Artikel 4

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 182 kali

PENGARUH DONGENG

TERHADAP KEMAMPUAN EMPATI ANAK

 

Dwi Sarwindah, Chomsiyah

Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

Abstrak

 

Dalam sebuah dongeng anak akan belajar untuk mengenal nilai-nilai, etika, aturan main dalam berkehidupan berbudaya. Selain itu anak juga dilatih untuk mulai mengenal emosi dalam diri, baik itu emosi negatif ; marah, kecewa, geram, maupun emosi positif ; senang dan empati. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh dongeng terhadap kemampuan berempati pada anak. Populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas B TK. ADINDA, Sidosermo, Surabaya yang berjumlah 40 siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Random Sampling, sedangkan penentuan subyek sebagai anggota kelompok eksperimen atau kelompok kontrol dilakukan secara Random Assignment. Subyek penelitian dipilih berdasarkan tujuan penelitian yang mengutamakan batasan umur 2-6 tahun, dimana terdapat 10 subjek kelompok kontrol dan 10 subjek kelompok eksperimen. Hasil uji untuk kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol diperoleh nilai F = -0,578 dengan p = 0,576 (p>0,05) yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan dengan kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakuan.Hasil uji antara skor pre test dan post test pada seluruh Subyek (N = 20) diperoleh nilai F = -0,497 dengan p = 0,630 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor pre test dan post test pada keseluruhan Subyek penelitian baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.

 

Kata Kunci: Empati,Dongeng

 

 


Pendahuluan

Kecerdasan emosi akan menunjuk kepada suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri, dan menata dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain, sehingga tidak salah jika para ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ) itu hanya mempunyai peranan 20% dalam kejayaan hidup manusia, sedangkan selebihnya yaitu 80% akan ditentukan oleh faktor-faktor lain, termasuk di dalamnya faktor yang terpenting adalah kecerdasan emosi (EI).

Salah satu unsur pokok kecerdasan emosional adalah kecakapan sosial (social competence) yang didalamnya termasuk kemampuan empati (empathy), yaitu merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang (http://www.kemaman bloggers.com)

Sejak bayi ternyata manusia sudah mengembangkan empati secara naluriah, setidaknya itu menurut Shapiro (1997). Awalnya empati yang dimiliki sangat sederhana, yakni empati emosi. Misalnya pada usia 0-1 tahun, bayi bisa menangis hanya karena mendengar bayi lain menangis. Barulah di usia 1-2 tahun, anak menyadari kalau kesusahan temannya bukanlah kesusahan yang mesti ditanggung sendiri. Rasa ini akan semakin tajam jika semakin diasah.

Menurut Karsono (dalam Tri, 2005), salah satu perilaku yang harus dikembangkan pada anak-anak adalah sikap empati. Hal ini terkait dengan tugas perkembangan pada masa kanak-kanak yang mengidentifikasi bahwa manusia ini merupakan masa dimana intelektual anak mengalami perkembangan yang sangat besar, pandangan anak-anak terhadap bentuk-bentuk yang mengarah pada masalah kehidupan sekarang dan merupakan masa anak-anak untuk mulai masuk ke masyarakat. 

Pengembangan empati menjadi amat relevan guna membangun aspek-aspek manusiawi individu. Empati membantu anak mengetahui dan memahami emosi orang lain dan berbagi perasaan dengan orang lain, dengan empati anak dituntut untuk mengubah pola pikir yang rigid menjadi fleksibel, pola pikir yang egois menjadi toleran. Anak menjadi mengerti bahwa tidak semua keinginannya terhadap orang lain dapat terpenuhi, selain itu anak juga memiliki inisiatif membantu orang lain yang berada dalam kesulitan (http://asmakmalaikat.com)

Riset menunjukkan bahwa empati menjadi sumber berbagai sikap dan tingkah laku mulia. Sebaliknya lemahnya empati menyebabkan berbagai efek buruk pada sikap dan tingkah laku. Empati adalah awal sikap untuk membantu. Keberadaaan empati diasosiasikan dengan perbuatan pro-sosial, sebaliknya ketiadaan empati menampak pada perbuatan anti-sosial.

Akhir-akhir ini tingkat empati pada anak-anak cederung mengalami penurunan. Kebanyakan anak-anak cenderung tumbuh menjadi individu yang egois dan kurang peka dengan keadaan sekeliling. Ini lebih dikarenakan orang tua yang sibuk dan membiarkan anak-anaknya bermain sendiri dengan Video Game, Playstation, VCD, acara Televisi dan kegiatan lain yang tidak melibatkan orang tua ataupun orang luar. http://asmakmalaikat.com

Sutarto dosen Fakultas Sastra Universitas Jember, pada acara Seminar Nasional Dongeng yang diadakan oleh YIM (Yayasan Indonesia Membaca) menyatakan bahwa, kemajuan teknologi ternyata membentuk mental ekstasi dalam diri anak-anak. “ Mental ekstasi tersebut rupanya membentuk kepribadian terbalik pada diri anak-anak.” Maksudnya adalah saat ini anak-anak seolah bangga jika melakukan perbuatan keliru. ''Mereka seolah tidak merasa berdosa jika melakukan kesalahan,'' tambahnya. Hal ini menurutnya disebabkan adanya berbagai tokoh dalam cerita-cerita luar negeri yang menampilkan sosok penjahat yang memiliki kekuasaan yang sering disaksikan anak melalui Televisi, Video Game, Play Station dan media elektronika lainnya tanpa didampingi dan arahan orang tua,  sehingga dimungkinkan anak akan melakukan imitasi terhadap perilaku tokoh jahat dalam cerita tersebut.

Sebenarnya ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan sikap empati pada anak, salah satunya melalui cerita atau mendongeng seperti yang dilakukan orang tua pada jaman dahulu. Jalaludin Rahmat dalam Republika On line (2004) menyatakan bahwa, ada empat prinsip mengasah empati melalui cerita yang dapat dilakukan. Pertama, melalui contoh atau keteladanan, kedua melalui contoh atau disiplin positif, ketiga melalui penghayatan bermain peran, dan keempat melalui konsistensi dan komitmen orang tua (http://www.republika.co.id)

Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia (2008), menyatakan dongeng sebagai suatu kisah yang di angkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral, yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan mahluk lainnya. Terkadang kisah dongeng bisa membawa pendengarnya terhanyut kedalam dunia fantasi, tergantung cara penyampaian dongeng tersebut dan pesan moral yang disampaikan.(http://id.wikipedia.org)

Peran dongeng dalam masyarakat modern tidak lagi sepenting seperti dalam masyarakat pra-modern. Dongeng, dalam masyarakat modern mungkin dipandang hanya sebagai "hiburan" yang sifatnya kurang serius, kurang penting, sekurang-kurangnya jika dibandingkan dengan sain atau teknologi, tetapi dalam kenyataannya, manusia modern tetap membutuhkan dongeng. Orang tua sekarang lebih memilih media elektronika yang menyampaikan dongeng dibandingkan menyampaikan sendiri dongeng itu untuk anak-anaknya. Padahal, kebanyakan dongeng yang ada sekarang ini adalah dongeng yang telah banyak dimodifikasi dan kadang alur ceritanya sudah banyak mengalami perubahan, sehingga untuk menyampaikan nilai-nilai yang ada didalamnya perlu penjelasan dari orang tua. (http://islamlib.com).

Orang tua yang membiasakan membacakan dongeng pada anak-anak dari kecil tentu akan membantu mengasah kemampuan empatinya. Melalui kisah dongeng anak-anak diajak membayangkan tokoh-tokohnya dan merasakan empati dimana anak-anak diarahkan pada posisi orang lain untuk menghayati kebahagiaan, keberuntungan, juga kesedihan atau kemalangan. Diharapkan ketika anak dihadapkan langsung pada kehidupan sehari-hari anak akan menerapkannya, sebagai contoh memberikan uang pada pengemis atau pengamen adalah salah satu cara anak bisa berempati pada orang lain yang kurang beruntung.

Pada akhirnya, dongeng adalah sesuatu yang "indespensable", tidak dapat diabaikan. Dongeng menjadi penting diberikan pada anak-anak karena dongeng memberikan suatu "prototipe" tentang dunia ideal yang diangankan oleh manusia. Manusia selalu hidup dalam tegangan antara dunia rill dan dunia yang seharusnya, antara ide dan kenyataan. Dunia riil, biasanya, tidak seindah dunia "seharusnya". Dongeng memberikan contoh bagaimana dua dunia itu harus dikelola dalam konteks naratif yang seolah-olah nyata.

Sebuah dongeng, bagaimana pun juga tetap penting untuk diberikan mengisi perjalanan hidup seorang anak, karena di dalam sebuah dongeng anak akan belajar untuk mengenal nilai-nilai, etika, aturan main dalam berkehidupan berbudaya. Dalam dongeng anak juga dilatih untuk mulai mengenal emosi dalam diri, baik itu emosi negatif ; marah, kecewa, geram, maupun emosi positif ; senang, empati, dan sebagainya.

Dengan demikian diharapkan membacakan dongeng pada anak-anak sejak dini akan dapat mengasah kemampuan empatinya, karena dengan bertambahnya usia anak akan dihadapkan pada berbagai macam pilihan yang tidak hanya menuntut penyelesaian secara matematis yang berhubungan dengan kemampuan intelektualnya akan tetapi anak juga dituntut mampu berperan dalam masyarakat sebagaimana mestinya. Anak dengan kemampuan empati yang terasah tidak akan bertindak agresif dan tergiring dalam posisi orang lain untuk menghayati kebahagiaan, keberuntungan, juga kesedihan dan kemalangan yang pada akhirnya anak senang membantu orang lain.

 

 

 

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini variabel bebas (X) adalah dongeng dan variabel tergantung (Y) adalah kemampuan empati anak.

Dalam penelitian ini dongeng adalah cerita yang berisi kisah tentang empati. Untuk menghindari “bias” dalam jalannya eksperimen maka dongeng disampaikan secara lisan oleh pihak lain, dongeng yang disampaikan sebanyak 4 dongeng, dan setiap dongeng diberikan 2 kali dalam seminggu.

Kemampuan empati anak yang dimaksudkan disini adalah suatu kemampuan yang dimiliki seorang anak untuk menempatkan diri dalam perasaan atau pikiran orang lain tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan atau pikiran orang tersebut. Penilaian empati akan diukur melalui dua kriteria yaitu gambar dan cerita.

  1. Dasar penilaian kriteria cerita

1)      Ketepatan

Apabila subjek dapat menjawab sesuai dengan apa yang diinginkan peneliti dalam pengungkapan empati, maka akan diberi skor 2, apabila  subyek tidak sesuai maka diberi skor 0.

2)      Penyesuaian alasan dengan reaksi empati

Jika alasan yang diberikan subyek tepat, maka peneliti memberi skor 2, dan jika salah diberi skor 0.

3)      Kedalaman

Apabila subyek sudah mampu menjawab secara lengkap dan dapat bercerita lebih banyak mengenai pernyataan yang diberikan maka diskor 2. jika tidak mencapai kedalaman akan diberi skor 0.

Jika untuk kriteria cerita, nilai minimal adalah 0 dan nilai maksimal adalah 6 untuk tiap satu cerita. Nilai jawaban cerita keseluruhan adalah jumlah adalah jumlah dari nilai cerita keseluruhan

  1. Dasar penilaian kriteria gambar

Penilaian kriteria gambar didasarkan pada pendapat Hoffman (dalam Tri, 2005), yaitu:

1)      Ketepatan

Jika subyek tepat membuat jawaban berdasarkan cerita pada gambar sesuai dengan keinginan peneliti maka di skor 2, jika salah di skor 0.

2)      Taraf dapat merasakan

Jika individu bisa menceritakan kembali gambar secara tepat dengan skor 2. Apabila individu tidak dapat mencapai taraf ini akan diberi skor 0.

3)      Taraf tindakan

Merupakan tingkat empati yang paling tinggi sehingga peneliti memberi skor 3. Jika individu dalam memberi jawaban tidak sampai pada taraf ini maka akan di skor 0.

Jadi, nilai minimal adalah 0 dan nilai maksimal adalah 7 untuk tiap satu gambar.

Populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas B TK. ADINDA, Sidosermo, Surabaya yang berjumlah 40 siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Random Sampling, sedangkan penentuan subyek sebagai anggota kelompok eksperimen atau kelompok kontrol dilakukan secara Random Assignment. Subyek penelitian dipilih berdasarkan tujuan penelitian yang mengutamakan batasan umur 2-6 tahun, dimana terdapat 10 subjek kelompok kontrol dan 10 subjek kelompok eksperimen.

Penelitian ini menggunakan pra eksperimental randomized control group pre test – post test design yang dapat digambarkan sebagai berikut :

 

 

 

 

Table 1. Desain Eksperimen

 

Pre test

Treatmen

Post test

KE

Y1

X

Y2

KK

Y1

~ X

Y2

 

Keterangan :

KE          : Kelompok eksperimen

KK          : Kelompok kontrol

~X           : Tanpa treatment atau perlakuan pada  subyek

X             : Treatment atau perlakuan pada subyek yaitu dibacakannya dongeng yang        berisi empati

Y1           : Penilaian kemampuan empati (pre test)

Y2           : Penilaian kemampuan empati (post test)

 

Sebelum dilakukan eksperimen atau pemberian treatmen, hal pertama yang dilakukan adalah menentukan subyek penelitian yang berjumlah 20 anak dan dari 20 subyek tersebut dilakukan “Random Assignment” yaitu membagi 20 anak menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 10 anak dijadikan kelompok eksperimen dan 10 anak lagi dijadikan kelompok kontrol, kemudian dilakukan pengukuran awal atau pre test berupa empat soal kriteria cerita dan lima soal kriteria gambar.

Subyek dipanggil satu persatu, dimulai dengan menanyakan nama dan umur, kemudian test dimulai dengan kriteria cerita. Subyek diminta mendengarkan cerita pendek yang digunakan peneliti sebagai alat ukur, kemudian subyek diminta menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti, jawaban yang keluar dari subyek dicatat peneliti untuk diberi skor, begitu seterusnya sampai subyek menjawab tiap pertanyaan dari  empat kriteria cerita yang diberikan. Test selanjutnya yaitu kriteria gambar, dimana Subyek diperlihatkan gambar dengan dibacakan keterangan yang ada dibawahnya yang disertai pertanyaan yang harus dijawab subyek mengenai gambar tersebut, kemudian peneliti mencatat jawaban yang diberikan subyek untuk kemudian diberikan skor, begitu seterusnya hingga lima gambar disajikan seluruhnya.

Hari pertama setelah pre test 10 subyek yang menjadi kelompok eksperimen mulai diberi materi dongeng pertama dengan judul Defi dan Sepatu Kayu, temanya adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, dengan kesadaran diri mau membantu orang lain dan peka terhadap bahasa isyarat. Pemberian treatmen pada kelompok eksperimen dilakukan di ruang terpisah, untuk kelompok control yang tidak mendapat treatmen tetap mengikuti pelajaran di dalam kelas. Tujuan dari treatmen adalah suatu perlakuan pada subyek penelitian dengan memberikan dongeng yang berisi empati. Dongeng disampaikan selama 20 menit.

Hari ketiga diberikan materi dongeng kedua  dengan judul Tujuh Burung Gagak, temanya adalah membentuk perasaan berdasarkan kesadaran diri, dan mengambil peranan atau perilaku konkrit  (role taking). Dongeng disampaikan selama 25 menit.

Materi dongeng ketiga dengan judul Balas Budi Semut diberikan pada hari kelima, tema dongeng ketiga yaitu mengambil peranan atau perilaku konkrit  (role taking), dongeng disampaikan selama 20 menit.

Treatmen terakhir diberikan pada hari ketujuh dengan materi dongeng keempat berjudul Seta si Kucing Putih, temanya adalah membentuk perasaan berdasarkan kesadaran diri, mengambil peranan atau perilaku konkrit  (role taking), ada kontrol emosi, menyadari dirinya sedang berempati, tidak larut. Dongeng diberikan selama 20 menit.

Delapan hari setelah dongeng keempat atau dongeng terakhir dilakukan post test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontroldengan materi yang sama seperti pada saat pre test, post test yang dilakukan untuk melihat pengaruh dongeng yang sudah diberikan terhadap kemampuan empati anak.

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner kepada responden pada saat penelitian, dalam hal ini kuesioner dibacakan langsung oleh peneliti dan responden atau subyek penelitian memberikan jawaban langsung secara lisan. Dari jawaban yang diberikan akan dicatat dan di skor oleh peneliti, dengan demikian diperoleh data tentang tingkat empati masing-masing anak yang menjadi sampel penelitian.

Data yang telah terkumpul di analisis dengan menggunakan analisis varians mix 1 jalur (Anava A - Mix – B) dilakukan dengan menguji perbedaan variabel bebasa jenis kelompok (X) A1 (kelompok eksperimen) dan A2 (kelompok kontrol) dengan bvariabel tergantung (Y) kemampuan empati anak yang diamati secara berulang melalui pre test dan post test. Sebelum analisa data dengan teknik statistik Anava 1 jalur, dilakukan uji prasyarat berupa uji normalitas dan uji homogenitas. Semua perhitungan dalam analisis ini menggunakan modul-modul dalam paket Seri Program Statistik (SPS-2000) Edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Versi IBM/IN tahun 2004.

 

Hasil Penelitian

Hasil uji untuk kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol diperoleh nilai F = -0,578 dengan p = 0,576 (p>0,05) yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan dengan kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakuan.

Hasil uji antara skor pre test dan post test pada seluruh Subyek (N = 20) diperoleh nilai F = -0,497 dengan p = 0,630 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor pre test dan post test pada keseluruhan Subyek penelitian baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.

Hasil perhitungan analisis Anava tersebut secara lebih rinci dapat diketahui hasil uji-t sebagai berikut;

  1. Hasil perhitungan uji-t pada kelompok eksperimen antara pre test dan post test diperoleh nilai t = -1,055 dengan p = 0,306 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan yang signifikan pada kelompok eksperimen, yang berarti dongeng tidak memberikan perngaruh kepada kelompok eksperimen.
  2. Hasil perhitungan uji-t antara skor pre test kelompok eksperimen dengan pre test kelompok kontrol diperoleh nilai t = -4,220 dengan nilai p = 0,001 (p<0,005), yang berarti ada perbedaan yang sangat signifikan pada kelompok eksperimen dengan kelompok  kontrol, dalam hal ini kemampuan empati anak pada kelompok kontrol lebih baik daripada kelompok eksperimen.
  3. Hasil perhitungan uji-t antara skor post test kelompok eksperimen dengan post test kelompok kontrol diperoleh nilai t = -2,813 dengan p = 0,011 (p<0,05), yang berarti ada perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok eksperimen yang telah diberi dongeng dengan kelompok kontrol yang tidak diberi dongeng. Dalam hal ini kemampuan empati anak kelompok kontrol lebih baik daripada kelompok eksperimen.
  4. Hasil perhitungan uji-t antara skor pre test kelompok kontrol dengan post test kelompok kontrol diperoleh nilai t = 0,352 dengan p = 0,792 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan yang signifikan pada kelompok kontrol, dalam hal ini kelompok kontrol sama-sama tidak diberi dongeng.

 

Pembahasan

          Hasil analisis data statistik dari penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan pada pemberian dongeng terhadap kemampuan empati anak antara kelompok eksperimen  dan kelompok kontrol. Kemampuan empati yang dicapai kelompok eksperimen setelah diberi dongeng yang berisi tentang empati ternyata lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan empati yang dicapai kelompok kontrol yang tidak diberi dongeng.                                         

            Hasil uji-t (T-test) untuk nilai pre test antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol menunjukkan ada perbedaan nilai pre test antara kelompok eksperimen dan nilai pre test kelompok kontrol yang sangat signifikan, dimana kemampuan empati pada anak kelompok kontrol lebih baik daripada kelompok eksperimen.

            Untuk hasil uji-t (T-test) untuk nilai post test antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol menunjukkan ada perbedaan yang cukup signifikan antara nilai post test kelompok eksperimen dan nilai post test kelompok kontrol, dimana kemampuan empati pada anak kelompok kontrol tetap lebih baik dibandingkan dengan kelompok eksperimen yang telah mendapatkan dongeng.

            Pemberian treatmen empat kali dan waktu penelitian yang kurang lama yaitu dua minggu dapat menyebabkan pemberian dongeng kurang memberi kesan yang mendalam, hal ini sesuai yang dikatakan oleh Hurlock (1980) yang menyatakan bahwa, anak dalam belajar berperilaku yang disetujui oleh masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama yang terus berlanjut hingga pada masa remaja, dan diharapkan pada masa akhir anak, anak sudah mampu membedakan yang baik dan yang benar.

            Menurut Armando, seorang anak akan terus mengingat sebuah kisah dongeng dan memahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya apabila anak sesering mungkin mendengarkan dongeng (http://www.suara-islam.com).

            Pada waktu penelitian, terjadi fluktase Subyek Sampling yaitu dalam kelompok eksperimen secara kebetulan terdiri dari anak yang memiliki kemampuan empati yang kurang dibandingkan dengan kelompok kontrol yang terdiri dari anak yang memiliki kemampuan empati yang lebih baik.

            Pada penelitian eksperimen diperlukan pengendalian terhadap variabel yang mempengaruhi variabel tergantung (kemampuan empati) akan tetapi tidak diinginkan pengaruhnya, dan kemungkinan dalam penelitian ini sebelum ataupun dalam kurun waktu jalannya eksperimen orang tua dari kelompok kontrol banyak memberikan pengajaran tentang empati baik melalui pemutaran film, contoh-contoh konkrit dalam berempati, nasehat-nasehat dan lain-lain daripada orang tua kelompok eksperimen yang kurang memberikan pengajaran tentang empati, sehingga hasil dari penelitian ini kemampuan empati kelompok kontrol lebih baik dibandingkan kelompok eksperimen.

            Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi hasil penelitian ini adalah jalannya eksperimen. Untuk menghindari “bias” pada penelitian ini maka treatmen berupa pemberian cerita dongeng dilakukan oleh pihak lain, dalam hal ini serahkan sepenuhnya pada guru tempat penelitian ini dilaksanakan. Pada saat mendongeng, guru sebagai pendongeng menyampaikan dongeng dengan nada suara yang disesuaikan dengan alur cerita yang dibawakan,. Akan tetapi, pendongeng kurang memberikan ekspresi dan gerakan-gerakan yang bisa membawa pendengarnya (kelompok eksperimen) untuk lebih larut dalam alur cerita yang sedang dibawakan. Ini terlihat dari beberapa anak yang masih suka bicara sendiri.

            Mendongeng bukanlah satu hal yang mudah, dan tidak semua orang dapat menjadi seorang pendongeng. Menurut Tiarti (2007), agar dongeng dapat diterima dengan baik dalam menyampaikan dongeng selain memperhatikan faktor usia pendengar juga diperhatikan cara penyampaian dongeng itu sendiri, antara lain: dalam memberikan ekspresi tidak berlebihan; nada suara disesuaikan dengan karakter yang ada; penggunaan alat bantu seperti boneka tangan sebagai alat peraga; memberikan tanggapan atas komentar anak; dan menunjukkan ilustrasi gambar jika ada.

            Cara yang dapat mempengaruhi perkembangan empati pada anak selain dongeng dapat juga dengan beberapa cara, antara lain : melatih anak untuk memahami perasaaan orang lain sambil mencari kesamaan antara dirinya dengan orang lain ; memberikan nasihat pada anak bagaimana empati dapat membina dirinya menjadi manusia lebih berguna dan menguatkan persahabatan ; elakkan dari contoh negatif ; dan jangan mendera anak dengan mewujudkan suasana yang aman dan membesarkan anak dengan penuh kasih sayang (http://www.dwp.or.id)

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Hurlock, E.B. 1993. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

_________. 1978. Psikologi Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta: Erlangga

Kartono, K. 1986. Psikologi Anak. Bandung: PT. Alumni

Kasiram, M. 1996. Ilmu Jiwa Perkembangan (Bagian Ilmu Jiwa Anak). Jakarta:  Arcan

Latipun. 2002. Psikologi Eksperimen. Malang: Universitas Muhammadiyah

Mustikowati, D. 1999. Pengaruh Dongeng terhadap perkembangan Penalaran Moral Anak. Skripsi, tidak diterbitkan

Nazir, M. 1999. Metode penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia

Pitoyo, A. 2005. Pengetahuan untuk Mereka Anak-anak Kita. http://www.pembelajar.com

Rahmat, J. 2004. Mengasah Empati Anak. Republika on Line. Jendela Keluarga. http://www.republika.co.id

Shapiro, L.E. 2001. Mengajarkan Emotional Intellingence pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Tim Redaksi Ayahbunda. 2006.Dari A Sampai Z ( Perkembangan Anak ). Jakarata :  PT. Gaya Favorit Press.

Tim Redaksi Parents. 2007. 7 Keajaiban Dongeng.

Tri R., D. 2005. Kemampuan Empati pada Masa Kanak-kanak Akhir ditinjau dari Jenis Kelamin dan Usia.Skripsi, tidak diterbitkan   

Utami, A.R. 2005. Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Agresivitas pada Anak. Skripsi, tidak diterbitkan.

Zakaria. 2008. EQ (Emotional Quatation). http://www.kemamanbloggers.com

_________. 2000. Anak Indonesia Sudah tidak Mengenal Dongeng. http://asmakmalaikat.com

_________. 2005. Agar Ananda Berhati Emas. Cerita Anak. www.dompetduafa.com

_________. 2005. Defi dan Sepatu Kayunya. Artikel Terseleksi. http://arsel.blogsome.com

_________. 2005. Orang tua Mendongenglah untuk Anak-anak. http://www.balipost.co.id

_________. 2006. Memperkaya Gizi Anak dengan Dongeng. http://www.suara-islam.com

_________. 2007. Manfaat Mendongeng untuk Si Kecil. http://www.mail-archive.com

_________. 2007. Melatih Rasa Empati pada Anak. http://www.dwp.or.id

_________. 2008. Dongeng. http://id.wikipedia.org

_________. 2008. Empati. http://id.wikipedia.org

_________. 2008. Melihat Kisah Bunuh Diri dengan Empati. http://asmakmalaikat.com

_________. 2008. Kembangkan Fantasi Anak Lewat Mendongeng. http://parenting.pustaka-lebah.com

_________. 2008. Qur’an ddan Spiderman.  http://islamlib.com

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya