes RI, 2005).

Kasus AIDS di Indonesia bila dilihat secara kumulatif berdasarkan laporan dari seluruh Provinsi yang dikeluarkan secara triwulan oleh Departemen Kesehatan  sampai tahun 2006 sebanyak 8.194 kasus. Terlihat persentase kasus AIDS di Indonesia berdasarkan jenis kelamin Laki-laki sebanyak 82%, perempuan 16% dan tidak diketahui 2 %. Sementara itu ada 10 Provinsi di Indonesia dengan kasus AIDS terbanyak yaitu DKI Jakarta, Papua, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan Untuk AIDS pada pengguna Napza Suntik di Indonesia sampai tahun 2006 sebanyak 1.517 kasus dan jika dilihat dari kelompok umur dari kelompok tersebut ada 70% berada pada kelompok umur yang produktif  (20-39 tahun). 

Persoalan HIV/AIDS saat ini juga telah menjadi masalah besar di Indonesia, tidak hanya menimbulkan masalah kesehatan saja, namun juga telah menimbulkan masalah sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Peningkatan pesat jumlah orang dengan HIV/AIDS merupakan kenyataan yang mempri-hatinkan. Saat ini Indonesia sudah dikategonkan sebagai negara dengan tingkat epidemi yang terkon-sentrasi (concentrated level epidemic) karena memiliki kantong-kantong epidemi de-ngan prevalensi lebih dari 5% pada subpopulasi tertentu yaitu pengguna narkotika suntik dan pekerja seks komersial (Depkes, 2003).

Menurut data yang ada di poli cendana  jumlah penderita HIV/AIDS mulai tahun 2009 sampai  tahun 2012 di kabupaten blitar yang terdaftar adalah 485 orang  tetapi di perkiraakan  banyak penderita yang berobat di luar misalnya di kabupaten malang dan Kediri atau tulungagung ,di kabupaten blitar di perkirakan  mencapai 2 kali lipat dari jumlah yang terdaftar di poli cendana dengan rincian 140 laki heterosexual 76 WPS 18 orang waria  179 wanita tenaga kerja migrant (TKW) 68 ibu rumah tangga, sementara pada tahun 2011 jumlah penderita HIV AIDS yang terdaftar di poli Cendana 318 orang  dengan rincian ; 115 WPS (wanita pekerja sex), 53 orang ibu rumah tangga, 135 pekerja laki-laki yang bekerja di luar kota, 15 orang waria, sedangkan angka kematian pada penderita ODHA mulai tahun 2009 -2013 bulan januari yang meninggal mencapai 120 orang.    

Terapi yang dilaksanakan selama ini, yaitu adanya program HAART (Highly  Active Antiretroviral Therapy) diharapkan angka kesakitan karena HIV dan  kematian akibat AIDS mengalami penurunan. Kesakitan dan kematian akibat penyakit ini Kenya-taannya masih tetap tinggi (Hirschel, 2003, Zavasky, 2001, dalam Nasronudin, 2005). Orang yang menderita HIV &  AIDS  menghadapi  situasi  yang  kompleks,  karena  selain  harus  menghadapi  penyakitnya sendiri juga menghadapi diskriminasi, maupun stigma dari keluarga dan masyarakat. Situasi kompleks  tersebut  akan  berdampak  pada  kondisi  sakitnya. Terapi  dengan  antiretroviral  saja tentu belum cukup untuk mengatasi permasalahan pasien HIV & AIDS, sehingga diperlukan terapi komprehensif untuk dapat meningkatkan kualitas hidup penderita HIV & AIDS.

Manusia  dalam  menghadapi  kondisi  sakit  pada  wawasan  psikologi  sosial  cenderung mendorong pribadi individu tersebut pada suatu pesan sakit sesuai dengan konsep masyarakat di sekelilingnya. Suatu proses kejiwaan adalah kompleks, terutama apabila berkaitan dengan proses penyembuhan. Secara psikologis, manusia yang menyadari kondisi sakitnya bukannya mempersepsi  adanya  penyakit    seperti  yang  ada  pada  konsep  medis,  tetapi  akan  cenderung mempersepsi  sebagai  keadaan  sakitnya  sesuai  dengan  kon-sep  masyarakat  awam (Muljohardjono, 2004).

Seseorang  akan  memiliki  persepsi  suatu  penyakit  sesuai  dengan  konsep  masyarakat. Situasi  ini  juga  terjadi  apabila  seseorang  terinfeksi  HIV  &  AIDS. Anggapan  masyarakat terhadap  penyakit  tersebut  menim-bulkan  masalah  sosial  yang  serius  akibat  ketakutan terhadap penularannya maupun anggapan belum ketersediaan obat yang efektif. Stigma sosial yang berhubungan aspek penularan dapat menyebabkan  gang-guan perilaku pada orang lain, termasuk menghindari kontak fisik dan sosial. Diskriminasi juga dapat timbul dalam masalah perumahan, pekerjaan, kese-hatan, dan bantuan masyarakat akibat rasa takut tertular penyakit HIV (Muma, dkk., 1997). 

Ketakutan  terhadap  penularan  yang  berlebihan  dan  respon  yang  negatif  dari masyarakat  merupakan  masalah  yang  setiap  hari  harus  dihadapi  pasien  maupun  keluarga pengidap  HIV  &  AIDS  (Bruhn,  dkk.,  1994;  Muma,  dkk.,  1997). Akibat ini  akan  dirasakan menyakitkan  hati  bagi  mereka  yang  dikucilkan  dari ling-kungan sebagai  penderita  HIV  & AIDS.  Kondisi  tersebut  menambahkan  beban  psikologis  dan  sosial  pada  individu  terinfeksi HIV  (Bruhn,  dkk.,  1994;  Leserman, dkk., 1999), sehingga  sebagian  besar  menunjukkan peru-bahan  karakter  psikososial  (hidup  da-lam  stres,  depresi,  dan  kurang  dukungan  sosial). Kondisi ini potensial untuk semakin mendorong  progresivitas infeksi HIV ke AIDS (WHO, Ross, dalam Nasronudin, 2004).

Beberapa individu yang dinyatakan positif  terinfeksi  HIV  mengalami distress psikologis (Ross, dkk., 1997). Seorang pasien mengalami tekanan ketika  dinyatakan terinfeksi  HIV,  karena  ia  mempersepsi  penyakit  HIV  &  AIDS  sebagai  penyakit  yang menular, mematikan serta belum tersedia obat penawar. Respon  yang timbul adalah merasa tidak  yakin,  merasa  kaku,  penyangkalan  disertai kemarahan, kekacauan  akut  dengan kecemasan  yang  tinggi,  serta  depresi  (Bruhn, dkk., 1994).  Kondisi  awal  ini  perlu  mendapat perhatian agar kondisi fisik dan mentalnya tidak menjadi lebih buruk lagi.

Kecemasan  dan  ketidak-yakinan  terhadap  proses  penyakit,  perjalanan  penyakit,  dan kemungkinan  keberhasilan  pengobatan  merupakan  hal  yang  sering  dihadapi  penderita. Penderita merasa sangat takut ketika timbul gejala fisik yang baru, karena hal tersebut dapat saja  merupakan  tanda  semakin  progresif  penyakitnya.  Penderita  HIV  &  AIDS  juga  sering timbul rasa bersalah, harga diri yang rendah, merasa tidak berharga, antisipasi untuk berduka disertai dengan isolasi, dan menarik diri dari pergaulan sosial. Penderita HIV & AIDS sering merasakan  kemarahan  yang  ditujukan  langsung  pada  keluhan  penyakit,  perawatan  medis, diskriminasi yang diterima, dan  respon masyarakat terhadap penyakit ini.

Depresi paling sering ditemukan pada ODHA, terutama setelah adanya vonis dokter bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS. Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan penyulit psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti. Walaupun sulit untuk menemukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi dan kejadian depresi yang pasti pada Odha, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari yang ada di dalam masyarakat umum, yaitu sekitar 60 % dari total kasus depresi. Pada masyarakat umum hanya ditemukan sekitar 5-10 % kasus depresi. Diagnosis depresi bisa menjadi sulit pada Odha, seperti pada sebagian besar kelompok berpenyakit medis, tetapi berbagai cara tampaknya sama-sama efektif asal ahli psikiatri yang menilainya mengetahui perwujudan psikiatri dan somatik ter-tentu dari penyakit tersebut (Nasro-nudin, 2005).

Kondisi depresi, stres, dan tak bisa menerima kenyataan dialami hampir setiap orang saat dirinya atau anggota keluarga didiagnosa mengidap HIV/AIDS. Kondisi tersebut terjadi karena sampai saat ini masyarakat masih menganggap HIV/AIDS sebagai momok menyeramkan. Saat divonis sebagai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), yang terbayang di benak mereka adalah kematian (http : // www aidsinfonet org.)

Beberapa orang meyakini bahwa tidak mungkin mendefinisikan secara obyektif peristiwa atau situasi untuk dapat dikategorikan sebagai stressor psikologis (Kaplan, 1994). Cara menerima atau menilai lingkungan menentukan apakah terdapat terdapat suatu stressor, apabila seseorang beranggapan bahwa tuntutan dalam suatu situasi melebihi kemampuannya, orang tersebut mengalami stres. Relevan dengan perbedaan individual dalam merespon situasi penuh stres merupakan konsep coping, yaitu bagaimana individu berusaha mengatasi masalah atau menangani emosi yang pada umumnya negatif yang ditimbulkannya. Bahkan tiap individu menilai suatu situasi sebagai penuh stres dan efek stres dapat bervariasi tergantung pada bagaimana individu menghadapi situasi tersebut.( Parvitasari 2005).

Peran psikoterapi terhadap pasien  HIV  sangat  diperlukan  untuk  mendukung  terapi penyakit HIV & AIDS secara holistik. Psikoterapi akan memperpendek 5 (lima) tahap respon pasien HIV & AIDS  terhadap  penyakit.  Lima  tahap  yang  terdiri dari:  peno-lakan,  kemarahan,  depresi,  nego-siasi, dan penerimaan, dengan psikoterapi akan diperpendek menjadi  3  tahap,  yaitu: penolakan  k emarahan, peneri-maan,  sehingga  peningkatan kualitas hidup pasien HIV & AIDS dapat lebih cepat tercapai (Nasronudin, 2005).

Pasien  HIV  &  AIDS  mengalami  tekanan  dan  ketegangan serta depresi  karena baru  dinyatakan  terinfeksi  HIV  &  AIDS,  terjadi  penu-runan  imunitasnya atau kekebalan, dan  pasien merasa dekat dengan kema-tian. Psikoterapi yang sesuai adalah terapi yang dapat mengurangi tekanan  dan  ketegangan, yang dapat  meningkatkan imunitas dan tampilan  fisik,  pasien  dapat  bersandar pada  kekuatan  yang  lebih  besar yaitu alam bawah sadar. Psikoterapi  pada  pene-litian  ini  adalah  hipnoterapi visuali-sasi, meditasi, dan pujian karena sesuai latar belakang kondisi pasien HIV & AIDS di Indonesia.

Terapi hypnosis adalah cara lain yang dapat digunakan untuk mengurangi efek stres. Hypnosis dapat digunakan untuk mengontrol masalah tingkah laku sehari-hari, seperti merokok, obesitas, ketakutan-ketakutan dan masalah stres. Karena dengan menanamkan sugesti-sugesti maka kebiasaan-kebiasaan yang tidak diinginkan dapat diubah. (Nurindra 2002).

Pekala dan Forbes (1990) mengemukakan bahwa hypnosis dapat membantu individu-individu menangani stres dan tegangan. Mereka juga berpendapat bahwa keadaan santai dapat menghasilkan pengaruh yang sama seperti perawatan yang dilakukan dalam hipnotik untuk beberapa subyek (Hakim 2009).

Hipnoterapi lebih praktis seba-gai alat manajemen stres rutinitas sehari-hari dari pada hypnosis normal. Hipno-terapi untuk membantu bersantai dengan tubuh kita, memungkinkan stres hormon mereda, dan mengalihkan pikiran diri sendiri dari pikiran yang tidak menyenangkan. Mengevaluasi efek dari program manajemen stres perilaku kecemasan, suasana hati, harga diri, dan jumlah T - sel dalam kelompok laki-laki HIV - positif yang tanpa gejala kecuali untuk jumlah T - sel di bawah 400. Program ini terdiri dari 20 sesi dua mingguan relaksasi otot progresif dan electromyograph biofeedback yang dibantu latihan relaksasi, meditasi, dan hipnosis. Sepuluh subjek secara acak ditugaskan untuk baik kelompok perlakuan dari kelompok kontrol tanpa perlakuan, dan 2 kelompok dibandingkan pada pra perubahan posttreatment dalam tindakan tergan-tung. Analisis menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan, kelompok perlakuan menun-jukkan perbaikan yang signifikan pada semua tindakan tergantung, yang dipertahankan pada 1 - mo. tindak lanjut. Diketahui karena stres memba-hayakan sistem kekebalan tubuh, hasil ini menunjukkan bahwa mana-jemen stres untuk mengurangi gairahsistem saraf dan kecemasan akan menjadi komponen yang tepat dari rejimen pengobatan untuk infeksi HIV (Taylor, 1995)  

Untuk mempelajari manfaat dari Hipnoterapi, sebagai terapi suplemen dalam pengelolaan pasien yang sakit parah. Metode yang digunakan: Seluruh pasien yang mengambil bagian dalam persidangan adalah pasien rumah sakit hari dari Ann Delhom Centre, Wisdom Hospice, Rochester, Inggris. Pasien yang ditawarkan tiga sesi hipnoterapi dan dinilai sebelum sesi pertama dan setelah yang ketiga bersama-sama dengan tindak lanjut setelah 3/4 bulan setelah sesi terakhir. Perhatian khusus diberikan kepada : 1. manajemen kece-masan, depresi, kemarahan, frustrasi, 2. pengelolaan nyeri, kele-lahan, insomnia, 3. pengelolaan efek samping kemoterapi dan radioterapi, 4. visualisasi untuk mempromosikan per-baikan kesehatan. Semua sesi hipno-terapi secara indivi-dual disesuaikan untuk menutupi kebutuhan individu tertentu. Hasil : Pada akhir sesi, data penelitian dianalisis untuk mengevaluasi efek dari Hipno-terapi pada kualitas individu hidup, harapan hidup, peng-hematan biaya ke rumah sakit dalam hal mengurangi pengobatan dan kebutuhan untuk perawatan medis (David, Mathew, VM. 2005).

Teknik  visualisasi  dengan  membayangkan  sel  sehat  dalam  tubuh  adalah  salah  satu teknik yang dipilih dalam penelitian ini, karena sesuai dengan kondisi penderita HIV & AIDS yang  perlu  meningkatkan  imunitasnya. Teknik  tersebut  diberikan  pada  awal  terapi,  karena kondisi penderita setelah divonis HIV & AIDS mengalami tekanan secara psikis yang justru dapat mempengaruhi sistem imunnya. Teknik ini lebih sesuai dibandingkan imagery karena visualisasi  dapat  membangun  pikiranpikiran tanpa kata menuju ke arah tujuan yang diinginkan, sedangkan pada  imagery adalah melibatkan imaji-nasi tanpa kata (Roy Hunter 2011). Teknik  imagery sebagai relaksasi piker-an, relaksasi otot, dan latihan kon-sentrasi digunakan pada latihan saat persiapan terapi. Tujuan pasien mela-kukan persiapan sebelum terapi adalah agar mereka lebih mudah melaksanakan meditasi dan visualisasi.

Kekebalan tubuh pada manusia akan menurun bila kondisi kita yang sakit baik karena fisik atau perubahan kejiwaan stress atau depresi bisa menyebabkan turun limfosit, penurunan limfosit akan menyebab kondisi tubuh akan lemah sehingga akan memper-mudah virus menyerang kekebalan tubuh kita. Kondisi rileks akan menyebabkan sel sel pada tubuh lebih terpecah sehingga akan mudah bergerak untuk mempertahankan kondisi yang baik (Sugeng, 2012). Perlakukan hipnoterapi akan membuat seseorang menjadi relaksasi sehingga di harapkan kondisi limfosit tidak akan turun  yang akan menyebabkan kondisi lemah  sehingga virus HIV/AIDS akan berkembang lebih cepat.

Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama dan bersifat universal. Depresi merupakan gangguan kejiwaan yang menyebabkan emosi seseorang mengalami penyimpangan afektif yang ditandai oleh adanya konsep negative yang ditunjukkan kepada dirinya sendiri, regresif, perasaan bersalah, kesedihan, perasaan tidak berguna, putus asa dan harga diri rendah (Maramis 2000;Beck, 1987; Greist dan Jefferson, 1987; dan http://www/psych.org/AIDS/anxiety. diunduh 21 maret 2013).

Ciri khas kondisi depresi adalah  perasaan sedih yang mendalam dan menenggelamkan individu  kondisi ini kerap dipicu oleh peristiwa yang menimbulkan kegelisahan  yang terus menerus dan kedukaan yang hampir mendekati keputusasaan . kondisi ini umumnya disertai dengan susah beristirahat serta gangguan tidur dan makan, penderita dipenuhi rasa bersalah dan tidak berharga, serta cenderung cemas dan menyalahkan diri sendiri (dadang hawari,2009).

Gangguan depresi pada umumnya dicetuskan oleh peristiwa hidup tertentu. Kenyataannya peristiwa hidup tersebut tidak selalu diikuti depresi, hal ini mungkin disebabkan karena ada faktor-faktor lain yang ikut berperan mengubah atau mempengaruhi hubungan tersebut (Lumongga, 2009).

Penyebab depresi karena adanya kombinasi beberapa factor, yaitu faktor bawaan yang berasal dari keturunan, factor perkembangan misalnya kehilangan orangtua sejak kecil dan faktor psikologis seperti kesedihan yang mendalam atau stress yang berkepanjangan dan terus ditekan. Perubahan dan kehilangan dari segi fisik, psikologis, sosial dan ekonomi pada diri individu akan dapat menimbulkan depresi (Setyonegoro, 1981; Greist dan Jefferson, 1987; dan Haye, 1994).

Gejala-gejala depresi terdiri dari empat gejala yaitu emosional, gejala kognitif, gejala motivasional dan gejala fisik. Seseorang tidak harus memiliki keempat gejala tersebut untuk dapat didiagnosis sebagai penderita depresi, tetapi lebih banyak gejala yang dimiliki dan semakin kuat gejalanya semakin yakin individu mengalami depresi, seperti gejala fisik depresi ditandai dengan kelesuan, apatis, kehilangan nafsu makan dan nafsu seks (Setyo-negoro dan Iskandar, 1981; Atkinson, 1987; dan Haye, 1994).

Wilkinson (1995) menggo-longkan depresi dari tingkat yang ringan, sedang sampai dengan tingkat berat. Depresi ringan seringkali disebut dengan neurotik atau depresi “reaktif”, sedangkan yang lebih berat disebut depresi “psikotik“ atau “endogenus”.  Gottlieb dan Torney (dalam Rahayu, 2005) membagi depresi menjadi 2 yaitu:

a. Depresi Primer, yaitu keadaan dimana depresi merupakan gejala yang utama. Depresi primer terdiri dari :

b. Reaksi sedih: reaksi emosi-onal yang memperhatikan gejala-gejala depresi atau yang identik dengan itu dengan derajat dan lama yang sebanding dengan pencetus yang ada. Gejala depresi disini umumnya tidak  hebat dan berfluktuasi.

 c. Depresi reaktif: Biasanya factor pencetus mempunyai arti simbolik yang tidak sadar. Selain gejala-gejala depresi terdapat pula gejala-gejala neurotic terutama kecemasan dan  perjalanan penyakitnya dapat berlangsung lama, pada keadaan ini masih terdapat kontak dengan realtas ;

d. Reaksi maniak depresif: Fak-tor pencetus disini dapat mempunyai arti realistic maupun simbolik kadang-kadang bahkan sukar dikenal, penderita dengan ganguan ini cenderung untuk mendapat serangan depresi yang berulang-ulang dengan serangan mania dan dengan periode normal;

e. Depresi involusional: Bia-sanya terpadat pada usia 40-60 tahun, factor pencetus biasanya merupakan hal-hal yang penting pada usia penderita. Pada penderita wanita yaitu masa menopause, berkurangnya daya tarik fisik, hilang atau berkurangnya tujuan hidup. Pada pria yaitu berkurangnya potensi seksual, tugas-tugas akhir dalam pekerjaan dan kedudukkan yang terpaksa ditinggalkan.

Depresi sekunder, yaitu depresi sebagai gejala sekunder disamping adanya keadaan-keadaan lain. Depresi sekunder dibedakan menjadi : Depresi pada Skizofrenia; dan Depresi pada gangguan fisik

Depresi hampir selalu dise-babkan oleh kombinasi beberapa factor. Faktor bawaan atau faktor keturunan, faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan, seperti kehilangan orang tua sejak kecil atau dan faktor psikologis, seperti kesedihan yang mendalam atau stress menjadi satu akan mengakibatkan timbulnya depresi. Setiap individu mempunyai pola kepri-badian yang berasal dari keturunan, perkembangan, lingkungan, sosial dan faktor fisiologis yang menyatu. Perpa-duan semua factor tersebut menghalangi timbulnya depresi ataupun dapat mem-beri peluang timbulnya depresi (Greist dan Jefferson, 1987).

Haye (1994) menyebutkan 8 penyebab depresi, yaitu :

a. Kekecewaan, segala sesuatu dalam hidup ini selalu sesuai dengan rencana, namun apabila belum dapat terlaksana akan menjadi kecewa. Sumber kekecawaan dalam kehidupan adalah karena adanya kebutuhan akan cinta pada diri sendiri sangat besar dan adanya penolakan dari seseorang yang dicintai akan menyebabkan kekecewaan.

b. Berkurangnya harga diri, kurangnya harga diri ini cenderung dilebih-lebihkan, karena harapan-harapannya yang tidak realistic membuat individu tidak mampu menerima dirinya sendiri. Hal ini terjadi pada individu yang ingin segalanya sempurna dan tidak pernah puas dengan prestasi yang dicapainya.

c. Perbandingan yang tidak adil, setiap kali seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain yang mempunyai nilai lebih baik daripada dia maka depresi akan terjadi. Keputus asaan atau kekecewaan dengan apa yang diraihnya akan mempengaruhi pikiran-pikirannya dan menyebabkan depresi. Hampir setiap saat mengejar perban-dingan yang tidak seimbang, menco-cokkan kekurangan terhadap kelebihan orang lalin, hal ini menjadi menyakitkan dan memperkuat ketidakpuasannya.

d. Dua perasaan yang berten-tangan, ini sebagai perasaan yang terje-bak yaitu menjadi tidak mampu untuk memperbaiki situasi yang tidak dapat ditoleransi.

e. Penyakit periode yang memperpanjang masa sakit membuat seseorang untuk terserang depresi dan pengaruh obat-obatan yang diberikan dapat memperkuat masalah ini.

f. Aktivitas mental yang berle-bihan, keadaan ini sering terjadi pada orang-orang produktif dan aktif, sedangkan gejala yang muncul aadalah kemarahan yang tiba-tiba tanpa adanya alasan yang jelas.

g. Penolakan, akibat depresi yang terus-menerus sangat dibutuhkan cinta oleh setiap manusia, jika tidak terpenuhi maka depresi adalah pelariannya. Adanya penolakan dari orang-orang yang dekajt dengan indi-vidu akan menimbulkan depresi.

h. Tujuan-tujuan yang tidak tercapai, perjuangan seseorang untuk mencapai tujuan diperlukan dan setiap orang hendaknya mempertahankan tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Orang sadar bahwa ia mempu-nyai tujuan yang luar biasa akan jarang depresi.

Penyebab depresi dapat berasal dari luar dan dari dalam diri individu. Penyebab dari luar yaitu kekecewaan yang disebabkan karena kegagalan dan krisis, misal dalam bentuk kehilangan atau ancaman akan kehilangan akan miliknya yang berharga atau kebutuhan yang meningkat. Penyebab dari dalam yaitu adanya gangguan hormonal dan gangguakn neurotransmitter di otak.

Penyebab depresi karena adanya kombinasi beberapa factor, yaitu faktor bawaan yang berasal dari keturunan, factor perkembangan misalnya kehilangan orangtua sejak kecil dan faktor psikologis seperti kesedihan yang mendalam atau stress yang berkepan-jangan dan terus ditekan. Perubahan dan kehilangan dari segi fisik, psikologis, sosial dan ekonomi pada diri individu akan dapat menimbulkan depresi.

Menurut Atkinson (1987) depresi ditandai oleh empat kelompok gejala yaitu :

a. Gejala Emosional meliputi: kesedihan dan kekesalan, merasa putus asa dan tidak berdaya, sering menangis, hilangnya kegembiraan dan keputus asaan dalam hidup dan mungkin mencoba untuk bunuh diri;

b. Gejala kognitif, meliputi: pikiran negative, rasa percaya diri yang rendah, merasa tidak kuat, menyalahkan diri sendiri atas pesimistik dapoat melakukan sesuatu untuk memperbaiki hidupnya..

c. Gejala motivasi, meliputi : cenderung pasif dan sulit untuk memulai aktivitas.

d. Gejala fisik, meliputi: kehilangan nafsu makan, gangguan tidur, kelelahan, membesar-besarkan nyeri dan sakit dan mengkhawatirkan kesehatannya.

AIDS merupakan kumpulan  gejala penyakit yang disebabkan oleh HIV dan merupakan bentuk progresivitas penyakit HIV (Drew,  2001;  Mc Closky, 1998; Zavasky dalam Nasronudin, 2004; dan Nasronudin, 2007

Kondisi depresi, stres, dan tak bisa menerima kenyataan dialami hampir setiap orang saat dirinya atau anggota keluarganya didiagnosa mengidap HIV/AIDS. Kondisi tersebut terjadi karena sampai saat ini masya-rakat masih menganggap HIV/AIDS sebagai momok menyeramkan. Saat divonis sebagai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), yang terbayang di benak mereka adalah kematian (Sherbourne , et al, 2007)

Depresi paling sering ditemukan pada ODHA, terutama setelah adanya vonis dokter bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS. Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan penyulit psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti.

Walaupun sulit untuk mene-mukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi dan kejadian depresi yang pasti pada Odha, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari yang ada di dalam masyarakat umum, yaitu sekitar 60 % dari total kasus depresi. Pada masyarakat umum hanya ditemukan sekitar 5-10 % kasus depresi. Diagnosis depresi bisa menjadi sulit pada Odha, seperti pada sebagian besar kelompok berpenyakit medis, tetapi berbagai cara tampaknya sama-sama efektif asal ahli psikiatri yang menilainya mengetahui perwujudan psikiatri dan somatik tertentu dari penyakit tersebut (David dan Brian, 2000).

Secara umum telah terbukti bahwa penyakit HIV berhubungan dengan tekanan sosial dan kehidupan tertentu, seperti stigma (cap buruk), yang mungkin mempengaruhi seseorang menjadi depresi. Depresi pada Odha juga dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan daya ingat serta konsentrasi, namun, depresi, berbeda dengan kesedihan atau kecil hati, bukan merupakan dampak alami dari penyakit (David dan Brian, 2000).

Sampai dengan detik ini HIV/AIDS masih menjadi pusat keprihatinan masyarakat se dunia, terk-ait dengan belum ditemukannya vaksin yang benar-benar efektif mencegah HIV. Obat yang saat ini tersedia juga masih bersifat kontro-versial di dalam proses penyembuhan, selain itu harga antiretroviral masih cukup mahal, meskipun di sana sini sudah banyak para pemerhati yang bersedia memberikan bantuan yang bersifat karitatif kepada para penyandang HIV/AIDS. Pada sisi lain pengobatan dengan antriretroviral juga bukan tanpa dampak. Data Departemen Kesehatan menyebutkan hingga akhir September 2006, dila-porkan sebanyak 6.987 orang penderita AIDS. Dari jumlah itu, 1.651 orang atau 23,63% meninggal dunia (Anonim dalam Kompas November, 2007). Sebuah hasil penelitian terkini menunjukkan adanya penyakit kejiwaan pada Odha meliputi Odha yang mempunyai gambaran diri negative, Odha kecemasan dan Odha yang mengalami depresi. Prevalensi kece-masan pada kelompok orang HIV-positif berkisar kurang lebih 25% sampai 40%. Gangguan kecemasan mencakup gang-guan penyesuaian yang ringan, gang-guan panik, fobia, obsessive-compul-sive, stres setelah trauma, penyakit stres yang akut, dan kegelisahan yang menyeluruh (David, 2002). Adapun prevalensi Odha yang mengalami depresi belum diketahui secara pasti karena belum pernah dilakukan penelitiannya, namun kasus depresi pada Odha ini diperkirakan memiliki frekuensi mencapai 60 % dari total kasus depresi yang ada (David dan Brian, 2002).

Bastian dan Wawan (2003) mengutarakan ketika seseorang didiagnosa terinfeksi HIV / AIDS, maka hampir selalu ini merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan. Meskipun terkena karena perilaku mereka sendiri,diagnosa HIV bisa terasa berat untuk dapat diterima. Reaksi bisa beragam. Ada yang bereaksi dengan kemarahan, ketakutan yang amat sangat, membantahkebenaran tes, atau kadang, dengan reaksi tumpul.

Nasution (2004) dalam hasil penelitiannya memaparkan begitu individu terinfeksi AIDS (atas pemberitahuan dokter), penderita mengalami shock. Bisa putus asa (karena shock berat). Penderita meng-alami “depressi berat”, sehingga menyebabakan penyakit makin lama makin berat, timbul berbagai infeksi opotunistik, penderita makin tersiksa. Biaya pengobatan tambah besar, macam penyakit tambah banyak, obat yang di beri harus tambah banyak dan tambah keras, dengan berbagai efek samping, yang memperparah keadaan penderi-ta.Masyarakat sekitar turut pula mem-perburuk keadaan kejiwaan penderita, dengan segala macam isu dan ejekan yang dilontarkan.

Abdullah (2008) menge-mukakan bahwa keyakinan diri yang rendah pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan penderita mengalami hypocondria, dimana penderita Sering-kali memikirkan mengenai kehilangan, kesepian dan perasaan berdosa di atas segala yang telah dilakukan sehingga menyebabkan mereka kurang menitik beratkan langkah-langkah penjagaan kesehatan dan kerohanian mereka.

Suryadi (2007) mengutarakan bahwa seorang dan mengetahui kondisi mental penderita akan mengalami fase yang sering disingkat SABDA (Shock, Anger, Bargain, Depressed, Acceptance pasien yang telah didiagnosis HIV positif).

Halim dan Atmoko (2005) dalam hasil penelitiannya mengungkap-kan bahwa kecemasan akan HIV/AIDS berkorelasi negatif dengan Psycho-logical Well Being (kesejahteraan psikologis), Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kecemasan pada penderita HIV/AIDS, maka Psycho-logical Well Being (kesejahteraan psiko-logis) pada penderita HIV/AIDS akan semakin rendah. Dampak setelah menderita HIV/AIDS yang sering ditemukan adalah meninggal dunia, kebanyakan penderita HIV/AIDS akan meninggal dunia setelah mengalami kegagalan fungsi organ, sakit saluran pencernaan ataupun sakit saluran paru-paru. Ada juga beberapa dari penderita HIV/AIDS akan mendapatkan bintik merah pada kulitnya. Selain dampak fisik ada beberapa penderita yang mengalami dampak psikologis yaitu stres yang kemudian bunuh diri (Holifah, 2006).

Hypnosis  didefinisikan sebagai suatu kondisi pikiran dimana fungsi analitis logis pikiran direduksi sehingga memungkinkan individu masuk ke dalam kondisi bawah sadar (sub-consious/unconsious), dimana tersimpan beragam potensi internal yang dapat dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan kualitas hidup. Individu yang berada dalam kondisi “hypnotic trance” lebih terbuka terhadap sugesti dan dapat dinetralkan dari berbagai rasa takut berlebih (phobia), trauma ataupun rasa sakit. Individu yang mengalami hypnosis masih dapat menyadari apa yang terjadi disekitarnya berikut dengan berbagai stimulus yang diberikan oleh terapis (Roy ,2009)

Hypnosis adalah suatu keadaan mirip tidur, ditimbulkan secara buatan oleh seorang ahli hipnotis dan dicirikan dengan sugestibilitas yang semakin meninggi. Oleh sebab itu maka pribadi yang terhypnosis memperlihatkan keadaan menerima yang ekstrim terhadap sugesti-sigesti yang diberikan oleh hipmous  (roy, 2009).

Pasien  yang didiagnose HIV  &  AIDS  mengalami  tekanan  dan  kete-gangan karena  baru  dinyatakan  terinfeksi  HIV  &  AIDS,  terjadi  penu-runan  imunitasnya,  dan  pasien merasa dekat dengan kematian. Psikoterapi yang sesuai adalah terapi yang dapat mengurangi tekanan dan ketegangan, meningkatkan imunitas dan tampilan  fisik,  pasien  dapat  bersandar pada  kekuatan  yang  lebih  besar,  dan  mela-kukan  terapi  secara  mandiri  karena  ia  akan mengidap  virus  seumur  hidup,  serta  teknik  terapi  yang  sesuai  dengan  orang  Indonesia Psikoterapi 

Kecemasan  &  ketidakyakinan  terhadap  proses  penyakit,  per-jalanan  penyakit,  dan kemungkinan keberha-silan pengobatan merupakan  hal  yang  sering  dihadapi  penderita. Pen-derita merasa sangat takut ketika timbul gejala fisik yang baru, karena hal tersebut dapat saja  merupakan  tanda  semakin  progresif  penyakitnya.  Penderita  HIV  &  AIDS  juga  sering timbul rasa bersa-lah, harga diri yang rendah, merasa tidak berharga, antisipasi untuk berduka disertai dengan isolasi, dan menarik diri dari pergaulan. Penderita HIV & AIDS sering merasakan  kemarahan  yang  di-tujukan  langsung  pada  keluhan  penya-kit,  perawatan  medis, diskriminasi yang diterima, dan  respon masyarakat terhadap penyakit ini.

Manusia dalam menghadapi kondisi sakit pada wawasan psikologi cenderung mendorong pribadi individu tersebut pada suatu pesan sakit sesuai dengan konsep masyarakat di sekeli-lingnya. Suatu proses kejiwaan adalah kompleks, terutama apabila berkaitan dengan proses penyembuhan. Secara psikologis, manusia yang menyadari kondisi sakitnya bukannya mempersepsi adanya penyakit seperti yang ada  pada  konsep  medis,  tetapi  akan  cenderung mempersepsi sebagai keadaan sakitnya sesuai dengan konsep masyarakat awam (Muljohardjono, 2004).

Respon psikologis hingga adaptasi psikologis terhadap penyakit HIV & AIDS tergantung  pada tiga  faktor penting (Muma, dkk., 1997), yaitu: 1) medis,  yaitu  gejala-gejala,  perjalanan  penyakit,  dan  komplikasi  terutama  pada   syaraf  pusat;  2)  psikologis,  yaitu  kepribadian,  kemampuan  mengatasi  masalah,  dan  dukungan  interpersonal; dan  3)  sosiokultural  yaitu,  stigma    yang  melekat  pada  infeksi  HIV  maupun kelompok orang yang menderita infeksi HIV.

Kekebalan tubuh pada manusia akan menurun bila kondisi kita yang sakit baik karena fisik atau perubahan kejiwaan stress atau depresi bisa  menyebabkan turunnya limfosit.  Penurunan limfosit akan menyebab kondisi tubuh akan lemah sehingga akan mempermudah virus menyerang kekebalan tubuh. Kondisi yang rileks akan menyebabkan sel sel pada tubuh lebih terpecah sehingga akan mudah bergerak  untuk mempertahankan kondi-si yang baik. Dala kondisi rilek perlakukan hipnoterapi akan membuat seseorang akan menjadi relaksasi sehingga di harapkan kondisi limfosit tidak akan turun  yang akan menye-babkan kondisi lemah  sehingga virus HIV/AIDS akan berkembang lebih cepat.

Salah satu cara untuk mening-katkan kesehatan tubuh dengan hipno-terapi diharapkan akan membuat kondisi ODHA semakin sehat baik fisik maupun mentalnya ,terutama factor psikis yang akan membuat ODHA semakin stress bahkan semakin menjadi depresi dengan kondisi depresi akan membuat ODHA semakin melemahkan kondis OFHA dikarena kurangnya semangat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari ,sehingga kegiatan rutin nya terutama untuk meminum obat juag semakin malas  dan akhirnya akan menurunkan CD4nya  dengan penurunan CD4  akan semakin memperparah kondisi HHIV menjadi AIDS dalam stadium 4 hingga bisa menyebabkan kematian.

Hipotesis penelitian ini adalah Hipnoterapi efektif untuk menurunkan tingkat depresi atau pemberian hipnoterapi akan dapat menurunkan tingkat depresi  pada ODHA

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Kualitatif eksperimental, dengan meng-gunakan One Group Pretest-Post-test Design.

Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian pasien yang berobat pada poli Cendana RS Ngudi Waluyo Blitar yang memilki tingkat depresi yang tinggi yang di tunjukkan hasil test Beck Depression Inventory (BDI) .

Subyek penelitian ini di peroleh dengan cara bekerjasama dengan poli Cendana serta Cahaya Plus Blitar yang beranggotakan semua ODHA yang berobat di poli cendana RS ngudi waloyo Blitar. Pada awalnya 7 orang yang di peroleh  akan tetapi setelah diberi pengarahan tentang penelitian ini dengan menggunakan hipnoterapi  yang bersedia hanya 5 orang dengan tingkat depresi parah  dengan nilai antara 31-40.

Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah dengan meng-gunakan skala depresi Back dengan penambahan kata HIV/AIDS  di setiap  sakala, Skala ini terdiri dari 21 item (A-U) masing masing kelokmpok gejala diberi penilaian angka (score ) antara 0-4 yang artinya  adalah 0 = tidak ada gejala ,1 = gejala ringan, 2 =gejala sedang  3 = gejala berat   dan setiap item terdiri dari 4 pertanyaan klien  disuruh memilih pernyataan yang setiap kelompok paling sesuai dengan perasaan anda  terakhir ini dengan cara  tanda silang (X) di depan pernyataan yang dipilih.

Prosedur pelaksanakan ekspe-rimen sebagai berikut:

 

  1. Mengumpulkan subjek berdasarkan data pada poli Cendana dan memilih subjek yang positif HIV/AIDS
  2. Pemberian informed Consent lembar ini berisi berbagai langkah prosedur dalam melakukan eksperimen, konsekuensi yang terjadi, serta penekanan pada kerahasian identitas subjek ekspe-rimen.
  3. Pemberian lembar persetujuan  berisi tentang kemauan atau kesu-karelaan partisipasi terapi untuk berperan serta dalam kegiatan eksperimen.
  4. Pengambilan sample darah untuk pemeriksaan CD4 dan pengisian lembar depresi BECK.
  5. Pemberian perlakuan hipnoterapi oleh petugas.
  6. Pemberian perlakuan hipnoterapi oleh petugas dan subyek penelitian
  7. Melakukan kontrol  pada subjek yang dilakukan oleh orang terdekat subjek,  subjek melakukan hipno-terapi apa tidak.
  8. Melakukan wawancara dengan orang terdekat subjek apa yang terjadi perubahan apa tidak.
  9. Pemeriksaan skala depresi dan pemeriksaan CD4
  10. Follow -  up

Analisa data penelitian menggunakan statistic non parametric, karena sampel penelitian yang berjumlah sedikit lima orang. Ada kemungkinan distribusi nilainya menjadi tidak normal karena tidak memenuhi uji asumsi parametrik sehingga tidak dapat digeneralisasikan pada kelompok lain. Berdasarkan alasan tersebut untuk menguji apakah terdapat perbedaan tingkat depresi pada subjek sebelum dan sesudah mendapat perlakuan digunakan analisis statistik non parametrik Wilcoxon dengan program SPSS for Windows seri 16. Selain itu berdasarkan data observasi dan wawancara dilakukan  olah data kualitatif untuk menambahkan deskripsi dari hasil pendekatan kuantitatif.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Penelitian ini dilakukan di Poli VCT Cendana Rumah Sakit Ngudi Waluyo Blitar,poli ini sebagai tempat bagi ODHA dan keluarga ODHA yang ada di Blitar  baik untuk pemeriksaan HIV/AIDS dan konseling untuk keluarga yang anggotanya menjadi penyandang ODHA, Poli VCT ini adalah naungan bagi ODHA yang berada di Blitar  yang membentuk komunitas ODHA dengan nama Cahaya Plus  yang beranggotakan para ODHA dan keluarganya,kerahasian para ODHA sangatlah di rahasiakan  dan hanya orang yang berada di poli VCT ini yang bisa menghubungi atau orang yang di percaya pengurus poli VCT ini yang bisa mengetahui keanggotaan ODHA di Cayaha Plus.

Terapi melalui petugas secara langsung maupun dengan menggunakan rekaman yaitu (Z= - 2.032; p = 0,042; p< 0,05) jadi hipnoterapi ada pengaruh atau dampak yang berkelanjutan pada penurunan tingkat depresi,atau dengan kata lain hipnoterapi memberikan efek yang jangka panjang atau bertahan lama untuk menurunkan tingkat depresi.

Analisis data Kualitatif berda-sarkan pada wawancara, observasi dan hasil monitoring, wawancara dilakukan untuk mengetahui latar belakang masalah yang dihadapi subyek ,riwayat terjadinya HIV/AIDS pada subyek , monitoring dilakukan untuk mengetahui apakah subyek melakukan hipnoterapi sendiri atau tidak yang dilakukan oleh orang terdekat dan untuk mengetahui perubahan perilaku setiap harinya.  Pada tujuan analisis kualitatif adalah untuk mengetahui pengalaman atau perubahan yang dirasakan  subjek sebelum  hipnoterapi dan perubahan setelah hipnoterapi.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil peneltian yang telah dilakukan dapat di tarik kesimpulan bahwa hipnoterapi dapat menurunkan tingkat depresi pada ODHA ini disebabkan karena partisipan terbuka mandiri dorongan untuk sembuh  dan sehat ,namun penurunan tingkat depresi tidak signifikan  ini dikarenakan  adanya stigma masyarakat  yang negative dan pada ODHA rasa takut masyarakat mengetahui kondisi subyek sebagai penyandang ODHA

Maka sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa hipnoterapi dapat menurunkan tingkat depresi pada ODHA baik dilakukan oleh petugas maupun dilakukan sendiri oleh subyek penelitian .penurunan tingkat depresi ini disebabkan oleh adanya keinginan sembuh dan perubahan  pola hidup tiap harinya ,hal ini di dukung uraian data kualitatif yang menunjukkan yang sesuai dengan analisis data kualitatif

Ada beberapa kelemahan penelitian ini yang bisa di jadikan sebagai catatan dalam penggunaaan hipnoterapi pada ODHA antara lain :

  1. Homogenitas partisipan penelitian. Penelitian ini menggunakan partisipan yang memiliki latar belakang yang berbeda ,di antaranya:
    1. Tempat tinggal partisipan penelitian
    2. Penyebab menjadi ODHA
    3. Sosial budaya
    4. Tingkat pendidikan
    5. Sosial ekonomi
    6. Tingkat CD4
    7. Proses hipnoterapi

 

  1. Latar belakang rasa kesenangan yang berbeda  seharusnya akan berpengaruh pada induksi yang dilakukan .namun demikian pada penelitian ini induksi dilakukan dengan cara yang sama tanpa mempertimbangkan rasa kese-nangan ,oleh karena itu sebaiknya hipnoterapi dilakukan secara individu berdasarkan pada karak-teristik rasa kesenangan yang sama

Saran 

  1. Pemerintah yang hanya mempro-mosikan masyarakat peduli pada ODHA dan AIDS “jangan kucilkan ODHA” tapi tidak disosialisasikan di masyarakat , hingga masyarakat masih menganggap HIV/AIDS merupakan penyakit yang mudah menular  kepada setiap orang , stigma masyarakat yang negative dan hukum social yan mengucilkan ODHA  merupakan factor yang di takuti oleh ODHA ,sedangkan kematian bagi sebagian ODHA bukan suatu masalah karena ada sebagian ODHA menganggap sakit HIV/AIDS juga akan mati  ,tidak sakitpun juga akan mati
  2. Pada peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian sejenis ,maka diharapkan untuk memperluas karakteristik partisipan penelitian tidak hanya lima orang  .hal ini yang perlu dipertimbangkan oleh peneliti lain adalah mempertimbangkan pengaruh efektivitas hipnoterapi dari partisipan penelitian
  3. Hasil penelitian yang membuktikan efektivitas penggunaan hipnoterapi pada ODHA bisa di jadikan model alternative untuk mengurangi ting-kat depresi dengan cara hipno-terapi,atau dengan kata lain depresi pada ODHA bisa dilatih untuk menggunakan hipnoterpi untuk merubah pola hidup yang berujung pada tingkat depresi pada ODHA

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, P., J., 1989. Teknik Penyusunan Skala dan Pengukuran. Yogyakarta: PPK Yogyakarta.

Atkinson, S. Atkinson, R.C. Hilgard, E. S. 1991. Pengantar Psikologi I            (Terjemahan Taufik, N dan Burhan, R). Jakarta: Erlangga

Caplin, 1989. Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Rajawali Pers

Davidson, Gerald, 2006. Psikologi Abnormal, edisi kesembilan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Ella titis W 2011 pengaruh terapi kelompok untuk mengurangi depresi pada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga ,tesis (tidak di tebitkan) Surabaya  universitas 17 agustus

Eva Nur Rachmah 2008 efektivitas pemberian hipnoterapi pada perempuan obesitas, tesis, (tidak diterbitkan)Surabaya universitas tujuh belas agustus

Halpin L.2004.” mind over matter” the journal of hypnotism 19(1) 29

Hawari, Dadang. 1997. Al Qur'an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta. Dana Bhakti Prima Vasa.

Kaplan, 1994. Sinopsis Psikiatri. Tangerang: Binarupa Aksara

Kerlinger, Fred N. 1992. Foundatin Behavioral Research, Alih Bahasa, Landung Sima-tupang.Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Kepmenkes no 369/menkes/SK/III/2007

Latipun, 2008. Psikologi Konseling, Edisi Ketiga, Malang: Univer-sitas Muhamadiyah Malang Press

Maramis, W.F, 1994. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan Keenam, Surabaya: Airlangga University Press

Narbuko, Cholid, dan Achmadi, Abu, 2002. MetodePenelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Nasir, 1998. Metode Penelitian, Edisi Ketiga, Jakarta Timur: Ghalia Indonesia

Nurindra, Yan. 2009. Panduan Self Hypnosis: Kiat Praktis Melaku-kan Hypnosis        Ke Diri Sendiri. E-Book

Penynovska ,rumi ,Fisher,jackie ,David, Mathew ,VM (2005) terjemahan ,keberhasilan hypnoterapi sebagai terapi tambahan pada kanker. Eropa journal of clinik hynosis,vol 6(1).2-7

Prihantanto, RM. Suci Riadi. 2009. Lebih Dekat & Sehat Dengan Hypnotherapy.       E-Book

Rice, P.L. 1998. Stress and health. Third Edition. Moorhead State Uni-versity: Brooks/Cole Publishing Company.

Sholikunihayah 2011, Efektifitas medi-tasi dalam penurunan depresi pada korban perdagangan anak (tesis) tidak diterbitkan ,sura-baya  universitas 17 agustus

Semium Yustinus, 2006. Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kanisius

Simarno,Suprapti, 2008. Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta: Uni-versitas       Indonesia (UI-Press)

Suryabrata, S,2000. Metodologi Penelitian.Jakarta: CV. Rajawali

Taylor,D.N (1995) terjemahan .efek dari perilaku program stres –management pada kecemasan ,mood,self esteem dan menghitung T cell pada HIV positif ,vol 76,451-457

Valley ,J 2005 ” counseling &hypnoterapi” the journal of hypnotism ,20(1),23

Widuri, Fausiah, 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakar-ta: Universitas          Indonesia

\Wiramihardja Sutardjo A, 2007, Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT.           Refika Aditama

W, Gunawan Adi, 2007. Hypnotherapy The Art of Subconscious Restructuring. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya