Artikel 4

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 468 kali

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN

DEPRESI POSTPARTUM PADA IBU PASCA SALIN

 

Abdul Muhid, Lailatul M. Hanim

Program Studi Psikologi IAIN Sunan Ampel Surabaya

 

Abstract

 

This research aims to know the relationship between social motivation and maternal postpartum depression. The hypothesis of this research proposed is that there is a significant negative relationship between social motivation and maternal postpartum depression. The subject of this research is maternal postpartum who has the baby of one year old. The research is conducted by taking 105 people as the samples by using social support scale instrument and the scale EDPS (Edinburgh Postpartum Depression Scale). The result of this research shows that there is a significant negative relationship between social support and maternal postpartum depression with a correlation coefficient is -0.394 on the Spearman correlation test and -0.285 in Kendal Tau correlation test with a significance of 0.000. Trough the research, it can be inferred that there is a significant negative relationship between social motivation and postpartum depression of maternal.

 

Key words: social motivation, postpartum depression, postpartum maternal.

 

 


Pendahuluan

Sebagian besar para wanita menganggap bahwa masa-masa setelah melahirkan adalah masa-masa sulit yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan secara emosional. Gangguan-gangguan psikologis yang muncul akan mengurangi kebahagiaan yang dirasakan dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak-ibu dikemudian hari. Hal ini bisa muncul dalam durasi yang sangat singkat atau berupa serangan yang sangat berat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun lamanya (Purwanto, 2007).

Peristiwa kehamilan mempunyai arti emosional yang sangat besar bagi setiap wanita. Kehamilan dan kelahiran akan membawa perubahan yang sangat besar disamping perubahan fisik. Setiap proses biologis dari fungsi keibuan dan reproduksi dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis tertentu sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat interdepedensi antara faktor-faktor somatis dan psikologis. Oleh karena itu, menurut Kartono (1992) seorang ibu dalam menghadapi permasalahan pasca salin tersebut dibutuhkan persiapan psikologis yang matang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masa-masa pasca salin sangat berarti secara psikologis bagi setiap wanita. Kondisi-kondisi psikologis yang kurang menguntungkan dapat berdampak pada memburuknya fungsi-fungsi maternal dari seorang ibu.

Sichel & Driscoll (dalam Beck, 2005) menyatakan bahwa dalam kehidupan wanita, periode postpartum merupakan periode yang beresiko tinggi bagi munculnya sebuah gangguan mood. Depresi postpartum benar-benar merupakan problem sistemik yang mempengaruhi fungsi keibuan dan kesejahteraan ibu. Depresi postpartum dapat mempengaruhi kapasitas pengasuhan ibu di mana dapat menurunkan kompetensi peran keibuan yang kemungkinan besar dapat memperburuk depresinya (Perfetti, et.al., 2004).

Penelitian yang dilakukan Grossman, Eichler & Winickoff (dalam Arifin, dkk., 2005) menemukan bahwa tingkat depresi pada masa dua bulan pasca salin lebih tinggi pada masa hamil. Beberapa perubahan fisik dan emosi dapat terjadi pada wanita hamil dan ibu yang baru melahirkan (Dalgleish, 2004). Pitt (dalam Regina, dkk., 2001) menyatakan bahwa tingkat keparahan depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami “kesedihan sementara” yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau  maternity blues. Gangguan ini dialami oleh hampir 50% orang yang melahirkan. Sebenarnya menangis adalah hal umum dan sering terjadi dalam periode postpartum, tetapi karena pengaruh dysphoric dan membingungkan, maka keadaan menangis dalam periode ini diklasifikasikan sebagai suatu penyimpangan. Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum atau melankolia.

Pitt (dalam Regina, dkk., 2001) menyatakan tingkat kejadian psikosis postpartum tidak lebih dari 1 dalam setiap 200 kelahiran. Penelitian Pitt (dalam Regina, dkk., 2001) menunjukkan tingkat kejadian psikosis postpartum turun menjadi 1 dalam 500 kelahiran. Penurunan tersebut disebabkan adanya cara-cara pengobatan dan perhatian yang lebih baik pada psikiatri masyarakat.

Di antara dua keadaan ekstrim tersebut terdapat keadaan yang relatif memiliki tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau depresi  postpartum. tingkat kejadian depresi postpartum lebih jarang dibanding penderita blues, tapi lebih sering daripada psikosis postpartum pada beberapa hari atau bulan berikutnya. Pada penelitian awal tahun 1968, Pitt (dalam Regina, dkk., 2001) menemukan 70% subyek penelitian yang menderita depresi postpartum sebelumnya menderita blues.

Schuster dan Asburn mengutip teori Brazelton (dalam Regina, dkk., 2001), bahwa ibu-ibu mengalami suatu konflik antara image ibu ideal dengan kenyataan kemampuan diri. Ibu merasa gagal mewujudkan impian sebagai seorang ibu. Setelah perasaan senang karena melahirkan, ibu mendapatkan dirinya merasa bosan, capek dan tidak bergairah. Seorang ibu mengharapkan mempunyai cinta ketika mengawasi bayinya, namun ibu merasa heran menemukan kenyataan bahwa pengalaman  melahirkan tidak secara langsung memberi pengetahuan dan rasa sayang sebagai seorang ibu. Ternyata di luar kandungan (setelah melahirkan) lebih sulit daripada waktu masih dalam kandungan. Di samping itu, ibu mungkin mengalami sindrom kehilangan  waktu tidur. Setelah bayi lahir, perasaan senang dan keinginan untuk meresapi pengalaman serta perhatian berlebih terhadap bayi mencegah ibu untuk dapat tidur dapat tidur dengan baik.

Borrill (dalam Leitch, 2002) menyatakan bahwa persalinan tidak hanya mempengaruhi wanita secara fisik. Secara psikologis, persalinan menimbulkan banyak perubahan dalam peran sebagai wanita dan ibu. Depresi dapat terjadi pada beberapa wanita yang bermasalah dalam proses adaptasi dengan perubahan ini. Wanita harus menjalani masa transisi dari kehidupan tanpa anak menjadi kehidupan yang bertanggung jawab, kurang bebas, dan kelekatan emosional yang lebih besar. Borrill (dalam Leitch, 2002) menambahkan bahwa faktor dukungan sosial dapat juga memiliki implikasi terhadap depresi. Hasil dari sejumlah studi menyatakan bahwa kurangnya dukungan dari suami, keluarga dan orang lain berhubungan erat dengan depresi postpartum (Hagen, 1996). O’Hara dan Swains (2001) menyatakan bahwa beberapa prediktor dari depresi postpartum adalah riwayat psikopatologi yang lalu, gangguan psikiatri selama kehamilan, dan dinamika hubungan perkawinan, rendahnya dukungan sosial, dan tingkat stress dalam kehidupan keseharian. Dukungan sosial ini termasuk dukungan emosional dan kepuasan yang dirasakan dalam hubungannya dengan suami mereka (Perfetti, 2004).

Meninjau dari hasil penetelitian yang dilakukan oleh Beck (2001) mengenai prediktor-prediktor yang turut memicu depresi postpartum, dukungan sosial diketahui cukup memberikan kontribusi terhadap munculnya depresi postpartum, dengan r = -0,48 yang berarti terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dengan depresi postpartuum atau dengan kata lain tingginya dukungan sosial dapat meminimalkan kecenderungan depresi postpartum. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Leitch (2002) yang menyatakan bahwa tingginya dukungan sosial yang diterima oleh seorang ibu dapat meminimalkan kemungkinan mengalami depresi postpartum. Ryan (2005) menambahkan bahwa buruknya dukungan social menjadi factor yang menjadikan depresi postpartum berkembang.

Martina Corry (2008) menyatakan bahwa ibu yang lebih beresiko terhadap depresi postpartum adalah ibu yang memiliki kualitas hubungan yang buruk dengan pasangannya. Dengan memburuknya hubungan ini, berarti ibu kurang mendapatkan dukungan baik itu dukungan emosional, dukungan praktis atau ketidakharmonisan dengan pasangannya. Kurangnya dukungan ini menyebabkan ibu mengalami kesedihan yang mendalam.

Sementara itu, Perfetti et.al. (2004) menyatakan bahwa banyaknya dukungan sosial juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap depresi postpartum. Selain itu dalam tulisannya, Kruckman (dalam Perfetti et.al., 2004) juga menyatakan bahwa dukungan sosial termasuk banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan dan pascasalin dapat meringankan beban ibu sehingga dapat meminimalkan peluang munculnya gangguan depresi postpartum.

Mengingat bahwa dukungan sosial berasal dari orang-orang di sekitar termasuk suami, teman dan orang lain yang berarti bagi ibu dan dukungan sosial juga memuat aspek-aspek seperti dukungan emosional dan dukungan instrumental, maka perlu dideskripsikan berbagai hasil penelitian terdahulu yang mengkorelasikan antara dukungan sosial dengan depresi postpartum antara lain sebagaimana yang dilakukan oleh Affonso dan Arizmendi (1986); Campbell et.al. (1992) menemukan bahwa ada hubungan negative antara dukungan emosi dengan depresi postpartum (p < 0,01). O’Hara (1983) meneliti hubungan antara kurangnya dukungan emosional dari teman (p = 0,02), dari ibu ( p = 0,04), rendahnya dukungan emosi (p = 0,03) dan dukungan emosi yang inadekuat (p < 0,01) dengan depresi postpartum. Richman et.al. (1991) meneliti hubungan antara kurangnya dukungan emosional (p < 0,01), rendahnya keintiman (p < 0,01) dan kurangnya kenyamanan (p < 0,01) dengan depresi postpartum. Campbell et.al. (1992) yang menghubungkan antara kurangnya bantuan dari suami pada dua bulan pasca salin dengan depresi postpartum (p < 0,01). Collins et.al. (1993) meneliti hubungan antara rendahnya dukungan material yang diterima ibu (p < 0,05), kurangnya kepuasan dari dukungan amaterial (p<.05) dengan depresi postpartum. O’Hara (1983) meneliti tentang hubungan antara kurangnya dukungan instrumental dengan depresi postpartum (p = 0,002). kemudian pada 1986 kembali melakukan penelitian yang sama dengan p<.05. Paykel et.al. (1980) menghubungkan antara kurangnya bantuan dari suami dengan depresi postpartum (p < 0,01). Richman et.al. (1991) menghubungkan antara kurangnya dukungan praktis dengan depresi postpartum (p < 0,01). Richman et.al. (1991) meneliti hubungan antara rendahnya dukungan pasangan dengan depresi postpartum (p < 0,001). Spangenberg & Pieters (1991) menghubungkan antara ketidakpuasan dari dukungan dalam perkawinan dengan depresi postpartm (p < 0,001). Cutrona dan Troutman (1986) meneliti hubungan antara rendahnya dukungan sosial dengan depresi postpartum (p < 0,05). Kumar dan Robson (1984) meneliti problem dengan orang tua ibu dalam hubungannya dengan munculnya depresi postpartum (p < 0,01). O’Hara (1983) meneliti hubungan antara kurangnya orang yang dapat dipercaya dengan depresi postpartum p = 0,014. Richman et.al (1991) meneliti hubungan antara kurangnya dukungan ayah (p < 0,01), dukungan orang tua ibu (p < 0,01) dan dukungan orang lain (p < 0,05) dengan depresi postpartum. Spangenberg dan Pieters (1991) meneliti hubungan antara ketidakpuasan dari dukungan sosial dengan depresi postpartum (p < 0,01).

Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas dapat diketahui adanya hubungan antara dukungan sosial dengan depresi postpartum dengan rata-rata memperoleh taraf signifikansi kurang dari 0,05.Dukungan sosial di sini terinci dalam berbagai bentuknya seperti dukungan emosional, dukungan instrumental yang didapatkan dari suami, keluarga, ayah, ibu, teman, dan orang lain yang berarti bagi ibu. Dengan demikian, berdasarkan deskripsi tersebut di atas maka penelitian ini ingin menguji hipotesis yang berbunyi ada hubungan negatif antaradukungan sosial dengan kecenderungan depresi postpartum pada ibu pasca salin.

 

Metode Penelitian

 Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan jenis penelitian yang digunakan adalah korelasional yaitu bertujuan untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi- variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas (X) adalah variabel dukungan sosial dan variabel terikat (Y) adalah variabel depresi postpartum. Adapun definisi operasional dari variabel dukungan sosial adalah tingkat transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan kepada individu lain berupa dukungan emosional, dukungan penilaian, dukungan informasi, dan dukungan instrumental yang diberikan oleh anggota keluarga, rekan kerja, dan individu-individu lain yang memiliki arti bagi individu yang bersangkutan. Sedangkan variabel depresi postpartum adalah merupakan bentuk depresi yang terjadi pada masa pasca salin dengan gejala-gejala seperti perasaan sedih yang mendalam, mudah menangis, insomnia, tidak memiliki harapan di masa depan, perasaan bersalah pada hal yang kurang perlu, kecemasan atau kekhawatiran tanpa alasan yang jelas, kepanikan dan ketakutan obsesional dan pikiran untuk melukai diri sendiri  yang gejala tersebut dapat mengganggu kebahagiaan  ibu dan hubungan emosional ibu-anak.

Dalam penelitian ini sebagai subyek penelitian adalah ibu-ibu yang habis melahirkan sampai pada usia bayi 12 bulan. Dengan demikian maka penelitian ini menggunakan sampel purposive. Karena tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan depresi postpartum, maka subyek penelitian hanya diambil dari ibu-ibu yang dimungkinkan mengalami gejala depresi postpartum (yaitu ibu yang habis melahirkan sampai bayi usia 12 bulan).

Proses pengambilan subyek diawali dengan menyebarkan instrumen penelitian secara sukarela kepada 150 ibu-ibu yang habis melahirkan. Setelah instrumen terkumpul kembali selanjutnya dilakukan pemilahan subyek yang memenuhi kriteria yang dimaksud yaitu hanya ibu-ibu yang habis melahirkan sampai bayi berusia 12 bulan saja yang dijadikan sebagai subyek penelitian. Hasilnya terdapat 105 subyek penelitian.

Adapun deskripsi subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 1 berikut berdasarkan kriteria usia, status paritas, tingkat pendidikan, status kerja, dan proses salin.


 

Tabel 1

Proporsi Subyek Berdasarkan Kriteria

 

Kriteria

Proporsi

Total

Jumlah

%

Jumlah

%

Status kerja Ibu:

  1. IRT
  2. Kerja

 

71

34

 

67,6

32,4

105

100%

Pendidikan

  1. SD
  2. SMP
  3. SMA
  4. Sarjana

 

10

25

58

12

 

9,5

23,8

55,2

11,5

105

100%

Proses salin

  1. Normal
  2. Caesar

 

81

24

 

77,1

22,9

105

100%

Status paritas

  1. Primipara
  2. Multipara

 

40

65

 

38,1

61,9

105

100%

Usia ibu

  1. > 30 tahun
  2. < 30 tahun

 

28

77

 

26,7

73,3

105

100%

N = 105

 

Tabel 2

Statistik Deskriptif Tingkatan Dukungan Sosial dan

 Depresi Postpartum

 

Variabel

Tingkat

Total

T

%

C

%

R

%

N

%

Dukungan sosial

13

12,4

79

75,2

13

12,4

105

100

Depresi postpartum

20

19,0

66

62,9

19

18,1

105

100

N = 105

 

 

 

Untuk mengukur variabel depresi postpartum digunakan skala EDPS (Edinburgh Depression Postnatal Scale). Skala EDPS (Edinburgh Depression Postnatal Scale) diadaptasi dari Edinburgh Postnatal Depression Scale (EDPS) yang disesuaikan dengan kondisi subyek penelitian lebih lanjut skala EDPS. Pengukuran dengan menggunakan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EDPS) merupakan cara yang valuabel dan efisien dalam mengidentifikasi depresi pascasalin. EPDS mudah dalam penggunaannya dan terbukti sebagai sebuah alat screening  yang efektif. Selain itu instrumen ini juga mudah dalam peng-administrasi-annya. Skala EPDS mengindikasikan bagaimana yang dirasakan oleh ibu selama seminggu yang lalu. Ibu yang mendapatkan skor diatas 13 dapat diketahui sedang mengalami depresi pada tingkat yang berat. Pada kasus-kasus yang dianggap meragukan pemeriksaan dapat diulangi lagi setelah dua minggu. Skala ini tidak untuk mendeteksi neurosa kecemasan, fobia atau gangguan kepribadian. Sedangkan untuk mengukur variabel dukungan sosial dalam penelitian ini digunakan skala dukungan sosial (SDS) yang berjumlah 32 item yang terdiri dari 16 item pernyataan favorable dan 16 item pernyataan unfavorable.

Analisa data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan statistik non parametrik (karena distribusi data tidak normal) dengan teknik uji korelasi Spearman dan Kendal Tau. Uji korelasi Spearman dan Kendal Tau digunakan untuk uji korelasi yang datanya ordinal dan tidak harus membentuk distribusi normal (bebas distribusi). Seluruh proses perhitungan untuk uji korelasi ini menggunakan bantuan komputer program SPSS for Windows versi 11,5.

 

Hasil Penelitian

Di lihat dari proporsi subyek berdasarkan tingkat dukungan sosial dan depresi postpartum, maka hasil penelitian menunjukkan sebagaimanadapat tergambarkan dalam tabel 2.

Pada tingkat dukungan sosial, didapatkan 13 orang (12,4%) yang mendapatkan skor tinggi, 79 subyek (75,2%) mendapatkan skor cukup dan 13 subyek (12,4%) mendapatkan skor rendah. Untuk tingkat depresi pospartum, diperoleh 20 orang (19,0%) yang mendapatkan skor tinggi, 66 orang (62,9%) mendapatkan skor cukup dan 19 orang (18,1%) mendapatkan skor rendah.

Pada uji korelasi Kendal Tau didapatkan harga koefisien korelasi sebesar  -0,285 dengan signifikansi sebesar 0,000. Berdasarkan data tersebut maka dapat dilakukan pengujian hipotesis dengan membandingkan taraf signifikansi (p-value) dengan galatnya (dengan menggunakan taraf kepercayaan 5%). Berdasarkan kaidah bahwa jika signifikansi < 0,05, maka Ho ditolak sehingga dapat diinterpretasikan bahwa koefisien korelasi -0,285 dengan signifikansi 0.000, karena signifikansi < 0,05, maka Ho ditolak berarti Ha diterima. Artinya ada hubungan negative yang signifikan antara dukungan sosial dengan depresi  postpartum.

Pada uji signifikansi koefisien korelasi didapatkan Z hitung sebesar 4,308 dan dibandingkan dengan Z tabel yang besarnya 1,96. berdasarkan kaidah bahwa jika Z hitung lebih besar dari Z tabel berarti harga koefisien korelasi signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi adalah signifikan.  Berdasarkan uji Z  maka hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan pada subyek-subyek yang lain sebagaimana ciri-ciri subyek penelitian.

Tanda negatif pada setiap koefisien korelasi ini menunjukkan adanya hubungan negatif antar variabel. Hal ini berarti hubungan antara dukungan sosial dengan depresi postpartum adalah berlawanan, artinya hubungan antara kedua variabel adalah berbanding terbalik, semakin tinggi dukungan sosial diikuti dengan semakin rendah depresi postpartum dan begitu juga sebaliknya.

 

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara dukungan sosial dengan depresi postpartum sebagaimana hasil uji korelasi yang menunjukkan angka -0,285 berdasarkan hasil analisis uji korelasi Kendal Tau dan -0,394 pada uji korelasi Spearman. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial maka semakin rendah pula depresi postpartumnya, begitu pula sebaliknya. Hal ini seperti yang ditunjukkan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Beck (2001) mengenai prediktor-prediktor yang turut memicu depresi postpartum, dukungan sosial diketahui cukup memberikan kontribusi terhadap munculnya depresi postpartum, dengan r= -0,48 yang berarti terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dengan depresi postpartuum atau dengan kata lain tingginya dukungan sosial dapat meminimalkan kecenderungan depresi postpartum. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Leitch (2002) yang menyatakan bahwa tingginya dukungan sosial yang diterima oleh seorang ibu dapat meminimalkan kemungkinan mengalami depresi postpartum. Ryan dan Kostaras (2005) juga  menambahkan bahwa buruknya dukungan sosial menjadi faktor yang menjadikan depresi postpartum berkembang.

Martina Corry (2008) menyatakan bahwa ibu yang lebih beresiko terhadap depresi postpartum adalah ibu yang memiliki kualitas hubungan yang buruk dengan pasangannya. Dengan memburuknya hubungan ini, berarti ibu kurang mendapatkan dukungan baik itu dukungan emosional, dukungan praktis atau ketidak harmonisan dengan pasangannya. Kurangnya dukungan ini menyebabkan ibu mengalami kesedihan yang mendalam.

Sementara itu Perfetti at.al. (2004) menyatakan bahwa banyaknya dukungan sosial juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap depresi postpartum. Selain itu dalam tulisannya, Kruckman (dalam Perfetti et.al., 2004) juga menyatakan bahwa dukungan sosial termasuk banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan, dan pascasalin dapat meringankan beban ibu sehingga dapat meminimalkan peluang munculnya gangguan depresi postpartum.

Nilai kelahiran seorang bayi dan eksistensi anak itu memberi arti dan makna yang sangat besar bagi kehidupan seorang ibu, juga seorang ayah. Penelitian longitudinal Geissler (dalam Regina dkk., 2001) menunjukkan bahwa ada ketidakstabilan sikap ibu terhadap anak pada saat dalam kandungan, yaitu sikap terhadap anak pada saat dalam kandungan, yaitu dari sikap ke negatif, atau dari sikap negatif ke sikap positif.

Saat melahirkan tidak hanya tergantung pada kondisi fisik tapi juga kondisi psikologis ibu seperti yang dikemukakan oleh Kartono (1992) bahwa proses kelahiran bukan hanya proses murni fisiologis biasa, akan tetapi banyak pula diwarnai komponen-komponen psikologis.

Dengan banyaknya variabel fisik dan psikologis yang menyertai persalinan ibu, maka mutlak diperlukan sebuah bantuan, dukungan yang setidaknya bisa meringankan beban yang dirasakan oleh ibu. Segala bentuk bantuan dan dukungan yang diterima ibu pada masa pasca salin dapat diperoleh dari berbagai pihak, misalnya keluarga, terutama suami, sahabat, rekan kerja dan orang lain yang memiliki arti tersendiri dalam kehidupan ibu.

Paykel (dalam Ryan & Kostaras, 2005) menemukan secara signifikan bahwa sedikitnya dukungan suami dan kurangnya komunikasi dengan suami dapat menimbulkan depresi. Hal ini jelas dapat dipahami bahwa suami merupakan significant other bagi ibu apalagi  pada saat-saat penting seperti persalinan. Disini peran suami sangat diperlukan baik itu peran  yang bersifat fisik maupun berupa dukungan psikologis yang dapat diberikan untuk isterinya   

Berdasarkan hasil penelitian dan ditunjang dengan teori-teori yang ada dihasilkan hubungan negatif yang signifikan antara dukungan asosial dengan depresi postpartum. Hal ini menunjukkan memang ada keterkaitan antara dukungan sosial dengan depresi  postpartum. Adanya hubungan yang negatif di antara variabel tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh ibu yang habis melahirkan maka semakin rendah kemungkinan dialaminya depresi postpartum.

Disamping hasil penelitian tersebut di atas, perlu dijelaskan bahwa kecenderungan depresi postpartum banyak di pengaruhi oleh berbagai faktor sebagaimana dikatakan oleh Krukcman (dalam Yanita & Zamralita, 2001) bahwa terjadinya depresi pasca salin dipengaruhi oleh faktor biologis, karakteristik ibu, pengalaman persalinan, latarbelakang pendidikan, saat proses/jenis persalinan, dan dukungan sosial.

Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar hormon seperti estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam masa nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau terlalu lambat. Sebagian masyarakat percaya bahwa usia  wanita untuk melahirkan  pada usia antara 20-30 tahun, hal ini mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. Depresi postpartum  lebih banyak dialami oleh ibu primipara, yaitu ibu yang pertama kali mengalami persalinan. Ibu yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau beraktivitas di luar rumah dengan peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anak-anak mereka (Kartono, 1992). Faktor selama proses persalinan, hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan, maka akan semakin besar pula trauma fisik yang  ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis  yang muncul.

Berdasarkan dari hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dengan depresi postpartum. Penelitian ini juga mendukung hasil-hasil penelitian terdahulu dan  menguatkan proposisi bahwa depresi  postpartum dapat diprediksi melalui faktor dukungan sosial yang diterima oleh ibu.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arifin, N. V., & Wirawan, H. E. (2005). Coping terhadap Postpartum Blues Pascasalin Pertama. Arkhe Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 10, No. 2.89-105.

Beck, C. T. (2005). Predictor of Postpartum Depression: An Update. Nursing Research, Vol. 50, No. 5.275-285.

Boyd, K. (2006). Postpartum Counseling: A Quick Reference Guide for Clinicians. Washington: Association of Reproductive Health Professionals (ARHP).

Corry, M. (2008). Postnatal Depression; A Guide For Mothers And Families. diakses tanggal 25 Maret 2009 dari http://www.aware.ie.html.

Cox, J. L., Holden, J. M, & Sagovsky, R. (1987). Detection of Postnatal Depression: Development of the 10-item Edinburgh Postnatal Depression Scale. Brtitish Journal of Psychiatry, 150: 782-786.

Dalgleish, D. (2004). Ontario Early Years Center Niagara Falls: Best Start In Service on Postpartum Depression. The Prenatal Journal, Vol. 7, 4. 210-223.

Dennis, C. L., & Ross, L. E. (2006). Depressive Symptomatology in the Immediate Postnatal Period: Identifying Maternal Characteristics Related to True- and False-Positive Screening Scores. The Canadian Journal of Psychiatry, Vol 51 No. 5. 169-182.

Hagen,H. E. (2006). The Function of Postpartun Depression, Paper dipresentasikan pada Human Behavior and Evolution Society Annual Meeting, Northwstern University, 7 Juni, 1996.

Hagen,H. E. (2007). Depression. U.S.: Department of Health & Human Services. National Institutes of Health (NIH) Publication.

Herrick, H. W. B. (2000). The Effect of Stressful Life Events on Postpartum depression Results from the 1997-1998. North Carolina: Pregnancy Risk Assessment Monitoring System (PRAMS) No 121. SCHS Studies.

Kartono, K. (1992). Psikolgi Wanita: Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek. Jilid. 2. Bandung: Mandar Maju.

Leitch, S. (2002). Postpartum Depression: A Review of the Literature. Ontario: Elgin-St. Thomas Health Unit.

Perfetti, J. et.al. (2004). Postpartum Depression: Identification, Screnning, and Treatment. Wisconsin Medical Journal, Vol. 103, No. 6. 56-63.

Purwanto, S. (2007). Depresi Postpartum, Artikel Psikologi Klinis. Surakarta: Universitas Muhammadayah Surakarta.

Regina, J., Pudjibudojo, K., & Malinton, P. K. (2001). Hubungan Antara Depresi Postpartum Dengan Kepuasan Seksual Pada Ibu Primipara. Anima. Vol. 16. No. 3. 300-314.

Ryan, D., & Kostaras, X. Psychiatric Disorder in the Postpartum Period.  BC Medical Journal, Vol. 47, No. 2.100-103.

Ryan, R. M., La Guardia, J. G., Butzel, J. S., Chirkov, V. & Kim, Y. (2005). On the Interpersonal Regulation of Emotion: Emotional Reliance Across Gender, Relationship, and Cultures. Personal Relationship. Vol. 12. No. 5. 417-428.

Yanita, A. & Zamralita. (2001). Persepsi Perempuan Primipara tentang Dukungan Suami dalam Usaha Menanggulangi Gejala Depresi Pasca Salin. Pronesis, Vol. 3. No. 5, (2001). 34-50.

 

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya