Artikel 5
,00 0000 - 00:00:00 WIBDibaca: 1040 kali
PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL DALAM MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI DAN MENGURANGI KECEMASAN BERKOMUNIKASI PADA REMAJA AWAL
Asyer Dini Meritai
Program Studi Magister Psikologi Profesi
Fakultas Psikologi Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Surabaya
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pelatihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi kecemasan berkomunikasi remaja. Pelatihan keterampilan sosial dapat mengubah persepsi kognitif individu kemudian mengubah afeksinya setelah itu perilakunya dalam berinteraksi dengan orang lain. Desain penelitian yang digunakan studi pra eksperimen dengan metode one group pre and posttest design, pengumpulan datanya menggunakan skala kepercayaan diri dan skala kecemasan berkomunikasi. Subjek penelitian adalah remaja awal berusia 13-14 tahun, skor rendah pada skala kepercayaan diri dan skor tinggi pada skala kecemasan berkomunikasi. Hasil dari penelitian ini adalah pelatihan keterampilan sosial yang diadakan selama sehari penuh terdiri dari 3 sessi (perkenalan dan materi dingkat, outbond, farewell party) dapat meningkatkan kepercayaan diri dan menurunkan kecemasan berkomunikasi pada remaja awal.
Kata Kunci: Kepercayaan diri, kecemasan berkomunikasi, pelatihan keterampilan social
Pendahuluan
Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa, khususnya memasuki masa remaja awal. hal ini dikarenakan masa remaja awal merupakan masa gejolak dimana individu menghadapi persoalan dan tantangan, konflik serta kebingung-an dalam proses menemukan identitas dirinya (Hurlock, 2002). Menurut Hurlock (2002), dalam pencarian jati dirinya, lingkungan sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian dan pola pikir remaja. Remaja sebagai makhluk sosial membutuhkan interak-si dengan orang lain, untuk mengeta-hui sekitar bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya.
Dalam menjalin interaksi, indi-vidu membutuhkan komunikasi antar pribadi. Melalui komunikasi manusia dapat menyampaikan pesan atau infor-masi kepada orang lain (Cangara, 1998). Menurut Wood (dalam Enjang, 2009) komunikasi merupakan satu proses sistematis dalam interaksi antar individu,dengan menggunakan berbagai symbol dalam rangka menciptakan dan menginterpretasi makna atau arti. Devito (dalam Barus, 2005) menegaskan bahwa karena sifat yang interpersonal dalam komunikasi antar pribadi maka komuni-kasi menjadi unsure paling penting dalam membentuk pribadi, menggerak-kan partisipasi, memodifikasi sikap perilaku individu. Selain itu komu-nikasi dapat meningkatkan relasi, menyehatkan jiwa,memberdayakan indi-vidu, dan bahkan ampuh dalam menga-tasi konfilk kepentingan (Barus, 2005).
Komunikasi itu sendiri menurut Roger dan Lawerence (dalam Cangara, 1998) adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antar individu dengan individu lainnya yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam. Proses komunikasi pada hakikatnya adalah poses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain. Kemampuan mengungkapkan pikiran secara lisan memerlukan kemampuan penguasaan bahasa yang baik agar mudah dimengerti oleh orang lain dan membutuhkan pembawaan diri yang tepat.
Dalam berbagai situasi kehidupan, individu membutuhkan komunikasi, baik verbal maupun non-verbal. Dalam hal ini individu dituntut untuk berbicara, mengemukakan pendapat dan ide-idenya secara lisan di depan orang banyak. Namun, tidak semua manusia mampu mengungkapkan pikirannya, sehingga individu tersebut mengalami hambatan dalam berkomunikasi (Aswid, 2012).
Salah satu hambatan berkomunikasi adalah kecemasan dalam berkomunikasi. Menurut McCroskey (dalam Aswid, 2012), kecemasan berkomunikasi merupakan suatu level ketakutan atau kecemasan seseorang, baik nyata maupun hanya prasangka, berkaitan dengan komunikasi dengan orang lain ataupun dengan orang banyak.
Menurut Wallechinsky (dalam Ernawati, 2012) meranking sepuluh besar ketakutan manusia, sebanyak 41% menyatakan bahwa berbicara di depan umum merupakan ketakutan tertinggi. Pada tahun 1991, Chicago Tribune juga melakukan polling tentang sumber ketakutan terbesar manusia dan hasilnya ketakutan untuk berbicara di depan umum menjadi sumber ketakutan tertinggi. Dari penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh PKBI menyebutkan bahwa 19% remaja Yogyakarta mengalami masalah berkomunikasi (Ernawati, 2012).
Berdasarkan penelitian Mardiyah dan Sutijono (2012) di Surabaya menyebutkan bahwa Beberapa Indikasi kecemasan komunikasi juga dialami oleh beberapa siswa-siswi di SMA Negeri 13 Surabaya tepatnya di kelas X-4. Berdasarkan observasi, yang dilakukan sebelumnya di SMA Negeri 13 Surabaya, hasil menunjukkan bahwa terdapat 12.5% siswa yang memiliki kecemasan komunikasi dalam kategori tinggi.
Menurut observasi Purwati (2012) bahwa siswa SMP mengalami kecemasan berbicara di depan kelas, hal ini ditandai masih terdapatnya siswa yang tidak berani maju ke depan kelas, cenderung diam ketika mendapatkan kesempatan bertanya, terdapat siswa yang terlihat gemetar, tegang, gelisah, gugup, muka pucat, duduknya tidak tenang, mengalihkan pembicaraan, menggerak-gerakkan anggota tubuh, memainkan alat tulis, atau yang lainnya, pandangan mata kosong, mengeluarkan keringat dingin, terutama pada saat diberi pertanyaan oleh guru atau disuruh maju dan terdapat siswa yang hanya diam ketika sedang diskusi.
Rahayu (2004), memaparkan hasil penelitiannya di semarang, yang menyatakan bahwa semakin seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif, maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum.
Kecemasan berkomunikasi timbul apabila individu membangun pesan- pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi (Prasetya dkk 2003).
Menurut Osburne (dalam Dewi, 2006), perasaan cemas muncul karena takut secara fisik terhadap pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut bahwa dirinya akan menjadi tontonan orang, takut bahwa apa yang dikemukakan mungkin tidak pantas, dan rasa takut bahwa dirinya akan membosankan.
Menurut Rahmat (2009), ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai communication apprehension. Individu yang apprehensive dalam berkomunikasi akan menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin untuk berkomunikasi dan hanya berbicara apabila terdesak. Apabila individu mempunyai rasa keberanian yang kurang, ia akan mengalami kesulitan untuk mengkomunikasikan gagasannya dengan orang lain dan menghindar untuk berbicara di depan umum karena takut orang lain mengalahkannya.
Kondisi kecemasan dalam berkomunikasi berdampak terhadap kualitas kehidupan individu, mempengaruhi fungsi sosial dan relasi dengan komunitasnya. Beberapa faktor yang menyebabkan kecemasan dalam berbicara di depan umum cenderung menyebabkan individu merekam dipikiran bawah sadarnya, baik secara visual, auditory, kinestetik, maupun hal-hal yang berdampak pada kepercayaan diri saat berbicara di depan umum. Salah satu faktor yang paling menentukan terjadinya kecemasan dalam berkomunikasi adalah kurangnya percaya diri (Rakhmat, 2002).
Menurut penelitian Sa’diyah (2005), meyatakan bahwa ada hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2014) yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan diri menandakan semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri menandakan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Berdasarkan observasi yang dilakukan Muhari (2014) menyatakan bahwa pa da sa a t me la kuka n pre se nta si di ke la s, me nge rj a ka n tu ga s kelompok dan saat diberikan pertanyaan oleh guru sebagian besar siswa cenderung diam dan pasif.
Kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan sendiri sehingga individu tidak terlalu cemas dalam setiap tindakan, dapat bebas melakukan hal-hal yang disukai dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat menerima dan menghargai orang lain, memiliki dorongan berprestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri (Lautser, 2001).
Daradjat (1990) mengatakan bahwa kepercayaan diri adalah kepercayaan diri sendiri yang ditentukan oleh pengalaman-pengalaman yang dilalui sejak kecil. Orang yang percaya pada dirinya sendiri dapat mengatasi segala faktor-faktor dan situasi frustasi, bahkan mungkin frustasi ringan tidak akan terasa sama sekali. Tetapi sebaliknya orang yang kurang percaya pada dirinya sendiri akan sangat peka terhadap bermacam-macam situasi yang menekan. Ciri-ciri orang yang percaya diri yaitu percaya pada kemampuan sendiri, bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, memiliki rasa positif terhadap diri sendiri serta berani mengungkapkan pendapat.
Menurut Martani (dalam Asmadi, 2006) kepercayaan diri merupakan sesuatu yang terbentuk dari interaksi dan berkembang melalui proses belajar secara individul maupun sosial. Hal ini sejalan dengan pendapat Lautser (2001), rasa percaya diri bukan merupakan sifat yang diturunkan melainkan diperoleh dari pengalaman hidup, serta dapat diajarkan dan ditanamkan, sehingga upaya- upaya tertentu dapat dilakukan guna membentuk dan meningkatkan rasa percaya diri.
Seseorang belajar mengenal diri sendiri melalui interaksi sosial secara langsung. Kepercayaan diri individu akan sangat dipengaruhi oleh masa perkembangan yang sedang dilaluinya terutama bagi remaja. Kepercayaan diri mudah berubah tergantung pada pengalaman-pengalaman dalam hubungan interpersonal. Secara positif Musen (1979) melihat pengalaman sebagai sarana mencapai kematangan dan perkembangan kepribadian. Namun, pengalaman tidak selalu memberikan umpan balik yang positif. Bila umpan balik yang diperoleh remaja positif maka kepercayaan dirinya akan membaik, sebaliknya jika umpan balik yang diterimanya sering kali negatif, hal ini akan mempengaruhi kepercayaan diri (Budi Andayani dan Tina, 1996).
Pelatihan keterampilan sosial merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku yang mulai banyak digunakan, terutama untuk membantu meningkatkan kepercayaan diri dan menurunkan kecemasan berkomunikasi Pelatihan keterampilan sosial bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain, baik dalam hubungan formal maupun informal.
Lima dimensi tingkah laku dalam menggolongkan tingkat keterampilan sosial bagi anak-anak dan remaja meliputi peer relation, self management, academis compliance dan assertion skill. Menurut Merrel dan Gimpel (1998) dimensi inilah yang menjadi implikasi penting bagi pengembangan keterampilan sosial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2009) mengenai efektifitas pelatihan keterampilan sosial terhadap penyesuaian diri sosial pada anak berbakat intelektual di program akselarasi menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dalam pemberian pelatihan keterampilan sosial yang didalamnya terdapat lima dimensi tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas pelatihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kepercayaan diri dan mengetahui efektifitas pelatihan keterampilan sosial untuk menurunkan kecemasan berkomunikasi pada remaja awal.
Kecemasan adalah keadaan suasana dan perasaan yang tidak aman dan khawatir akan masa depan yang ditandai dengan gejala fisik, perilaku dan pikiran (Daradjat, 1990; Ollendick dalam Ambardini, 1992; Maramis, 1995; Atkinson 1996; Sobur, 2003; dan Nevid, 2005)
Kecemasan berkomunikasi adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan ketika harus melakukan komunikasi dalam kehidupan individu dan menganggap bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada saat berkomunikasi (Burgoon dan Ruffner, 1978; Strongman, 2003; & Wulandari, 2004).
Kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri yang berasal dari keinginan dan tekad dan terbentuk dari lingkungan yang ditunjukkan dengan ciri-ciri percaya pada kemampuan diri sendiri, bertindak mengambil keputusan, memiliki rasa positif pada diri sendiri dan berani mengungkapkan pendapat (Afiatin dkk, 1996; Marko Angelis, 2001; Lautsert, 2001; Santrock, 2003; Santoso, 2005; & Martini dan Adiyati dalam Alsa, 2006).
Pelatihan keterampilan social adalah salah satu usaha untuk memberikan keterampilan agar individu mampu berinteraksi dengan orang lain. Menurut Michelson (dalam Baruadi, 2010) keterampilan sosial merupakan suatu keterampilan yang diperoleh individu melalui proses belajar, mengenai cara-cara mengatasi atau melakukan hubungan sosial dengan tepat dan baik.
Mappiare (dalam Baruadi, 2010) mengartikan keterampilan sosial sebagai kemampuan individu dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat di lingkungannya dalam rangka memenuhi kebutuhannya untuk dapat diterima oleh teman sebaya baik sejenis kelamin atau lawan jenis agar ia memperoleh rasa dibutuhkan dan rasa berharga serta meningkatkan rasa percaya diri.
Kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan sendiri sehingga individu tidak terlalu cemas dalam setiap tindakan, dapat bebas melakukan hal-hal yang disukai dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat menerima dan menghargai orang lain, memiliki dorongan berprestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri (Lautser, 2001). Orang yang percaya pada dirinya sendiri dapat mengatasi segala faktor-faktor dan situasi frustasi, bahkan mungkin frustasi ringan tidak akan terasa sama sekali. Tetapi sebaliknya orang yang kurang percaya pada dirinya sendiri akan sangat peka terhadap bermacam-macam situasi yang menekan. Ciri-ciri orang yang percaya diri yaitu percaya pada kemampuan sendiri, bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, memiliki rasa positif terhadap diri sendiri serta berani mengungkapkan pendapat.
Manfaat dari pelatihan keterampilan sosial adalah mengembangkan kepribadian, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis. Keterampilan sosial meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback , memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan berlaku (Matson, 1998). Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah memiliki keterampilan sosial yaitu berkomunikasi agar dapat berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada kenyataannya tidak semua orang dapat berkomunikasi dengan baik.
Para ahli telah mendefinisikan konsep hambatan komunikasi dalam berbagai istilah, seperti perasaan malu dalam menjalin komunikasi, ketidakmampuan untuk berkomunikasi, demam panggung, serta berdiam diri saat menjalin komunikasi. Perasaan cemas atau grogi saat mulai berbicara di depan umum adalah hal yang hampir dialami oleh semua orang terutama pada individu yang berada dalam tahap perkembangan remaja awal. Karena pada masa remaja awal adalah masa transisi sehingga masih dalam tahap pencarian jati diri. dengan demikian, remaja lebih mudah mengalami kecemasan dalam berkomunikasi.
Kecemasan dalam berkomunikasi lebih sering dikarenakan karena adanya pikiran negatif dalam diri individu. Permasalahan utama dalam kecemasan berkomunikasi adalah adanya rasa khawatir tentang respon atau penilaian orang lain terhadap dirinya. Kondisi kecemasan dalam berkomunikasi berdampak terhadap kualitas kehidupan individu, mempengaruhi fungsi sosial dan relasi dengan komunitasnya sehingga dengan memberikan intervensi psikologis untuk menurunkan tingkat kecemasan berkomunikasi di depan umum pada remaja awal, dapat memunculkan perilaku mereka yang mampu berkomunikasi di depan umum tanpa ada perasaan takut.
Kondisi kecemasan berkomunikasi dipengaruhi oleh rasa percaya diri individu. Karena semakin tinggi tingkat kepercayaan diri menandakan semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri menandakan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum.
Dalam pelatihan keterampilan sosial terdapat lima dimensi yaitu peer relation, self management, academic, compliance dan assertion. Aspek yang pertama yaitu peer relationship skill merupakan keterampilan sosialisasi yang menjadi dasar dalam menjalin hubungan interpersonal dimana seorang individu menjadikan orang sebagai model atau contoh yang baik. Aspek yang kedua yaitu self management skill merupakan keterampilan individu dalam mengendalikan kontrol diri, kemampuan dalam berkompromi dengan orang lain serta kemampuan dalam menerima kritikan orang lain dengan baik. Aspek ketiga yaitu academic skill merupakan keterampilan akademis yang berhubungan dengan pergaulan di lingkungan sosial, dan memiliki tanggung jawab serta melakukan pengembangan diri untuk mencapai prestasi yang diharapkan. Aspek keempat yaitu compliance skill merupakan keterampilan individu dalam menjalin hubungan akrab dengan orang lain yang sewajarnya serta dapat mengikuti aturan yang telah ada. Melalui aspek ini individu dapat menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri maupun orang lain serta dapat lebih percaya diri. Aspek terakhir yaitu assertion skill merupakan keterampilan individu dalam memberikan suatu pernyataan secara extrovert (terbuka) dan ramah terhadap orang lain. Melalui aspek ini individu memiliki inisiatif untuk melakukan percakapan dengan orang lain dan memiliki rasa percaya diri yang baik.
Penyebab munculnya kurangnya kepercayaan diri dan kecemasan berkomunikasi adalah pikiran negatif yang muncul dalam benak individu. Pemberian intervensi pelatihan keterampilan sosial dapat membantu individu meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi kecemasan berkomunikasi. Hal ini dikarenakan dalam pelatihan keterampilan sosial diberikan materi yang berisi informasi mengenai keterampilan yang berkaitan dengan berkomunikasi dan bagaimana cara memunculkan perasaan percaya diri. Tujuan pemberian informasi ini adalah untuk mengubah kognitif individu, dengan adanya penambahan wawasan maka, individu menjadi memahami dan mengetahui bagaimana harus bersikap dalam berinteraksi dengan orang lain.
Setelah individu mampu mengubah kognitifnya maka individu merasa tenang karena mendapatkan pengetahuan. Selain itu perubahan kognitif pada individu dapat memunculkan perasaan senang dan lebih percaya diri ketika akan berkomunikasi, baik secara personal maupun di depan umum. Perasaan senang tersebut akan membuat individu merasa nyaman, dengan demikian secara perlahan perilaku individupun dapat berubah, dimana individu akan lebih percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain dan mampu berkomunikasi dengan lancar.\
Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah Pelatihan keterampilan sosial efektif meningkatkan kepercayaan diri pada remaja awal dan Pelatihan keterampilan social efektif menurunkan kecemasan berkomunikasi pada remaja awal.
Metode Penelitian
Subyek pelitian adalah adalah anggota jemaat Komisi Tunas Remaja gereja di Sidoarjo. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan teknik Purposive Sampling, yaitu pemilihan sampel dengan kriteria tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti (Latipun, 2008).
Kriteria subjek dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Remaja awal dengan usia 13-14 tahun dan sedang menempuh pendidikan SMP.
2. Mempunyai kecenderungan memiliki tingkat kepercayaan diri rendah yaitu kurang dari mean ( < mean, M = 22) yang diukur melalui skala kepercayaan diri
3. Kecenderungan memiliki tingkat kecemasan berkomunikasi yang tinggi yaitu lebih dari mean ( > mean, M = 20.6) diukur melalui skala kecemasan berkomunikasi
4. Bersedia mengikuti kegiatan pelatihan karena kesediaan penting agar intervensi dapat berjalan dengan baik apabila subjek bersedia dan memiliki kemauan untuk mengubah dirinya.
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh peeiti, maka dari 20 orang tersebut diseleksi menjadi 16 orang yang dapat memenuhi kriteria tersebut dan menjadi subjek penelitian.
Desain penelitian merupakan rencana atau strategi yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian tersebut (Christensen dalam Seniati, dkk, 2007), oleh karena itu di dalam suatu penelitian harus dirancang sedemikian rupa agar fenomena atau variabel yang ingin diungkap dapat terlihat dengan jelas.
Di dalam penelitian ini digunakan desain praeksperimen dengan metode one group pre and posttest design. Desain penelitian tersebut dipilih dengan mempertimbangkan subjek penelitian dilakukan tanpa randomisasi, dan dengan jalan memberikan perlakuan kepada subjek tanpa adanya kelompok kontrol. Metode one group pre and posttest design merupakan desain eksperimen yang hanya menggunakan satu kelompok subjek (kasus tunggal) serta melakukan pengukuran sebelum dan sesudah pemberian perlakuan pada subjek. perbedaan kedua hasil pengukuran tersebut dianggap sebagai efek perlakuan.
Untuk pengumpulan data dipergunakan Skala kecemasan berkomunikasi. Pengambilan data dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada saat penentuan subjek penelitian, pretest, posttest dan follow up.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil dari analisis data kuantitatif yang menggunakan analisis varian sampel berkorelasi terhadap pretest, posttest dan follow up skor kepercayaan diri diperoleh hasil yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara sebelum pelatihan keterampilan sosial dan setelah pelatihan keterampilan sosial, sedangkan pada posstest dengan follow up yang diadakan 2 minggu setelah pelatihan keterampilan sosial tidak ada perbedaan signifikan. Artinya hasil yang didapat dari pelatihan keterampilan sosial masih dirasakan oleh subjek penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan sosial efektif untuk menaikkan kepercayaan diri remaja awal, dengan demikian hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima.
Hasil dari analisis data kuantitatif yang menggunakan analisis varian sampel berkorelasi terhadap pretest, posttest dan follow up skor kecemasan berkomunikasi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara sebelum pelatihan keterampilan sosial dan setelah pelatihan keterampilan sosial, sedangkan tidak ada perbedaan signifikan antara skor posttest dengan follow up yang diadakan 2 minggu setelah pelatihan keterampilan sosial. Artinya hasil yang didapat dari pelatihan keterampilan sosial masih dirasakan oleh subjek penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan social efektif untuk menurunkan kecemasan berkomunikasi remaja awal, dengan demikian hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima.
Hasil penelitian ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Matson (1998) yang menyatakan bahwa kondisi kecemasan dalam berkomunikasi berdampak terhadap kualitas kehidupan individu, mempengaruhi fungsi sosial dan relasi dengan komunitasnya sehingga dengan memberikan intervensi psikologis untuk menurunkan tingkat kecemasan berkomunikasi di depan umum pada remaja awal, dapat memunculkan perilaku mereka yang mampu berkomunikasi di depan umum tanpa ada perasaan takut.
Selain adanya perbedaan pada selisih skor skala antara pretest, posttest dan follow up pada enam belas orang subjek penelitian, peningkatan kategori rasa percaya diri dan penurunan tingkat kecemasan berkomunikasi dapat dijelaskan dengan analisis kualitatif berupa perilaku yang muncul pada pelatihan. Kondisi pertama kali subjek mengikuti pelatihan cenderung malu untuk memperkenalkan diri, volume suara beberapa subjek ketika berbicara cenderung pelan, kurang berani menyampaikan pendapat ketika sesi materi, ketika diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat cenderung saling tunjuk satu sama lain dan diam. Ketika masuk sesi otbond dan farewell party, subjek terlihat sering melibatkan diri dalam berdiskusi, aktif mengemukakan pendapat, dan yakin dalam mengambil keputusan ketika menyelesaikan permainan. Pada sesi outbond, kebanyakan peserta pelatihan lebih kooperatif dan antusias. Peserta yang sebelumnya menolak untuk menyampaikan pendapat lebih mudah menyampaikan pendapatnya dalam kelompok kecil. Pada saat evaluasi, ada beberapa peserta yang memberikan masukan kepada peneliti untuk memperbanyak sesi permainan dan diskusi agar kemampuan berbicara dan aktif menyampaikan pendapat lebih terasah. Ini menunjukkan peserta menyadari pentingnya percaya diri dan berlatih berkomunikasi.
Hasil skor pretest, posttest dan follow up skala kepercayaan diri menunjukkan kepercayaan diri meningkat setelah diberikan pelatihan keterampilan sosial sejumlah 13 orang dari keseluruhan subjek yang berjumlah 16 orang. Dari 13 orang tersebut terdapat 5 orang yang mengalami peningkatan skor cukup drastis setelah mengikuti pelatihan keterampilan sosial. Adapun 1 orang skor pretest, posttest dan follow up tetap sama yaitu subjek SD, serta 2 orang lainnya yaitu JA dan GM mengalami penurunan setelah diberikan pelatihan keterampilan sosial, hal ini kemungkinan disebabkan ketidak seriusan subjek dalam mengikuti pelatihan keterampilan sosial dan kurang berkonsentrasi.
Hasil skor pretest, posttest dan follow up skala kecemasan berkomunikasi menunjukkan kecemasan dalam berkomunikasi semua subjek mengalami penurunan setelah diberikan perlatihan keterampilan sosial. Hanya 5 orang subjek yang mengalami sedikit penurunan skor skala yaitu TE, SR, SD, VS dsn GM.
Setelah diberikan pelatihan keterampilan sosial, remaja gereja X berusaha untuk menerapkan pengetahuan yang telah didapatkan dalam kehidupan sehari-hari, karena melalui bekal keterampilan sosial, individu dapat melakukan hubungan yang baik dan memuaskan bagi dirinya maupun orang lain disekitarnya (Adiyanti, 1999).
Keterampilan sosial terdapat aspek-aspek yang mempengaruhinya terdiri dari lima dimensi. Aspek pertama peer relationship skill merupakan keterampilan dalam sosialisasi yang menjadi dasar bagi individu dalam menjalin hubungan interpersonal yang baik. Setelah diberikan pelatihan keterampilan sosial, subjek berusaha menjalin hubungan menjadi lebih baik melalui interaksi dengan orang lain. Hal ini terlihat ketika pada sesi perkenalan, satu sama lain subjek ada yang belum saling kenal. Pada awalnya mereka saling diam dan tidak bertegur sapa. Namun setelah sesi materi berlangsung, subjek mulai dapat berinteraksi satu sama lain.
Aspek kedua self management skill merupakan keterampilan individu dalam mengendalikan kontrol diri, kemampuan dalam berkompromi dengan orang lain serta kemampuan dalam menerima kritikan orang lain dengan baik. Hal ini terlihat ketika sesi outbond pada permainan di pos 4 yaitu square ship, setiap subjek saling memberikan pendapat untuk memikirkan bagaimana caranya semua anggota kelompok dapat masuk dalam satu kotak, satu sama lain saling berkompromi bagaimana agar tujuan mereka tercapai.
Aspek ketiga academic skill merupakan keterampilan akademis yang berhubungan dengan pergaulan di lingkungan sosial, melalui kemampuan ini individu dapat lebih produktif dan mandiri. Selama pelatihan keterampilan sosial berlangsung, beberapa subjek terlihat pasif, diam dan suka menghindar dari pertanyaan meskipun ada juga subjek yang bersikap proaktif. Ada saah satu subjek yang meskipun ditanya trainer hanya tersenyum saja, pada akhirnya ketika ada subjek lain yang beranimengungkapkan pendapat, subjek ini mencoba untukmemberanikan diri untuk berbicara meskipun harus dengan paksaan.
Aspek keempat compliance skill merupakan keterampilan individu dalam menjalin hubungan akrab dengan orang lain yaitu keterampilan berkomunikasi. Melalui berkomunikasi, subjek dapat menyampaikan infomasi dengan lebih baik dan mudah. Pada saat diberikan pelatihan keterampilan sosial di sessi pertama yaitu pemberian materi singkat, beberapa subjek terlihat diam dan tegang, namun pada saat akan memasuki sesi 2 yaitu mulai pembagian kelompok, subjek mulai bersikap santai dan aktif.
Aspek kelima assertion skill merupakan keterampilan individu dalam memberikan suatu pernyataan secara terbuka dan ramah terhadap orang lain. Melalui assertion skill subjek menjadi memiliki keberanian dalam menyampaikan pendapatnya. Pada saat sesi tanya jawab setelah penyampaian materi, hanya ada 3 orang yang berani bertanya dan terlibat sesi tanya jawab. Namun, ketika sesi diskusi setelah outbond, beberapa subjek mulai percaya diri dan berani mengungkapkan pendapatnya.
Berdasarkan pembahasan diatas, diketahui kelima aspek keterampilan sosial memiliki keterkaitan satu sama lain. bilamana kelima aspek tersebut terus dikembangkan dan dipraktekkan secara berkesinambungan maka akan memunculkan rasa percaya diri dan keberanian menyampaikan pendapat sehingga tidak ada lagi perasaan minder dan cemas dalam berkomunikasi.
Hal-hal yang mendukung keberhasilan pelatihan adalah modul pelatihan. Dimana rancangan pelatihan banyak menggunakan permainan- permainan yang mengacu pada tujuan meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi kecemasan berkomunikasi remaja. Konsep pelatihan ini disusun sesuai peserta yaitu remaja, dimana konsepnya lebih santai, menarik dan menyenangkan bagi remaja. Dengan permainan dan sedikit materi yang diberikan trainer lebih mudah dicerna oleh remaja, dengan demikian subjek mampu menyerap materi yang disampaikan trainer, sehingga hasil yang didapat dari pelatihan lebih mudah diingat oleh subjek.
Penelitian ini juga memiliki keterbatasan dan kelemahan, yaitu pertama tidak adanya kelompok kontrol, disebabkan peneliti mengalami kesulitan dalam mencari kelompok kotrol yang kategorinya terbatas. Tidak adanya kelompok kontrol menjadikan validitas internalnya masih lemah karena adanya variabel ekstraneous yang belum dikendalikan.
Kelemahan yang kedua adalah pemilihan desain penelitian, desain penelitian akan lebih efektif apabila dilakukan beberapa kali atau lebih dari 1 kali dan berlangsung secara berkesinambungan, sehingga hasil penelitian akan tampak lebih optimal. Keterbatasn ini hendaknya diperhatikan agar penelitian selanjutnya menjadi lebih baik secara kualitas dan aplikasinya.
Kesimpulan dan Saran
Penelitian inimengenai pelatihan keterampilan social dalam meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi kecemasan berkomunikasi yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas pelatihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi kecemasan berkomunikasi remaja. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja awal yang berusia 13-14 tahun, karena pada fase remaja awal merupakan masa pencarian jati diri dan sering mengalami krisis identitas. Kasus dalam penelitian ini adalah remaja mengalami krisis kepercayaan diri dan kecemasan berkomunikasi. Sehingga, peneliti memberikan intervensi berupa pelatihan keterampilan sosial untuk mengatasi masalah remaja tersebut.
Pelatihan keterampilan sosial diberikan selama 1 hari penuh di ruangan terbuka yaitu di kebun raya purwodadi dengan konsep alam terbuka. Pelatihan terdiri dari 3 sessi, yaitu diawali dengan sessi perkenalan, kemudian masuk pada sesi materi singkat, outbond yang berisi games2, dan farewell party yang dapat mengakrabkan subjek satu sama lain. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian dan pembahasan adalah pelatihan keterampilan social dapat meningkatkan kepercayaan diri dan menurunkan kecemasan berkomunikasi pada remaja awal.
Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagi subjek penelitian. Pada dasarnya pelatihan keterampilan sosial merupakan bekal bagi masa depan, maka dari itu pengetahuan keterampilan sosial yang telah diterima terus dikembangkan dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai hasil yang lebih baik seperti lebih berani untuk memulai pembicaraan dengan orang lain, memberanikan diri dalam mengeluarkan pendapat, percaya diri pada saat presentasi di depan kelas dengan mempersiapkan materi yang akan dibicarakan pada saat presentasi.
2. Bagi sekolah. Karena waktu remaja lebih banyak dihabiskan di sekolah, hal ini membuat peran guru di sekolah menjadi multifungsi sebagai orang tua dan juga sebagai teman. Anak yang menunjukkan perilaku kurang percaya diri dan kecemasan dalam berkomunikasi, pihak sekolah dapat memberikan kegiatan yang banyak melibatkan siswa-siswi, sehingga kemampuan komunikasinya dapat tersalurkan. Kegiatan yang dimaksud dapat berupa kegiatan lomba debat, lomba pidato, dan lomba cerdas cermat.
3. Bagi orangtua dan masyarakat. Masyarakat sekitar diharapkan berperan untuk meningkatkan rasa percaya diri dan mengurangi kecemasan berkomunikasi pada remaja dengan cara memberikan kesempatan kepada anak remaja untuk mengungkapkan yang dirasakan dan dipikirkan tanpa menyela pembicaraan mereka dan meremehkan pendapat mereka.
4. Bagi peneliti selanjutnya. Penelitian ini masih banyak terdapat keterbatasan dan kekurangan, oleh sebab itu bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian serupa hendaknya memperhatikan desain penelitian dengan menggunakan kelompok kontrol (kelompok pembanding) agar hasil penelitian akan lebih tampak perubahan. Peneliti selanjutnya sebaiknya menambah waktu pelatihan. Pelatihan akan lebih efektif apabila dilakukan beberapa kali atau lebih dari 1 kali dan berlangsung secara berkesinambungan, sehingga hasil penelitian akan tampak lebih optimal. Selain itu peneliti selanjutnya dapat mengaitkan variabelnya dengan melihat jenis kelamin, usia atau tingkat pendidikan. Adanya perbedaan tersebut dapat membuat model pelatihan keterampilan sosial lebih detail.
Daftar Pustaka
Asmadi, A. (2006). Hubungan Antara Dukungna Sosial Orangtua Dengan Kepercayaan Diri Remaja Penyandang Cacat Fisik. Jurnal Psikologi, 1(1), 40-48.
Angelis, B. D. (2005). Confidence: Percaya Diri Sumber Sukses dan Kemandirian. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Aswid, W., Marjohan dan Syukur, Y. (2012). Efektifitas Layanan Bimbingan Kelompok Dalam Mengurangi Kecemaan Berkomunikasi Pada Siswa. Jurnal Ilmiah Konseling, 1(1), 1-11. Retrieved Juni, 5, 2014, from http://ejournal.unp. ac.id/index/php/konselor.
Atkinson, K. C dan Benn, D. J. (1996). Pengantar Psikologi jili II (edisi XI). Alih bahasa: Kusuma. W. Jakarta: Erlangga.
Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Barlow, D dan Durand, M. (2006). Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Barus, G. (2005). Komunikasi Interpersonal Suami Istri Menuju Keluarga Harmonis. Makasar: Jurnal Intelektual
Burgoon, M dan Ruffner, M. (1978). Human Communication: a Revision of Approaching speech or communication. New York: Rineheart & Winston. Cangara, H. 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Daradjat, Z. 1990. Kesehatan Mental. Jakarta: Haji MAsagung.
Devito, J. A. (2001). The Interpersonal Communication Book. New York: Harper Collins College Publisher.
Dewi, A. P dan Andiyanto, S. (2006). Hubungan Antara Pola Pikir Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Keguruan. E-Jurnal.
Enjang. (2009). Komunikasi Konseling. Bandung: Nuansa Cendekia
Ernawati, S dan Fatma, A. (2012). Pendekatan Perilaku Kognitif Dalam Pelatihan Keterampilan mengelola Kecemasan Berbicara di Depan Umum. Jurnal Talenta Psikologi, 1(1), 39-65.
Hidayah, N., dan Mira. S. R. (2009). Efektifitas Pelatihan Keterampilan Sosial Terhadap Penyesuaian diri Sosial Pada Anaka Berbakat Intelektual di Program Akselerasi. Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya. Retrieved Juli, 9, 2014, from http://ejournal.unesa.ac.id/
Hurlock, E. B. (1993). Psikologi Perkembangan (Edisi ke-5). alih bahasa: Istiwidayanti dan soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Kartono, K dan Dali, D. (2003). Kamus Psikologi. Bandyng: Pionir Jaya.
Kelly, J. A. (1982). Social Skill Training. New York: Springer Publishing Company, inc.
Latipun. (2008). Psikologi Eksperimen. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.
Lautser, P. (2001). Tes Kepribadian. Alih bahasa: D. H. Gulo. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Maramis, W.F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi Kedua Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University Press.
Mardiyah, H. S., dan Sutijono. (2013). Efektivitas Teknik Permainan Dialog Dalam Konseling Kelompok Gestalt Untuk Mengurangi Kecemasan Komunikasi Siswa Pada Proses Belajar Mengajar Di Kelas. Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya. Retrieved Juli, 9, 2014, from http://ejournal.unesa.ac.id/
Merrel, K. W dan Gimpel, G. A. (1998). Social Skill of Children and Adolecents Concptualization, Assessment, Treatment. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Monks, dkk. (1998). Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya (cetakan ke-11). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muslimin, K. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Berkomunikasi di Depan Umum (Kasus Mahasiswa Fakultas Dakwah INISNU Jepara). Jurnal Interaksi, 2(2), 42-52.
Nevid, J. (2003). Psikologi Abnormal jilid 1 (edisi kelima). Jakarta: Erlangga.
Novianto, M. H dan Nastiti, D. 2013. Metode Mind Mapping Untuk Mengurangi Kecemasan Menjelang Ulangan Pada Mata Pelajaran Sosisologi. Psikologia, 2, 29-37.
Pujiono, P dan Muhari. 2014. Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Tingkat Communication Apprehension pada Mahasiswa Prodi Psikologi Angkatan 2009 Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Online Universita Negeri Surabaya. Retrieved Juli, 9, 2014, from http://ejournal.unesa.ac.id/
Purwati, Sri., Sugiyo dan Tajri, I. (2012). Model Bimbingan Kelompok Dengan Teknik Fun Game Untuk Mengurangi Kecemasan Berbicara di Depan Kelas. Jurnal Bimbingan Konseling, 1(2), 81-87. Retrieved Juni, 5, 2014, fromhttp.//journal. unnes.ac.id/sju/index.php/jubk
Rahayu, I. T. (2004). Pengaruh Pengembangan diri Terhadap Peningkatan Berpikir Positif dan Penurunan Kecemasan Berbicara di Depan Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjag Mada. TESIS (tidak diterbitkan).
Rahmi, T. (2010). Efektivitas Pelatihan Keterampilan Sosial Pada Peningkatan
Kompetensi Interpersonal Mahasiswa. Jurnal RAP Psikologi UNP, 1(1). Rakhmat, J. (2002). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remadja Karya
Rakhmat, J. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remadja Karya
Ramdhani, N. (1994). Pelatihan Keterampilan Sosial pada Mahasiswa yang Sulit Bergaul. Yogyakarta: PAsca Sarjana UGM. TESIS
Sa’diyah, K. (2005). Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan Komunikasi Interpersonal Pada Penyandang Cacat Tunarungu. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. SKRIPSI.
Santrock, J. W. (2003). Perkembangan Masa Hidup Jilid I (ediksi ke5). Alih bahasa: Juda Damanik & Achmad Chusairi. Jakarta: Penerbit: Erlangga.
Santrock, J. W. (2004). Adolescence: Perkembangan Remaja. Alih bahasa: ShintoB. Adelar & Sherly Saragih. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Strongman, K. T. (2003). The Psychology of Emotion: From Everyday Life to Theory. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd.
Sugiharto, D.Y.P., Mastur dan Sukuman. (2012). Konseling Kelompok Dengan Teknik Restrukturisasi Kognitif Untuk meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa. Jurnal Bimbingan Konseling, 1(2), 74-80. Retrieved Juni, 5, 2014, rom http.//journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jubk
Suryabrata, S. (2007). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suseno, M. (2009). Pengaruh Pelatihan Komunikasi Interperonal Terhadap Efikasi Sebagai Pelatih Pada Mahasiswa. Jurnal Intervensi Psikologi Volume 1 nomor 1
Uchjana, O. (2005). Ilmu Komunikasi (Teori dan Praktek). Bandung: Remaja Rosdakarya
Wahyuni, S. (2014). Hubungangan Antara Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Berbicara di depan Umum Pada Mahasiswa Psikologi. eJournal Psikologi, 2(1), 50-64. Retrieved Juni, 5, 2014, from ejournal.psikologi. fisip-unmul.ac.id.
Weningtyas, E dan Miftahun N. S. (2012). Pengaruh Komunikasi Interpersonal dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Konsumen. Psikologika, 17, 33-42.
Winkel, W. S. (1997). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Pt. Gramedia Wirasaana Indonesia.
Wiryanto. (2004). Pengatar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Wulandari, L. H. 2004. Efektifitas Modifikasi Perilaku Kognitif Untuk Mengurang Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi. Medan: FK USU. SKRIPSI. Zeviera, F. 2007. Teori Kepribadian. Yogyakarta: Ar-Russ Media.
Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya