Artikel 4

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 2394 kali

PERBEDAAN JENIS IDENTITY DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA

 

Hilda Irmawaty & Starry Kireida Kusnadi

 

Fakultas Psikologi Untag Surabaya

 

Abstrak

 

            Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan jenis identity ditinjau dari pola asuh orang tua. Populasi dalam penelitian ini terdiri dari remaja pria dan remaja wanita kelas 3 SMA berusia 17 tahun hingga 18 tahun yang bersekolah di SMA MUHAMMADIYAH 4 Surabaya. Dalam penelitian ini diambil 210 orang subyek penelitian diantaranya 107 siswa kelas IPA, 71 siswa kelas IPS dan 32 siswa kelas Bahasa. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan tehnik Chi Kuadarat. Hasil perhitungan menunjukkan : hasil analisis 2 jalur terhadap jenis identity (diffusion, foreclosure, moratorium, dan achievement) dan pola asuh (otoriter, demokratis, dan permisif) diperoleh kai kuadrat = 71,007, pada derajat kebebasan (db) = 6,  koefisien kontingensi = 0,505 pada taraf signifikansi (p) = 0,000. Oleh karena taraf signifikansi (p) yang diperoleh lebih kecil 0,01 maka hal ini berarti terdapat perbedaan sangat signifikan dalam frekuensi kemunculannya. Demokratis-achievement (116) paling tinggi, diikuti otoriter-foreclosure (18), demokratis-moratorium (13), permisif-diffusion (3), permisif-foreclosure (9), permisif-moratorium (6), permisif achievement (5), otoriter-achievement (4), dan otoriter-moratorium (2).

 

Kata kunci : jenis identity, pola asuh orang tua

 

 


Pendahuluan

Pemikiran individu tentang siapa diri mereka dikenal dengan identitas diri. Identitas diri adalah suatu kesadaran tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan serta keunikan-keunikan dan kesamaan dengan orang lain yang ada pada diri seseorang yang bersangkutan, yang pada akhirnya membantu seseorang sadar tentang siapa dirinya dan akan menjadi siapa kelak (Marcia, dalam Adelson 1980). Setiap orang mempunyai tiga skema tentang diri. Pertama adalah actual self, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sekarang. Kedua adalah ideal self, yaitu bagaimana seseorang ingin menjadi. Ketiga, ought self yaitu bagaimana seseorang berpikir seharusnya (www.Tabloid Reformata Online-Manajemen Kita, 2009).

            Menurut teori psikososial Erikson (dalam Santrock, John W. 2002) mengatakan bahwa terdapat delapan tahap perkembangan dalam siklus kehidupan. Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkem-bangan yang khas dan mengede-pankan seseorang dengan suatu krisis yang harus dihadapi. Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain; 1). Memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan, 2). Memperoleh peranan sosial; 3). Menerima kebu-tuhan dan menggunakan dengan efektif; 4). Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya; 5). Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri; 6). Memilih dan mempersiapkan lapang-an pekerjaan; 7). Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga; 8). Membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup.

            Menurut Marcia (dalam Archer,1989), disebutkan bahwa identitas adalah proses dimana individu menempatkan dirinya dalam dunia sosial. Masih menurut Marcia (1980), pembentukan identitas secara operasional dan konkrit didasarkan pada teori psikososial Erikson yaitu individu membuat suatu komitmen setelah melewati eksplorasi berbagai kemungkinan yang ada. Komitmen adalah titik kulminasi dari pembentukan identitas. Remaja harus menetapkan identitas dirinya, siapa saya saat ini, ingin menjadi apa saya di masa dewasa nanti. Ada dua hal yang menentukan pembentukan identitas diri remaja, yaitu eksplorasi dan komitmen. Menurut Marcia (Archer, 1989) eksplorasi identitas adalah aktivitas eksplorasi pada remaja akhir yang mengacu pada aktivitas kognitif dan tingkah laku. Eksplorasi adalah usaha yang dilakukan remaja akhir secara aktif untuk mencari dan memahami masalah-masalah yang menyangkut pekerjaan, agama, dan politik sehingga sampai pada sebuah keputusan.

            Archer (dalam Widiarti & Tarakanita, 2001) mengemukakan bahwa komitmen merupakan titik akhir dari proses eksplorasi sebagai usaha pembentukan identitas. Komitmen merupakan aktifitas yang relatif tegas dan menarik tentang elemen-elemen identitas remaja, berperan sebagai pengarah menuju tindakan penuh arti pada sesuatu, yang dipilih dengan disertai keyakinan, kesetiaan, dan sulit untuk dipengaruhi. Ketidak adaan komit-men menunjukkan bahwa remaja memiliki komitmen lemah dan mudah dipengaruhi serta mudah berubah. Ada empat tipe identitas diri menurut Marcia (dalam Muuss, 1988) : 1). Diffusion/confusion yaitu suatu keadaan belum dialaminya krisis identitas sehingga individu yang bersangkutan belum mempu-nyai komitmen terhadap suatu pekerjaan tertentu maupun terhadap seperangkat kepercayaan; 2). Foreclosure yaitu suatu keadaan belum dialaminya krisis, tetapi komitmen telah dibuat. Komitmen yang dimaksud sifatnya dipaksakan dan diberikan kepada individu khususnya oleh orang lain; 3). Moratorium yaitu suatu keadaan pada saat individu yang bersangkutan sedang berada dalam krisis untuk mencari identitasnya sehingga dengan demikian komitmen belum dibuat, serta 4). Achievement yaitu suatu keadaan pada saat individu yang bersangkutan sudah mengalami krisis dan menye-lesaikannya.

      Krisis dan komitmen merupakan bagian dari identitas, krisis merupakan waktu dimana remaja dengan sendirinya secara aktif dilibatkan dalam memilih hampir semua alternatif pekerjaan dan keyakinan-keyakinan. Komitmen merupakan pencapaian suatu tingkat dari penanaman pribadi individu secara tegas dan tepat pada suatu pekerjaan atau keyakinan (Hill, 2001). Mengingat komitmen remaja banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang diyakininya sejak masa kanak-kanak, oleh karena itu remaja dalam pencarian identitas tidak luput dari proses ‘campur tangan’ orang tua, yang dimaksud adalah orang tua menjadi faktor penting bagi remaja untuk mencapai identitas diri. Pembentukan identitas sangat positif berhubungan dengan dukungan, kohesif, penerimaan keluarga dan otonomi remaja (Grotevant, 1983). Orang tua sebagai contoh merupakan orang terdekat bagi remaja yang sudah mengalami masa seperti dirinya dan diharapkan dapat menjadi salah satu gambaran bagi remaja untuk dapat menentukan dirinya sendiri dan bila keluarga khususnya orang tua penuh kehangatan (penuh penerimaan) dan disertai ajaran moral, mereka akan melalui pergulatan masa remajanya dengan mengembangkan nilai-nilai yang diperoleh melalui keluarga, dan selanjutnya membentuk kesadaran akan identitas diri. Hubungan dan interaksi yang baik antara orang tua dan remaja diwujudkan dalam proses pengasuhan. Orang tua yang menanamkan nilai-nilai moral, etika, agama, sosial kepada remaja berharap mereka memiliki bekal yang kuat untuk menjadi individu yang berhasil. Pengalaman yang dimiliki remaja (proses ekplorasi) menjadikan remaja berpikir untuk dapat menentukan sikap yang tepat dalam memilih pekerjaan dan keyakinan-keyakinan mereka, untuk dapat menjelaskan siapa dirinya, apa perannya, dan bagaimana dia harus menjadi seseorang yang ‘berhasil’ dikemudian hari.    

            Problematika remaja dalam pencapaian identitas dapat menga-lami keberhasilan atau kegagalan. Namun ketika remaja gagal maka terjadilah identity diffusion. Remaja akan menarik diri dan mengisolasi dirinya dari lingkungan yang tentu saja berakibat buruk, atau akan meleburkan dirinya dengan orang lain sehingga tidak memiliki identitas. Misal, seorang anak basket menggambarkan dirinya sebagai penggemar olahraga basket. Maka akan berpenampilan dan bertingkah laku seperti seorang pemain basket untuk mendapatkan identitas dan gambaran diri yang diinginkan. Ketika anak laki-laki menyukai musik emo, hip hop, metal ataupun regge maka akan menco-cokkan penampilan dengan grup band yang ia sukai, atau ketika anak perempuan ingin medapatkan image sebagai cheerleader maka ia akan berpenampilan seperti cheerleader. Inilah yang dimaksud dengan remaja yang meneggelamkan diri ke dalam lingkungan pergaulan, sehingga tidak ada identitas individu.

            Banyak penelitian yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja yang berasal dari kelu-arga yang penuh perhatian, hangat, dan harmonis mempunyai kemam-puan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan disekitarnya (Hurlock, 1973). Selanjutnya Tallent (1978) menambahkan anak yang mempun- yai penyesuaian diri yang baik di sekolah, biasanya memiliki latar belakang keluarga yang harmonis, menghargai pendapat anak dan hangat. Hal ini disebabkan karena anak yang berasal dari keluarga yang harmonis akan mempersepsi rumah mereka sebagai suatu tempat yang membahagiakan karena semakin sedikit masalah antara orang tua, maka semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan begitu juga sebaliknya jika anak mempersepsi keluarganya berantakan atau kurang harmonis maka ia akan terbebani dengan masalah yang sedang dihadapi oleh orang tuanya.

Baumrind (1988), menjelaskan tiga pola asuh orang tua adalah otoriter, demokratis, dan permisif. Otoriter, orang tua yang menerapkan pola asuh ini biasanya sangat disiplin dan menuntut anak untuk mengikuti aturan yang dibuat oleh orang tua secara kaku dan ketat. Orang tua tidak menerima penjelasan apapun yang dikemukakan oleh anak sehingga komunikasi hanya berjalan satu arah. Orang tua juga kurang memberi kebebasan bagi anak, anak akan menerima hukuman bila tidak menjalankan aturan yang dibuat oleh orang tua. Demokratis, orang tua yang menerapkan pola asuh ini akan memberi kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan diri tetapi sekaligus membuat aturan yang disepakati dengan anak, dan anak diharapkan mengikuti aturan yang telah disepakati bersama tersebut. Orang tua responsif terhadap kebutuhan dan pendapat anak. Permisif, pada pola asuh ini orang tua tidak membuat aturan dan batasan yang jelas. Tuntutan terhadap anak rendah. Orang tua tidak memonitor aktivitas anak. Anak bebas untuk mengekspresikan emosi dan dorongannya sesuka hati. Jika peraturan dibuat, peraturan tersebut hanya formalitas. Anak tidak memiliki kewajiban untuk menaati peraturan tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Baumrind (1967) pola asuh yang berkaitan dengan pertumbuhan kemampuan diri untuk mengontrol dan mengarahkan tingkah laku secara mandiri adalah orang tua yang memberikan kebebasan kepada anaknya untuk menentukan pilihan yang berhubungan dengan kepentingan dirinya sendiri namun tetap menuntut tanggung jawab serta mengarahkan anaknya melalui diskusi yang menjelaskan alasan yang logis dan rasional dibalik peraturan dan hukuman yang diberikan kepada anaknya.

            Dalam penelitian yang menghubungkan antara perkem-bangan identitas dengan pola pengasuhan dari orang tua, remaja yang memiliki orang tua yang otoriter yaitu yang mengontrol tingkah laku remaja tanpa memberi suatu kesempatan untuk mengeks-presikan pendapat, akan mendorong terjadinya identity foreclosure pada remaja. Orang tua yang demokratis, yang mendorong remaja untuk berpartisipasi dalam membuat suatu keputusan keluarga, akan lebih cepat mencapai identity achievement. Orang tua yang permisif, yang memberikan sedikit arahan kepada remaja dan membiarkan remaja membuat keputusannya sendiri, mendorong terjadinya identity diffusion pada diri remaja (Bernard, 1981; Enright dkk., 1980; Marcia, 1980 dalam Adolescence, 2003). Stuart Hauser dan koleganya (Hauser & Bowlds, 1990; Hauser dkk., 1984) mengatakan bahwa orang tua yang berlaku ‘membiarkan’ (dengan cara menerangkan, menerima, dan berempati terhadap remaja) lebih bisa mendorong proses perkem-bangan identitas remaja diban-dingkan dengan orang tua yang berlaku ‘mengekang’ (seperti menghakimi dan tidak menghargai). Sebagai kesimpulan, gaya interaksi keluarga yang memberikan hak pada remaja untuk bertanya dan untuk menjadi seseorang yang berbeda, dalam suatu konteks dukungan dan mutualitas, mendorong pola perkembangan identitas yang sehat (Harter. 1990b dalam Adolescence, 2003).

            Seseorang dikatakan telah mempunyai identitas berarti mem-punyai suatu konsep diri yang realistik yang meliputi baik pengu-asaan fisik maupun kognitif terhadap lingkungan serta mempunyai kesa-daran sosial di dalam suatu masyarakat tertentu.

            Identitas adalah suatu kesadaran tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan serta keunikan-keunikan dan kesamaan dengan orang lain yang ada pada diri individu yang bersangkutan, yang pada akhirnya membantu individu untuk sadar tentang siapa dirinya dan kelak akan menjadi apa. Identitas memiliki beberapa komponen, yaitu : komponen fisik dan seksual, vokasional, moral dan agama serta ideologi. Komponen-komponen tersebut tidak berkembang secara bersama-sama tetapi berurutan, yang pertama berkembang biasanya adalah identitas fisik dan seksual yang terakhir adalah identitas ideologi. Dalam pembentukan identitas terdapat krisis dan komitmen yang dijabarkan dalam empat status identitas yaitu identity diffusion, identity foreclosure, identity mora-torium, dan identity achievement (Marcia, dalam Adolescence, 1980).

            Pola asuh merupakan sebuah proses mempengaruhi seseorang. Menurut Arkoff (dalam Dewi Suchufi Saadah, 2010), anak yang dididik dengan cara otoriter umumnya cenderung tidak bahagia, paranoid atau selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci pada orang tua dan mendorong terjadinya identity foreclosure. Namun di balik itu anak yang dididik orang tua otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi seseorang yang sesuai dengan keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup dan mendorong terjadinya identity achievement. Disisi lain, anak yang dididik secara demokratis umumnya cenderung akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orang tua, menghargai dan menghormati orang tua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat. Sementara, anak yang dididik secara permisif cenderung berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain dan mendorong terjadinya identity diffusion dan identity moratorium.

            Archer (1989) mengung-kapkan bahwa terdapat suatu pola yang umum di antara individu yang telah mengembangkan identitas yang positif yaitu mengikuti siklus “MAMA”, moratorium-achievement-moratorium-achievement. Siklus ini dapat berlangsung berulang-ulang sepanjang hidup seseorang (Francis, Fraser & Marcia, 1989). Perubahan pribadi, keluarga, dan sosial tidak bisa diperkirakan, dan ketika terjadi, dibutuhkan fleksibilitas dan keterampilan untuk mengeksplorasi alternatif-alternatif baru dan mengembangkan komitmen-komitmen baru yang dapat memfasilitasi kemampuan individu dalam mengatasi masalah.

            Berdasarkan penjelasan di atas, menurut asumsi peneliti, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan jenis identity pada remaja adalah pola asuh orang tua. Pola asuh merupakan bentuk dari kepemimpinan yaitu proses mempengaruhi seseorang dimana orang tua menanamkan nilai-nilai yang dipercayai kepada anak dalam bentuk interaksi yang meliputi kepemimpinan, pengasuhan, mendidik, membimbing dan melindungi anak (Hersey & Blanchard, 1978). Jenis-jenis pola asuh orang tua adalah sebagai berikut : a) otoriter, orang tua yang menerapkan pola asuh ini biasanya sangat disiplin dan menuntut anak untuk mengikuti aturan yang dibuat oleh orang tua secara kaku dan ketat ; b) demokratis, orang tua yang responsif terhadap kebutuhan anak dan pendapat anak ; c) permisif, pada pola asuh ini orang tua tidak membuat aturan dan batasan yang jelas. Jika peraturan dibuat, peraturan tersebut hanyalah formalitas. Anak tidak memiliki kewajiban untuk menaati peraturan tersebut (Baumrind, 1988 dalam Dewi Suchufi Saadah, 2010).

            Dapat ditarik kesimpulan bahwa identity merupakan suatu proses individu untuk sadar tentang siapa dirinya dan akan menjadi apa kelak. Berbeda atau tidaknya jenis identity individu tergantung pada pola asuh orang tua, dimana orang tua menanamkan nilai-nilai yang dipercayai kepada anak dalam bentuk interaksi yang meliputi kepemimpinan, pengasuhan, mendidik, membimbing dan melindungi anak.

            Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah ada perbedaan jenis identity di tinjau dari pola asuh orang tua. Remaja yang dididik secara otoriter mendorong terjadinya identity foreclosure. Di sisi lain remaja yang dididik dengan cara demokratis akan lebih cepat mencapai identity achievement. Sementara itu, remaja yang dididik secara permisif mendorong terjadinya identity diffusion dan identity moratorium.

Metode Penelitian

 

      Populasi dalam penelitian ini terdiri dari remaja pria dan remaja wanita kelas 3 SMA berusia 17 tahun hingga 18 tahun yang bersekolah di SMA MUHAMMADIYAH 4 Surabaya yang akan menjadi subyek penelitian. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan studi populasi yaitu anggota subyek diperoleh dari siapa saja yang memiliki ciri-ciri tertentu yang telah ditentukan sebelumnya (Hadi, 1989).

Dalam penelitian ini diambil 210 orang subyek penelitian diantaranya 107 siswa kelas IPA, 71 siswa kelas IPS dan 32 siswa kelas Bahasa. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan tehnik Chi Kuadarat.

 

Hasil Dan Pembahasan

Hasil perhitungan analisis kai kuadrat dan koefisien kontingensi sebagai berikut : hasil analisis 2 jalur terhadap jenis identity (diffusion, foreclosure, moratorium, dan achievement) dan pola asuh (otoriter, demokratis, dan permisif) diperoleh kai kuadrat = 71,007, pada derajat kebebasan (db) = 6,  koefisien kontingensi = 0,505 pada taraf signifikansi (p) = 0,000. Oleh karena taraf signifikansi (p) yang diperoleh lebih kecil 0,01 maka hal ini berarti terdapat perbedaan sangat signifikan dalam frekuensi kemunculannya. Demokratis-achievement (116) paling tinggi, diikuti otoriter-foreclosure (18), demokratis-moratorium (13), permisif-diffusion (3), permisif-foreclosure (9), permisif-moratorium (6), permisif achievement (5), otoriter-achievement (4), dan otoriter-moratorium (2).

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan ada perbedaan jenis identity ditinjau dari pola asuh orang tua, dimana remaja yang dididik secara otoriter mendorong terjadinya identity foreclosure. Di sisi lain remaja yang dididik dengan cara demokratis akan lebih cepat mencapai identity achievement. Sementara itu, remaja yang dididik secara permisif mendorong terjadinya identity diffusion dan identity moratorium, diterima. Dengan kata lain ada perbedaan jenis identity ditinjau dari pola asuh orang tua, sehingga dapat dikatakan bahwa remaja akan menghasilkan jenis identity yang berbeda-beda sesuai dengan pola asuh yang diterapkan orang tua.

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter biasanya sangat disiplin dan menuntut anak untuk mengikuti aturan yang dibuat oleh orang tua secara kaku dan ketat. Orang tua tidak menerima penjelasan apapun yang dikemukakan oleh anak sehingga komunikasi hanya berjalan satu arah. Orang tua juga kurang memberi kebebasan bagi anak, anak akan menerima hukuman bila tidak menjalankan aturan yang dibuat oleh orang tua. Sehingga anak akan memiliki jenis identity foreclosure dimana anak membuat komitmen setelah menerima saran dari orang lain, keputusan dibuat tidak sebagai hasil dari krisis, yang akan melibatkan pertanyaan dan eksplorasi pilihan-pilihan yang mungkin, berpikiran kaku, bahagia, yakin pada diri sendiri, bahkan mungkin puas dengan diri sendiri, hubungan keluarga dekat, patuh, cenderung mengikuti pemimpin yang kuat, tidak mudah menerima perselisihan pendapat. Contohnya individu seringkali memiliki angan-angan tentang apa yang ingin dicapai dalam hidupnya, tetapi seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya. Akibatnya, ketika individu dihadapkan pada masalah realitas, tidak mampu menghadapi dengan baik. Bahkan kadang-kadang melakukan mekanisme pertahanan diri.

Selanjutnya orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis akan memberi kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan diri tetapi sekaligus membuat aturan yang disepakati dengan anak, dan anak diharapkan mengikuti aturan yang telah disepakati bersama. Orang tua lebih terbuka dan responsif terhadap kebutuhan dan pendapat anak. Orang tua mendorong untuk membuat keputusan sendiri, orang tua mendengarkan ide-idenya dan memberi opini tanpa tekanan. Sehingga anak akan memiliki jenis identity achievement dimana anak mampu membuat pilihan dan komitmen yang kuat, pilihan dibuat sebagai hasil proses periode krisis dan perjuangan emosi, banyak berpikir, tetapi tidak terlalu mawas diri, mempunyai rasa humor, dapat bertahan dengan baik dibawah tekanan, mampu menjalin hubungan yang intim, dapat bertahan meskipun membuka diri pada ide baru, lebih matang dan lebih kompeten dalam berhubungan. Contohnnya individu memiliki keinginan untuk bekerja dan memiliki keluarga.

Sedangkan orang tua yang menerapkan pola asuh permisif tidak membuat aturan dan batasan yang jelas. Tuntutan terhadap anak rendah. Orang tua tidak memonitor aktivitas anak. Anak bebas untuk mengekspresikan emosi dan dorongannya sesuka hati. Jika peraturan dibuat, peraturan tersebut hanyalah formalitas dan anak tidak memiliki kewajiban untuk menaati peraturan tersebut. Sehingga anak akan memiliki jenis identity diffusion dan identity moratorium, dimana anak yang memiliki identity diffusion tidak mempunyai pilihan-pilihan yang dipertimbangkan secara serius, tidak mempunyai komitmen, tidak yakin pada dirinya sendiri, cenderung menyendiri, orang tua tidak mendiskusikan mengenai masa depan dengannya, tidak mempunyai tujuan hidup, cenderung tidak bahagia, sering menyendiri karena kurangnya pergaulan. Sedangkan anak yang memiliki identity moratorium cenderung ragu-ragu dalam membuat keputusan, banyak bicara, percaya diri, tetapi juga mudah cemas dan takut, pada akhirnya mungkin akan keluar dari krisis dengan kemampuannya membuat komitmen. Contohnya individu yang tidak mampu untuk mengambil keputusan tentang kehidupannya.

Waterman (1982), mengemukakan suatu dasar mengenai perkembangan status identitas , yaitu transisi dari masa remaja ke masa dewasa meliputi tahap penguatan status identitas (proses dari kematangan ego yang rendah ke kematangan ego yang tinggi) (Santos, 2000). Akan tetapi dalam pandangan yang umum, Marcia (1996) mengatakan orang yang berbeda akan mengikuti pola perkembangan yang berbeda pula, misalnya seseorang yang berada dalam tahap identity moratorium akan mengalami perkembangan ke arah identity achievement, tetapi orang yang lain mungkin akan mengalami kemunduran, yaitu dari tahap identity moratorium ke tahap identity diffusion (Santos, 2000).

Acher (1989), mengatakan bahwa individu yang mengembangkan identitas-identitas yang positif mengikuti pola umum yang disebut siklus “MAMA” moratorium – achiever – moratorium – achiever (dalam Santrock, 1999). Francis, Fraser, & Marcia, 1989, berpendapat bahwa siklus ini dapat diciptakan sepanjang hidup perubahan-perubahan pribadi, keluarga, dan masyarakat tidak terelakkan, dan ketika perubahan-perubahan itu terjadi fleksibilitas dan ketrampilan yang diperlukan untuk menjajaki alternatif baru dan mengembangkan komitmen baru dapat memfasilitasi keterampilan-keterampilan untuk menghadapi perubahan-perubahan (Santrock, 1999).

 

Kesimpulan Dan Saran

 

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa hipotesis yang menjadi landasan dalam penelitian ini dinyatakan diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan jenis identity ditinjau dari pola asuh orang tua yang signifikan, dimana remaja yang dididik secara otoriter mendorong terjadinya identity foreclosure. Di sisi lain remaja yang dididik dengan cara demokratis akan lebih cepat mencapai identity achievement. Sementara itu, remaja yang dididik secara permisif mendorong terjadinya identity diffusion dan identity moratorium.

Disarankan pada remaja yang sudah memiliki jenis identity achievement tetap bisa mempertahankan identitas positifnya dengan cara mengembangkan kemampuan yang dimiliki dengan mencoba hal-hal yang baru, mengikuti acara-acara kompetisi misalnya basket, futsal, renang, badminton, dan sebagainya. Pada remaja yang memiliki identity diffusion hendaklah untuk lebih memikirkan bagaimana cara agar dapat memiliki identity. Dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang memicu remaja agar dapat memunculkan minat terhadap pekerjaan dan seperangkat kepercayaan lainnya. Misalnya memunculkan minat terhadap pekerjaan dan seperangkat kepercayaan             lainnya. Misalnya menari, musik, menulis, melukis, otomotif. Pada remaja yang memiliki identity foreclosure hendaklah lebih membuka diri terhadap tantangan dan keadaan-keadaan yang baru. Misalnya berani menerima penetapan kerja ditempat yang baru, menerima bidang pekerjaan yang lain. Pada remaja yang memiliki identity moratorium hendaklah mencari teman-teman sebaya yang dapat memberikan pengaruh positif agar lebih cepat membentuk  identity achievement. Hal ini dapat dilakukan dengan cara bergaul yang sehat, mengikuti kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri.

       Bagi orang tua yang sudah menerapkan pola asuh demokratis hendaklah tetap mempertahankan pola asuh yang sudah ada agar anak tetap memiliki identitas yang positif, dengan cara lebih terbuka dengan pendapat dan masukan dari orang lain, banyak membaca buku tentang cara mendidik anak yang baik, mengikuti seminar atau pelatihan tentang pola asuh. Pada orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter hendaklah lebih memberi ruang kepada anak untuk melakukan apa yang diinginkan. Misalnya memberikan kesempatan untuk memilih sekolah, memilih teman-teman yang sesuai. Pada orang tua yang menerapkan pola asuh permisif hendaklah mengevaluasi pola asuh yang selama ini diterapkan agar remaja memiliki identity achievement dengan cara orang tua lebih terbuka, menerima pendapat dari orang lain, menjalin kedekatan dengan anak, memberikan arahan pada anak.

Bagi peneliti lain disarankan untuk meneliti pembentukan jenis identity berdasarkan kematangan emosi.

Daftar Pustaka

 

Ahmadi, Abu. 2009. Psikologi Umum. Jakarta : Rineka Cipta.

Azwar, Saifuddin. 2003. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

             .     2007. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

                          . 2009. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Atkinson, R. 1999. Pengantar Psikologi. Jilid II. Batam : Interaksara.

Andini, Y. 2010. Pengaruh Peran Ayah Terhadap Kemandirian Remaja : Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, (tidak diterbitkan).

Azwar, D, A. 1986. Content Validity. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Danny. 2008. Hubungan Antara Perilaku Asertif Dengan Penyesuaian Sosial Pada Remaja : Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, (tidak diterbitkan).

Diah, Ayu. 2007. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Orang Tua Dengan Sikap Kemandirian Remaja Pada Siswa Kelas XII SMAN 1 Boyolali : Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, (tidak diterbitkan).

Gunarsa, 1999. Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta : PT. BPK. Gunung Mulia.

Gordon, T. 1999. Menjadi Orang Tua Efektif. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hadi, S. & Yuni, Pamardiningsih. 1998. Program Statistik Versi IBM/ IN. Universitas Gajah Mada.

   . 1991. Analisis Butir Untuk Instrumen. Yogyakarta : Andi Offset.

   . 1994. Statistik jilid 1, 2, 3. Yogyakarta : Andi Offset.

Hurlock, Elizabeth, B. 1973. Adolesence Development (4th ed). Tokyo : Megraw – Hill Kogakusha Ltd.

                                    . 1980. Psikologi Perkembangan, Suatu Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi III). Jakarta : Erlangga.

                                    . 1997. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi V). Jakarta : Erlangga.

Hasan, Bisri. 1990. Remaja Berkualitas. Jakarta : CV. Rajawali.

Kartono, K. 1989. Psikologi Wanita Mengenai Gadis Remaja Dan Wanita Dewasa. Bandung : Mander Maju.

. 1986. Patologi Sosial 2 : Kenakalan Remaja. Jakarta : CV. Rajawali.

Malcolm, Hardy. & Steve, Heyes. 1988. Pengantar Psikologi. Jakarta : Erlangga.

Monks, F. J. , Knoers & Haditono, S. 1999. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Nazir, Moh. 2003. Metode Peneletian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Nova, J. 2006. Persepsi Orang Tua Membentuk Perilaku Remaja : Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, (tidak diterbitkan).

Rachmat, J. 2008. Psikologi Komunikasi. Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya.

Sardino, K. 1992. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga.

Santrock, J, W. 1996. Adolesence. Perkembangan Remaja. (terjemahan). Jakarta : Erlangga.

. 2007. Adolesence, Eleventh edition. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama Erlangga.

Sarwono, Sarlito, Wirawan. 1997. Psikologi Sosial, Individu Dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka.

          . 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.

          . & Eko, A, Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : Salemba Humanika.

Singarimbun, M, dan Effendi, S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta : LP3ES.

Singarimbun. 1989. Variabel Penelitian. Jakarta : Erlangga.

Suryabrata, Sumadi. 1982. Psikologi Remaja. Jakarta : CV. Rajawali.

      . 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologi. Yogyakarta : Andi Offset.

Suranto, K. 2011. Komunikasi Sosial Dan Budaya. Jakarta : PT. Graha Ilmu.

Soeroso. 1996. Diktat Psikologi Belajar. (tidak diterbitkan).

Walgito, B. 1994. Psikologi Suatu Pengantar. Yogyakarta : Andi Offset.

        . 1997. Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset.

Wirawan, S. 1989. Psikologi Remaja. Jakarta : CV. Rajawali Press.

Willis, S, S. 2010. Remaja Dan Masalahnya. Jakarta : CV. Alvabeta.

Yahya, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Prenada Media.

Http://www.e-psikologi.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya