Artikel 5

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 624 kali

PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL DALAM MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI DAN MENGURANGI KECEMASAN BERKOMUNIKASI PADA REMAJA AWAL

 

Asyer Dini Meritai

Program Studi Magister Psikologi Profesi

Fakultas Psikologi Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Surabaya

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pelatihan keterampilan sosial   untuk   meningkatkan   kepercayaan   diri   dan   mengurangi kecemasan berkomunikasi remaja. Pelatihan keterampilan sosial dapat mengubah persepsi kognitif individu  kemudian mengubah afeksinya setelah itu perilakunya dalam berinteraksi dengan orang lain. Desain penelitian yang digunakan studi pra eksperimen dengan metode one group   pre   and  posttest   design,   pengumpulan  datanya  menggunakan   skala kepercayaan diri dan skala  kecemasan berkomunikasi. Subjek penelitian adalah remaja awal berusia 13-14 tahun, skor rendah pada skala kepercayaan diri dan skor tinggi pada skala kecemasan berkomunikasi. Hasil dari penelitian ini adalah pelatihan keterampilan sosial yang diadakan selama sehari penuh terdiri dari 3 sessi (perkenalan dan materi dingkat, outbond, farewell party) dapat meningkatkan kepercayaan diri dan menurunkan kecemasan berkomunikasi pada remaja awal.

Kata Kunci: Kepercayaan diri, kecemasan berkomunikasi, pelatihan keterampilan social

 

 

Pendahuluan

Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa, khususnya memasuki masa remaja awal. hal ini dikarenakan masa remaja awal merupakan masa gejolak dimana individu menghadapi persoalan dan tantangan, konflik serta kebingung-an dalam proses menemukan identitas dirinya (Hurlock, 2002).  Menurut  Hurlock  (2002),  dalam  pencarian  jati  dirinya,  lingkungan sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian dan pola pikir remaja. Remaja  sebagai  makhluk  sosial  membutuhkan  interak-si  dengan  orang  lain, untuk mengeta-hui sekitar bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya.

Dalam menjalin interaksi,  indi-vidu  membutuhkan  komunikasi  antar pribadi. Melalui komunikasi manusia dapat menyampaikan pesan atau infor-masi kepada  orang  lain   (Cangara,  1998). Menurut  Wood  (dalam  Enjang,  2009) komunikasi  merupakan  satu  proses  sistematis  dalam  interaksi antar individu,dengan            menggunakan berbagai symbol dalam rangka menciptakan dan menginterpretasi makna atau arti. Devito (dalam Barus, 2005) menegaskan bahwa karena sifat  yang  interpersonal  dalam  komunikasi antar pribadi maka komuni-kasi menjadi unsure paling penting dalam    membentuk pribadi, menggerak-kan  partisipasi,  memodifikasi  sikap  perilaku  individu.   Selain  itu komu-nikasi  dapat  meningkatkan  relasi,  menyehatkan jiwa,memberdayakan indi-vidu, dan bahkan ampuh dalam  menga-tasi konfilk kepentingan (Barus, 2005).

Komunikasi itu sendiri menurut Roger dan Lawerence (dalam Cangara, 1998)  adalah  suatu  proses  dimana  dua  orang  atau  lebih  membentuk  atau melakukan  pertukaran  informasi  antar individu  dengan  individu  lainnya  yang pada  gilirannya  akan  tiba   pada  saling  pengertian  yang  mendalam.  Proses komunikasi pada hakikatnya adalah poses  penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain. Kemampuan  mengungkapkan pikiran secara lisan  memerlukan  kemampuan  penguasaan  bahasa  yang   baik   agar  mudah dimengerti oleh orang lain dan membutuhkan pembawaan diri yang tepat.

Dalam berbagai situasi kehidupan, individu membutuhkan komunikasi, baik verbal maupun non-verbal. Dalam hal ini individu dituntut untuk berbicara, mengemukakan pendapat  dan ide-idenya secara lisan di depan orang banyak. Namun,  tidak  semua  manusia  mampu  mengungkapkan  pikirannya,  sehingga individu  tersebut  mengalami  hambatan  dalam  berkomunikasi  (Aswid,  2012).

Salah  satu  hambatan  berkomunikasi  adalah  kecemasan  dalam  berkomunikasi. Menurut McCroskey (dalam Aswid, 2012), kecemasan berkomunikasi merupakan suatu level ketakutan atau kecemasan seseorang, baik nyata maupun hanya prasangka, berkaitan dengan komunikasi dengan orang lain ataupun dengan orang banyak.

Menurut Wallechinsky (dalam Ernawati, 2012) meranking sepuluh besar ketakutan manusia, sebanyak 41% menyatakan bahwa berbicara di depan umum merupakan   ketakutan   tertinggi.   Pada   tahun   1991,   Chicago   Tribune   juga melakukan  polling  tentang  sumber  ketakutan  terbesar  manusia  dan  hasilnya ketakutan untuk berbicara di depan umum menjadi  sumber ketakutan tertinggi. Dari penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh PKBI menyebutkan bahwa 19% remaja Yogyakarta mengalami masalah berkomunikasi (Ernawati, 2012).

Berdasarkan  penelitian  Mardiyah  dan  Sutijono  (2012)  di  Surabaya menyebutkan bahwa Beberapa Indikasi kecemasan komunikasi juga dialami oleh beberapa  siswa-siswi  di   SMA  Negeri  13  Surabaya  tepatnya  di  kelas  X-4. Berdasarkan observasi, yang dilakukan sebelumnya di SMA Negeri 13 Surabaya, hasil  menunjukkan  bahwa terdapat  12.5%  siswa   yang  memiliki  kecemasan komunikasi dalam kategori tinggi.

Menurut observasi Purwati (2012) bahwa siswa SMP mengalami kecemasan berbicara di depan kelas, hal ini ditandai  masih terdapatnya siswa  yang tidak berani maju ke  depan kelas, cenderung diam ketika  mendapatkan kesempatan bertanya, terdapat siswa yang terlihat gemetar,  tegang, gelisah,  gugup,  muka pucat,  duduknya tidak tenang, mengalihkan pembicaraan, menggerak-gerakkan anggota tubuh, memainkan alat tulis, atau yang lainnya, pandangan mata kosong, mengeluarkan keringat dingin, terutama pada saat diberi pertanyaan oleh guru atau disuruh maju dan terdapat siswa yang hanya diam ketika sedang diskusi.

Rahayu (2004), memaparkan hasil penelitiannya di semarang, yang menyatakan bahwa semakin seseorang berpola pikir  positif   maka  semakin  rendah  kecemasan  berbicara  di  depan  umum. Sebaliknya semakin seseorang  berpola pikir negatif, maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum.

Kecemasan  berkomunikasi  timbul  apabila  individu  membangun  pesan- pesan  yang   negatif  dan  memperkirakan  hal-hal  yang  negatif  sebagai  hasil keikutsertaannya  dalam  interaksi  komunikasi  (Prasetya  dkk  2003).  

Menurut Osburne (dalam Dewi, 2006), perasaan cemas muncul karena takut secara fisik terhadap  pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut bahwa dirinya akan menjadi  tontonan  orang,  takut  bahwa  apa  yang  dikemukakan  mungkin  tidak pantas, dan rasa takut bahwa dirinya akan membosankan.

Menurut Rahmat (2009), ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai     communication            apprehension. Individu yang apprehensive dalam berkomunikasi akan menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin untuk berkomunikasi dan hanya berbicara apabila     terdesak. Apabila individu mempunyai  rasa  keberanian yang kurang, ia akan mengalami kesulitan untuk mengkomunikasikan   gagasannya  dengan  orang  lain  dan  menghindar  untuk berbicara di depan umum karena takut orang lain mengalahkannya.

Kondisi  kecemasan  dalam  berkomunikasi  berdampak  terhadap  kualitas kehidupan individu, mempengaruhi fungsi sosial dan relasi dengan komunitasnya. Beberapa faktor yang menyebabkan kecemasan dalam berbicara di depan umum cenderung  menyebabkan  individu   merekam  dipikiran  bawah  sadarnya,  baik secara  visual,  auditory,  kinestetik,  maupun   hal-hal  yang  berdampak  pada kepercayaan diri saat berbicara di depan umum. Salah satu  faktor yang paling menentukan  terjadinya  kecemasan   dalam   berkomunikasi  adalah   kurangnya percaya diri (Rakhmat, 2002).

Menurut  penelitian  Sa’diyah  (2005),  meyatakan  bahwa  ada  hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal. Hal ini sejalan dengan hasil  penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2014) yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan diri menandakan semakin rendah  tingkat  kecemasan  berbicara  di depan umum.  Begitu  pula sebaliknya, semakin   rendah   kepercayaan   diri   menandakan   semakin   tinggi   kecemasan berbicara di depan umum. Berdasarkan observasi yang dilakukan Muhari (2014)  menyatakan bahwa pa da  sa a t  me la kuka n  pre se nta si  di ke la s, me nge rj a ka n tu ga s kelompok dan saat diberikan pertanyaan oleh guru sebagian besar siswa cenderung diam dan pasif.

Kepercayaan  diri  merupakan  suatu  sikap  atau  perasaan  yakin  atas kemampuan sendiri sehingga individu tidak terlalu cemas dalam setiap tindakan, dapat bebas melakukan hal-hal yang disukai dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan, hangat dan  sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat menerima dan menghargai orang lain, memiliki dorongan berprestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri (Lautser,  2001).

Daradjat (1990) mengatakan bahwa kepercayaan diri adalah kepercayaan diri sendiri yang ditentukan oleh pengalaman-pengalaman yang dilalui sejak kecil. Orang yang percaya  pada  dirinya  sendiri  dapat  mengatasi  segala  faktor-faktor  dan  situasi frustasi, bahkan mungkin  frustasi ringan tidak akan terasa sama sekali. Tetapi sebaliknya orang yang kurang percaya  pada dirinya sendiri akan sangat peka terhadap bermacam-macam situasi yang menekan.  Ciri-ciri orang yang percaya diri yaitu percaya pada kemampuan sendiri, bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, memiliki rasa positif terhadap diri sendiri serta berani mengungkapkan pendapat.

Menurut  Martani  (dalam  Asmadi,  2006)  kepercayaan  diri  merupakan sesuatu  yang  terbentuk  dari  interaksi  dan  berkembang  melalui  proses  belajar secara individul maupun sosial. Hal ini sejalan dengan pendapat Lautser (2001), rasa percaya diri bukan merupakan  sifat yang diturunkan melainkan diperoleh dari pengalaman hidup, serta dapat diajarkan dan  ditanamkan, sehingga upaya- upaya tertentu dapat dilakukan guna membentuk dan meningkatkan rasa percaya diri.

Seseorang belajar mengenal diri sendiri melalui interaksi sosial secara langsung.   Kepercayaan   diri   individu   akan   sangat   dipengaruhi   oleh   masa perkembangan yang  sedang dilaluinya terutama bagi remaja. Kepercayaan diri mudah   berubah  tergantung  pada   pengalaman-pengalaman   dalam   hubungan interpersonal. Secara positif Musen (1979) melihat pengalaman sebagai sarana mencapai kematangan dan perkembangan kepribadian. Namun, pengalaman tidak selalu memberikan umpan balik yang positif. Bila umpan balik yang  diperoleh remaja positif maka kepercayaan dirinya akan membaik, sebaliknya jika umpan balik   yang   diterimanya   sering   kali   negatif,  hal ini akan mempengaruhi kepercayaan diri (Budi Andayani dan Tina, 1996).

Pelatihan  keterampilan  sosial  merupakan  salah  satu  teknik  modifikasi perilaku yang mulai banyak digunakan, terutama untuk membantu meningkatkan kepercayaan  diri dan menurunkan kecemasan berkomunikasi Pelatihan keterampilan sosial bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain, baik dalam hubungan formal maupun informal.

Lima dimensi tingkah laku dalam menggolongkan tingkat keterampilan sosial  bagi  anak-anak  dan  remaja  meliputi  peer  relation,  self  management, academis compliance dan  assertion skill. Menurut Merrel dan Gimpel (1998) dimensi inilah yang menjadi implikasi penting bagi pengembangan keterampilan sosial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2009) mengenai efektifitas pelatihan keterampilan sosial terhadap penyesuaian diri sosial pada anak berbakat intelektual  di  program  akselarasi  menunjukkan  bahwa  ada  pengaruh  yang signifikan  dalam  pemberian  pelatihan  keterampilan  sosial  yang  didalamnya terdapat lima dimensi tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas pelatihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kepercayaan diri dan mengetahui  efektifitas  pelatihan  keterampilan  sosial  untuk  menurunkan kecemasan berkomunikasi pada remaja awal.

Kecemasan adalah keadaan suasana dan perasaan yang tidak aman dan khawatir akan masa  depan yang ditandai dengan gejala fisik, perilaku dan pikiran (Daradjat, 1990; Ollendick dalam Ambardini, 1992; Maramis, 1995; Atkinson 1996; Sobur, 2003; dan Nevid, 2005)

Kecemasan  berkomunikasi adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan ketika  harus melakukan komunikasi dalam kehidupan individu dan menganggap bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada saat berkomunikasi (Burgoon dan Ruffner, 1978; Strongman, 2003; & Wulandari, 2004).

Kepercayaan  diri  merupakan  suatu  sikap  atau  perasaan  yakin  atas kemampuan diri sendiri yang berasal dari keinginan dan tekad dan terbentuk dari lingkungan yang ditunjukkan dengan ciri-ciri percaya pada kemampuan diri sendiri,  bertindak mengambil keputusan, memiliki rasa positif pada diri sendiri dan berani mengungkapkan pendapat (Afiatin dkk, 1996; Marko Angelis, 2001; Lautsert, 2001; Santrock, 2003; Santoso, 2005;  & Martini dan Adiyati dalam Alsa, 2006).

 

Pelatihan keterampilan social adalah salah satu usaha untuk memberikan keterampilan agar individu mampu berinteraksi dengan orang lain. Menurut Michelson (dalam Baruadi, 2010) keterampilan sosial merupakan suatu keterampilan yang diperoleh individu melalui proses belajar, mengenai cara-cara mengatasi atau melakukan hubungan sosial dengan tepat dan baik.

Mappiare  (dalam Baruadi, 2010) mengartikan keterampilan sosial sebagai kemampuan individu dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat di lingkungannya dalam rangka memenuhi  kebutuhannya untuk dapat diterima oleh teman sebaya baik sejenis kelamin atau lawan jenis agar ia memperoleh rasa dibutuhkan dan rasa berharga serta meningkatkan rasa percaya diri.

Kepercayaan  diri  merupakan  suatu  sikap  atau  perasaan  yakin  atas kemampuan   sendiri  sehingga  individu  tidak  terlalu  cemas  dalam  setiap tindakan, dapat bebas melakukan hal-hal yang disukai dan bertanggung jawab atas segala  perbuatan yang dilakukan, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan  orang  lain,  dapat  menerima  dan  menghargai  orang  lain,  memiliki dorongan  berprestasi  serta  dapat  mengenal  kelebihan  dan  kekurangan diri (Lautser, 2001). Orang yang percaya pada  dirinya sendiri dapat mengatasi segala faktor-faktor dan situasi frustasi, bahkan mungkin frustasi ringan tidak akan terasa sama sekali. Tetapi sebaliknya orang yang kurang percaya pada dirinya  sendiri  akan  sangat  peka  terhadap  bermacam-macam  situasi  yang menekan.  Ciri-ciri orang yang percaya diri yaitu percaya pada kemampuan sendiri, bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, memiliki rasa positif terhadap diri sendiri serta berani mengungkapkan pendapat.

Manfaat dari pelatihan keterampilan sosial adalah  mengembangkan kepribadian, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis. Keterampilan sosial            meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback , memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan berlaku (Matson, 1998). Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah memiliki keterampilan sosial yaitu berkomunikasi agar  dapat berinteraksi  dengan  orang  lain  dalam  kehidupan  sehari-hari.  Namun  pada kenyataannya tidak semua orang dapat berkomunikasi dengan baik.

Para ahli telah mendefinisikan konsep hambatan komunikasi dalam berbagai istilah,           seperti  perasaan malu  dalam   menjalin komunikasi, ketidakmampuan untuk berkomunikasi, demam panggung, serta berdiam diri saat menjalin komunikasi. Perasaan cemas atau grogi saat mulai berbicara di depan umum adalah hal yang hampir dialami oleh semua orang terutama pada individu yang berada dalam tahap  perkembangan remaja awal. Karena pada masa remaja awal adalah masa transisi sehingga masih dalam tahap pencarian jati diri. dengan demikian, remaja lebih mudah mengalami kecemasan dalam berkomunikasi.

Kecemasan  dalam  berkomunikasi  lebih  sering  dikarenakan  karena adanya   pikiran  negatif  dalam  diri  individu.  Permasalahan  utama  dalam kecemasan  berkomunikasi adalah adanya rasa khawatir tentang respon atau penilaian orang lain terhadap dirinya. Kondisi kecemasan dalam berkomunikasi berdampak terhadap     kualitas kehidupan individu, mempengaruhi fungsi sosial dan relasi dengan komunitasnya sehingga dengan memberikan  intervensi  psikologis  untuk  menurunkan   tingkat  kecemasan berkomunikasi  di  depan  umum  pada  remaja  awal,  dapat   memunculkan perilaku  mereka  yang  mampu  berkomunikasi  di  depan  umum  tanpa  ada perasaan takut.

Kondisi kecemasan berkomunikasi dipengaruhi oleh rasa percaya diri individu.   Karena  semakin  tinggi  tingkat  kepercayaan  diri  menandakan semakin rendah tingkat  kecemasan berbicara di depan umum. Begitu pula sebaliknya,  semakin  rendah  kepercayaan  diri  menandakan  semakin  tinggi kecemasan berbicara di depan umum.

Dalam pelatihan keterampilan sosial terdapat lima dimensi yaitu peer relation, self management, academic, compliance dan assertion. Aspek yang pertama yaitu peer relationship skill merupakan keterampilan sosialisasi yang menjadi  dasar  dalam  menjalin   hubungan  interpersonal  dimana  seorang individu menjadikan orang sebagai model atau contoh yang baik. Aspek yang kedua yaitu self management skill merupakan keterampilan  individu dalam mengendalikan kontrol diri, kemampuan dalam berkompromi dengan orang lain  serta  kemampuan  dalam  menerima  kritikan  orang  lain  dengan  baik. Aspek ketiga  yaitu academic skill merupakan keterampilan akademis yang berhubungan dengan pergaulan di lingkungan sosial, dan memiliki tanggung jawab  serta  melakukan  pengembangan  diri  untuk  mencapai  prestasi  yang diharapkan. Aspek keempat yaitu  compliance skill merupakan keterampilan individu dalam menjalin hubungan akrab dengan orang lain yang sewajarnya serta dapat mengikuti aturan yang telah ada. Melalui aspek ini individu dapat menerima  kelebihan  dan  kekurangan  diri sendiri  maupun  orang lain  serta dapat  lebih  percaya  diri.  Aspek  terakhir  yaitu  assertion  skill  merupakan keterampilan  individu dalam memberikan suatu pernyataan secara extrovert (terbuka) dan ramah terhadap orang lain. Melalui aspek ini individu memiliki inisiatif untuk melakukan percakapan  dengan  orang lain dan memiliki rasa percaya diri yang baik.

Penyebab  munculnya  kurangnya  kepercayaan  diri  dan  kecemasan berkomunikasi adalah pikiran negatif yang muncul dalam benak individu. Pemberian intervensi pelatihan keterampilan sosial dapat membantu individu meningkatkan  kepercayaan diri dan mengurangi kecemasan berkomunikasi. Hal  ini  dikarenakan  dalam  pelatihan  keterampilan  sosial  diberikan  materi yang   berisi   informasi   mengenai   keterampilan   yang   berkaitan   dengan berkomunikasi  dan  bagaimana  cara  memunculkan  perasaan  percaya  diri. Tujuan pemberian informasi ini adalah untuk  mengubah kognitif individu, dengan adanya penambahan wawasan maka, individu menjadi memahami dan mengetahui bagaimana harus bersikap dalam berinteraksi dengan orang lain.

Setelah individu mampu mengubah kognitifnya maka individu merasa tenang karena mendapatkan pengetahuan. Selain itu perubahan kognitif pada individu dapat  memunculkan perasaan senang dan lebih percaya diri ketika akan berkomunikasi, baik secara personal maupun di depan umum. Perasaan senang tersebut akan membuat individu  merasa nyaman, dengan demikian secara perlahan perilaku individupun dapat berubah,  dimana individu akan lebih  percaya  diri  dalam  berinteraksi  dengan  orang  lain  dan   mampu berkomunikasi dengan lancar.\

Berdasarkan   uraian   diatas,   maka   hipotesis   yang   diajukan   pada penelitian ini adalah Pelatihan keterampilan sosial efektif meningkatkan kepercayaan diri pada remaja awal dan Pelatihan keterampilan social efektif menurunkan kecemasan berkomunikasi pada remaja awal.

 

Metode Penelitian

Subyek pelitian adalah adalah anggota jemaat Komisi Tunas Remaja  gereja  di Sidoarjo.  Teknik pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan  teknik  Purposive  Sampling,  yaitu  pemilihan  sampel  dengan kriteria  tertentu  sesuai  yang  dikehendaki  peneliti  (Latipun,  2008).  

Kriteria subjek dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Remaja awal dengan usia 13-14 tahun dan sedang menempuh pendidikan SMP.

2. Mempunyai kecenderungan memiliki tingkat kepercayaan diri rendah yaitu kurang dari mean ( < mean, M = 22) yang diukur melalui skala kepercayaan diri

3. Kecenderungan  memiliki  tingkat  kecemasan  berkomunikasi  yang  tinggi yaitu lebih dari mean ( > mean, M = 20.6) diukur melalui skala kecemasan berkomunikasi

4. Bersedia  mengikuti  kegiatan  pelatihan  karena  kesediaan  penting  agar intervensi dapat berjalan dengan baik apabila subjek bersedia dan memiliki kemauan untuk mengubah dirinya.

Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh peeiti, maka dari 20 orang  tersebut  diseleksi  menjadi  16  orang  yang  dapat  memenuhi  kriteria tersebut dan menjadi subjek penelitian.

Desain  penelitian  merupakan  rencana  atau  strategi  yang  digunakan untuk  menjawab masalah penelitian tersebut (Christensen dalam Seniati, dkk, 2007),  oleh  karena  itu  di  dalam  suatu  penelitian  harus  dirancang sedemikian rupa agar fenomena atau variabel yang ingin diungkap dapat terlihat dengan jelas.

Di dalam  penelitian  ini  digunakan  desain  praeksperimen  dengan metode one  group pre and posttest design. Desain penelitian tersebut dipilih dengan mempertimbangkan subjek penelitian dilakukan tanpa randomisasi, dan dengan jalan memberikan  perlakuan  kepada  subjek  tanpa adanya  kelompok kontrol.   Metode   one  group  pre  and  posttest   design   merupakan  desain eksperimen yang hanya menggunakan satu kelompok subjek  (kasus tunggal) serta melakukan pengukuran sebelum dan sesudah pemberian perlakuan pada subjek.  perbedaan  kedua  hasil  pengukuran  tersebut  dianggap  sebagai  efek perlakuan.

Untuk pengumpulan data dipergunakan Skala kecemasan berkomunikasi. Pengambilan data dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada saat penentuan subjek penelitian, pretest, posttest dan follow up.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil  dari  analisis  data  kuantitatif  yang  menggunakan  analisis varian  sampel berkorelasi terhadap pretest, posttest dan follow up skor kepercayaan  diri  diperoleh  hasil  yang  menunjukkan  adanya  perbedaan yang signifikan antara sebelum pelatihan keterampilan sosial dan setelah pelatihan keterampilan sosial, sedangkan pada posstest dengan follow up yang diadakan 2 minggu setelah pelatihan keterampilan  sosial  tidak ada perbedaan signifikan. Artinya            hasil yang didapat dari pelatihan keterampilan  sosial  masih  dirasakan  oleh  subjek  penelitian.  Hal  ini menunjukkan bahwa         pelatihan keterampilan    sosial    efektif  untuk menaikkan  kepercayaan diri remaja awal, dengan demikian hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima.

Hasil  dari  analisis  data  kuantitatif  yang  menggunakan  analisis varian  sampel berkorelasi terhadap pretest, posttest dan follow up skor kecemasan berkomunikasi  menunjukkan   adanya perbedaan  yang signifikan  antara   sebelum  pelatihan  keterampilan  sosial  dan  setelah pelatihan keterampilan sosial,  sedangkan tidak ada perbedaan signifikan antara skor posttest dengan follow up yang  diadakan 2 minggu setelah pelatihan keterampilan sosial. Artinya hasil yang didapat  dari pelatihan keterampilan  sosial  masih  dirasakan  oleh  subjek  penelitian.  Hal  ini menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan social efektif untuk menurunkan kecemasan berkomunikasi remaja awal, dengan demikian   hipotesis  kedua  yang  diajukan  dalam  penelitian  ini  dapat diterima.

Hasil penelitian ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Matson   (1998)  yang  menyatakan  bahwa  kondisi  kecemasan  dalam berkomunikasi berdampak terhadap kualitas kehidupan            individu, mempengaruhi  fungsi  sosial  dan  relasi  dengan  komunitasnya  sehingga dengan  memberikan   intervensi   psikologis  untuk  menurunkan  tingkat kecemasan  berkomunikasi  di   depan  umum  pada  remaja  awal,  dapat memunculkan  perilaku  mereka  yang  mampu  berkomunikasi  di  depan umum tanpa ada perasaan takut.

Selain adanya perbedaan pada selisih skor skala antara  pretest, posttest   dan   follow   up   pada   enam   belas   orang  subjek   penelitian, peningkatan kategori rasa percaya diri dan penurunan tingkat kecemasan berkomunikasi dapat dijelaskan dengan analisis kualitatif berupa perilaku yang  muncul  pada  pelatihan.  Kondisi  pertama  kali  subjek  mengikuti pelatihan  cenderung  malu  untuk  memperkenalkan  diri,  volume  suara beberapa   subjek   ketika   berbicara   cenderung   pelan,   kurang   berani menyampaikan pendapat ketika sesi materi, ketika diberikan kesempatan untuk  menyampaikan pendapat cenderung saling tunjuk satu sama lain dan diam. Ketika  masuk sesi otbond dan farewell party, subjek terlihat sering melibatkan diri dalam  berdiskusi, aktif mengemukakan pendapat, dan yakin dalam mengambil keputusan ketika menyelesaikan permainan. Pada  sesi  outbond,  kebanyakan  peserta  pelatihan  lebih  kooperatif  dan antusias.          Peserta yang sebelumnya menolak untuk menyampaikan pendapat lebih mudah menyampaikan pendapatnya dalam kelompok kecil. Pada  saat  evaluasi,  ada  beberapa  peserta  yang  memberikan  masukan kepada  peneliti untuk memperbanyak sesi  permainan  dan  diskusi agar kemampuan berbicara dan aktif menyampaikan pendapat lebih terasah. Ini menunjukkan  peserta  menyadari  pentingnya  percaya  diri  dan  berlatih berkomunikasi.

Hasil skor pretest, posttest dan follow up skala kepercayaan diri menunjukkan  kepercayaan  diri  meningkat  setelah  diberikan  pelatihan keterampilan  sosial  sejumlah  13  orang  dari  keseluruhan  subjek  yang berjumlah  16  orang.  Dari  13  orang  tersebut  terdapat  5  orang  yang mengalami peningkatan  skor  cukup drastis setelah mengikuti pelatihan keterampilan sosial. Adapun 1 orang skor pretest, posttest dan follow up tetap  sama  yaitu  subjek SD,  serta  2  orang  lainnya  yaitu  JA  dan  GM mengalami penurunan setelah diberikan pelatihan keterampilan sosial, hal ini  kemungkinan  disebabkan  ketidak  seriusan  subjek  dalam  mengikuti pelatihan keterampilan sosial dan kurang berkonsentrasi.

Hasil  skor  pretest,  posttest  dan  follow  up  skala  kecemasan berkomunikasi  menunjukkan  kecemasan  dalam  berkomunikasi  semua subjek  mengalami penurunan  setelah diberikan perlatihan keterampilan sosial.  Hanya 5  orang  subjek yang mengalami sedikit penurunan skor skala yaitu TE, SR, SD, VS dsn GM.

Setelah diberikan pelatihan keterampilan sosial, remaja gereja X berusaha  untuk menerapkan  pengetahuan  yang telah  didapatkan  dalam kehidupan sehari-hari, karena melalui bekal keterampilan sosial, individu dapat  melakukan  hubungan  yang  baik  dan  memuaskan  bagi  dirinya maupun orang lain disekitarnya (Adiyanti, 1999).

Keterampilan sosial terdapat aspek-aspek yang mempengaruhinya terdiri dari lima dimensi. Aspek pertama peer relationship skill merupakan keterampilan dalam  sosialisasi yang menjadi dasar bagi individu dalam menjalin hubungan interpersonal  yang baik. Setelah diberikan pelatihan keterampilan sosial, subjek berusaha menjalin hubungan menjadi lebih baik melalui interaksi dengan orang lain. Hal ini terlihat ketika pada sesi perkenalan,  satu  sama  lain  subjek ada  yang belum  saling kenal.  Pada awalnya mereka saling diam dan tidak bertegur sapa. Namun setelah sesi materi berlangsung, subjek mulai dapat berinteraksi satu sama lain.

Aspek  kedua  self  management  skill  merupakan  keterampilan individu dalam      mengendalikan kontrol            diri,      kemampuan     dalam berkompromi  dengan  orang  lain  serta  kemampuan  dalam  menerima kritikan orang lain dengan baik. Hal ini terlihat ketika sesi outbond pada permainan di pos 4 yaitu  square ship, setiap subjek saling memberikan pendapat untuk memikirkan bagaimana caranya semua anggota kelompok dapat  masuk  dalam  satu  kotak,  satu  sama  lain   saling  berkompromi bagaimana agar tujuan mereka tercapai.

Aspek  ketiga  academic skill  merupakan  keterampilan  akademis yang   berhubungan  dengan  pergaulan  di  lingkungan  sosial,   melalui kemampuan  ini   individu  dapat  lebih  produktif  dan  mandiri.  Selama pelatihan keterampilan sosial berlangsung, beberapa subjek terlihat pasif, diam dan suka menghindar dari  pertanyaan meskipun ada juga subjek yang  bersikap  proaktif.  Ada  saah  satu  subjek  yang  meskipun  ditanya trainer hanya tersenyum saja, pada akhirnya ketika ada subjek lain yang beranimengungkapkan pendapat, subjek ini mencoba    untukmemberanikan diri untuk berbicara meskipun harus dengan paksaan.

Aspek keempat compliance skill merupakan keterampilan individu dalam  menjalin  hubungan akrab  dengan  orang lain  yaitu  keterampilan berkomunikasi.   Melalui  berkomunikasi,  subjek  dapat  menyampaikan infomasi  dengan  lebih baik  dan mudah.  Pada saat  diberikan  pelatihan keterampilan  sosial  di  sessi  pertama  yaitu  pemberian  materi  singkat, beberapa  subjek  terlihat  diam  dan  tegang,   namun   pada  saat  akan memasuki sesi 2 yaitu mulai pembagian kelompok, subjek mulai bersikap santai dan aktif.

Aspek  kelima  assertion  skill  merupakan  keterampilan  individu dalam  memberikan suatu pernyataan secara terbuka dan ramah terhadap orang lain. Melalui  assertion skill subjek menjadi memiliki keberanian dalam menyampaikan  pendapatnya.  Pada saat sesi tanya jawab setelah penyampaian materi, hanya ada 3 orang yang berani bertanya dan terlibat sesi tanya jawab. Namun, ketika sesi diskusi  setelah outbond, beberapa subjek mulai percaya diri dan berani mengungkapkan pendapatnya.

Berdasarkan pembahasan diatas,              diketahui kelima aspek keterampilan sosial memiliki keterkaitan satu sama lain. bilamana kelima aspek tersebut terus dikembangkan      dan dipraktekkan secara berkesinambungan  maka   akan  memunculkan  rasa  percaya  diri  dan keberanian  menyampaikan  pendapat  sehingga  tidak  ada  lagi  perasaan minder dan cemas dalam berkomunikasi.

Hal-hal  yang  mendukung  keberhasilan  pelatihan  adalah  modul pelatihan. Dimana rancangan pelatihan banyak menggunakan permainan- permainan yang mengacu pada tujuan meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi  kecemasan   berkomunikasi  remaja.  Konsep  pelatihan  ini disusun  sesuai  peserta  yaitu  remaja,  dimana  konsepnya  lebih  santai, menarik dan menyenangkan bagi remaja. Dengan  permainan dan sedikit materi yang diberikan trainer lebih mudah dicerna oleh remaja,  dengan demikian  subjek  mampu  menyerap  materi  yang  disampaikan  trainer, sehingga  hasil  yang  didapat  dari  pelatihan  lebih  mudah  diingat  oleh subjek.

Penelitian  ini  juga  memiliki  keterbatasan  dan  kelemahan,  yaitu pertama  tidak  adanya kelompok kontrol, disebabkan peneliti mengalami kesulitan  dalam  mencari  kelompok  kotrol  yang  kategorinya  terbatas. Tidak adanya kelompok  kontrol  menjadikan validitas internalnya masih lemah karena adanya variabel ekstraneous yang belum dikendalikan.

Kelemahan yang kedua adalah pemilihan desain penelitian, desain penelitian  akan lebih efektif apabila dilakukan beberapa kali atau lebih dari  1  kali  dan  berlangsung  secara  berkesinambungan,  sehingga  hasil penelitian   akan   tampak   lebih   optimal.   Keterbatasn   ini   hendaknya diperhatikan agar penelitian selanjutnya menjadi lebih baik secara kualitas dan aplikasinya.

Kesimpulan dan Saran

Penelitian inimengenai pelatihan keterampilan social dalam meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi kecemasan berkomunikasi yang bertujuan   untuk   mengetahui  efektifitas  pelatihan  keterampilan  sosial  untuk meningkatkan   kepercayaan   diri  dan  mengurangi  kecemasan  berkomunikasi remaja. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja awal yang berusia 13-14 tahun, karena pada fase remaja awal merupakan  masa  pencarian jati diri dan sering mengalami krisis identitas. Kasus dalam penelitian ini adalah remaja mengalami krisis   kepercayaan   diri   dan   kecemasan   berkomunikasi.   Sehingga,   peneliti memberikan  intervensi  berupa  pelatihan  keterampilan  sosial  untuk  mengatasi masalah remaja tersebut.

Pelatihan keterampilan sosial diberikan selama 1 hari penuh di ruangan terbuka yaitu  di kebun raya purwodadi dengan konsep alam terbuka. Pelatihan terdiri dari 3 sessi, yaitu diawali dengan sessi perkenalan, kemudian masuk pada sesi materi singkat, outbond yang berisi games2, dan farewell party yang dapat mengakrabkan subjek satu sama lain. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian dan pembahasan adalah pelatihan keterampilan social dapat meningkatkan kepercayaan diri dan menurunkan kecemasan berkomunikasi pada remaja awal.

Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah:

1.  Bagi subjek penelitian. Pada dasarnya pelatihan keterampilan sosial merupakan bekal bagi masa depan, maka  dari itu pengetahuan keterampilan sosial yang telah diterima terus dikembangkan dan  dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai hasil yang lebih baik seperti lebih  berani untuk memulai pembicaraan dengan orang lain, memberanikan diri dalam mengeluarkan pendapat, percaya diri pada saat  presentasi  di  depan  kelas  dengan   mempersiapkan  materi   yang  akan dibicarakan pada saat presentasi.

2.  Bagi sekolah. Karena waktu remaja lebih banyak dihabiskan di sekolah, hal ini membuat peran guru di  sekolah menjadi multifungsi sebagai orang tua dan juga sebagai teman. Anak yang  menunjukkan perilaku kurang percaya diri dan kecemasan dalam berkomunikasi, pihak  sekolah  dapat memberikan kegiatan yang banyak melibatkan siswa-siswi, sehingga  kemampuan komunikasinya dapat tersalurkan. Kegiatan yang dimaksud dapat berupa kegiatan  lomba debat, lomba pidato, dan lomba cerdas cermat.

3.  Bagi orangtua dan masyarakat. Masyarakat sekitar diharapkan berperan untuk meningkatkan rasa percaya diri  dan   mengurangi  kecemasan  berkomunikasi  pada  remaja  dengan  cara memberikan  kesempatan   kepada  anak  remaja  untuk  mengungkapkan  yang dirasakan dan dipikirkan tanpa menyela pembicaraan mereka dan meremehkan pendapat mereka.

4.  Bagi peneliti selanjutnya. Penelitian ini masih banyak terdapat keterbatasan dan kekurangan, oleh sebab  itu  bagi  peneliti  selanjutnya  yang  akan  melakukan  penelitian  serupa hendaknya  memperhatikan  desain  penelitian  dengan  menggunakan  kelompok kontrol   (kelompok   pembanding)   agar   hasil   penelitian   akan   lebih   tampak perubahan. Peneliti selanjutnya sebaiknya menambah waktu pelatihan. Pelatihan akan lebih efektif apabila dilakukan beberapa  kali atau lebih dari 1 kali dan berlangsung  secara  berkesinambungan,  sehingga  hasil  penelitian  akan  tampak lebih  optimal.  Selain  itu  peneliti  selanjutnya  dapat  mengaitkan   variabelnya dengan melihat jenis kelamin, usia atau tingkat pendidikan. Adanya perbedaan tersebut dapat membuat model pelatihan keterampilan sosial lebih detail.

 

Daftar Pustaka

Asmadi, A. (2006). Hubungan Antara Dukungna Sosial Orangtua Dengan Kepercayaan Diri Remaja Penyandang Cacat Fisik. Jurnal Psikologi, 1(1), 40-48.

Angelis, B. D. (2005). Confidence: Percaya Diri Sumber Sukses dan Kemandirian. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Aswid,  W.,  Marjohan  dan  Syukur,  Y.  (2012).  Efektifitas  Layanan  Bimbingan Kelompok Dalam Mengurangi Kecemaan Berkomunikasi Pada Siswa. Jurnal Ilmiah            Konseling, 1(1),           1-11. Retrieved            Juni, 5, 2014, from http://ejournal.unp. ac.id/index/php/konselor.

Atkinson, K. C dan Benn, D. J. (1996). Pengantar Psikologi jili II (edisi XI). Alih bahasa: Kusuma. W. Jakarta: Erlangga.

Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Barlow, D dan Durand, M. (2006). Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Barus, G. (2005). Komunikasi Interpersonal Suami Istri Menuju Keluarga Harmonis. Makasar: Jurnal Intelektual

Burgoon,  M  dan  Ruffner,  M.  (1978).  Human  Communication:  a  Revision  of Approaching speech or communication. New York: Rineheart & Winston. Cangara, H. 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Daradjat, Z. 1990. Kesehatan Mental. Jakarta: Haji MAsagung.

Devito,  J.  A.  (2001).  The  Interpersonal  Communication  Book.  New York:  Harper Collins College Publisher.

Dewi,  A.  P  dan  Andiyanto,  S.  (2006).  Hubungan  Antara  Pola  Pikir  Dengan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Keguruan. E-Jurnal.

Enjang. (2009). Komunikasi Konseling. Bandung: Nuansa Cendekia

Ernawati,  S dan Fatma, A.  (2012).  Pendekatan Perilaku Kognitif Dalam Pelatihan Keterampilan   mengelola  Kecemasan  Berbicara  di  Depan  Umum.  Jurnal Talenta Psikologi, 1(1), 39-65.

Hidayah,  N.,  dan  Mira.  S.  R.  (2009).  Efektifitas  Pelatihan  Keterampilan  Sosial Terhadap Penyesuaian diri Sosial Pada Anaka Berbakat Intelektual di Program Akselerasi.  Jurnal  Online  Universitas  Negeri  Surabaya.  Retrieved  Juli,  9, 2014, from http://ejournal.unesa.ac.id/

Hurlock, E. B. (1993). Psikologi Perkembangan (Edisi ke-5). alih bahasa: Istiwidayanti dan soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Kartono, K dan Dali, D. (2003). Kamus Psikologi. Bandyng: Pionir Jaya.

Kelly, J. A. (1982). Social Skill Training. New York: Springer Publishing Company, inc.

Latipun. (2008). Psikologi Eksperimen. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Lautser, P. (2001). Tes Kepribadian. Alih bahasa: D. H. Gulo. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Maramis, W.F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi Kedua Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University Press.

Mardiyah, H. S., dan Sutijono. (2013). Efektivitas Teknik Permainan Dialog Dalam Konseling   Kelompok  Gestalt  Untuk  Mengurangi  Kecemasan  Komunikasi Siswa  Pada  Proses  Belajar  Mengajar  Di  Kelas.  Jurnal  Online  Universitas Negeri Surabaya. Retrieved Juli, 9, 2014, from http://ejournal.unesa.ac.id/

Merrel, K. W dan Gimpel, G. A. (1998).  Social Skill of Children and Adolecents Concptualization,  Assessment,  Treatment.  New  Jersey:  Lawrence  Erlbaum Associates.

Monks, dkk. (1998). Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya (cetakan ke-11). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Muslimin, K. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Berkomunikasi di  Depan  Umum  (Kasus  Mahasiswa  Fakultas  Dakwah  INISNU  Jepara). Jurnal Interaksi, 2(2), 42-52.

Nevid, J. (2003). Psikologi Abnormal jilid 1 (edisi kelima). Jakarta: Erlangga.

Novianto, M. H dan Nastiti, D. 2013. Metode Mind Mapping Untuk Mengurangi Kecemasan Menjelang Ulangan Pada Mata Pelajaran Sosisologi. Psikologia, 2, 29-37.

Pujiono, P dan Muhari. 2014. Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Tingkat Communication  Apprehension  pada Mahasiswa  Prodi  Psikologi  Angkatan 2009          Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Online Universita Negeri Surabaya. Retrieved Juli, 9, 2014, from http://ejournal.unesa.ac.id/

Purwati, Sri., Sugiyo dan Tajri, I. (2012). Model Bimbingan Kelompok Dengan Teknik Fun Game  Untuk Mengurangi Kecemasan Berbicara di Depan Kelas. Jurnal Bimbingan Konseling,            1(2), 81-87. Retrieved Juni, 5, 2014, fromhttp.//journal. unnes.ac.id/sju/index.php/jubk

Rahayu, I. T. (2004). Pengaruh Pengembangan diri Terhadap Peningkatan Berpikir Positif dan  Penurunan Kecemasan Berbicara di Depan Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjag Mada. TESIS (tidak diterbitkan).

Rahmi,  T.  (2010).  Efektivitas  Pelatihan  Keterampilan  Sosial  Pada  Peningkatan

Kompetensi Interpersonal Mahasiswa. Jurnal RAP Psikologi UNP, 1(1). Rakhmat, J. (2002). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remadja Karya

Rakhmat, J. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remadja Karya

Ramdhani,  N.  (1994).  Pelatihan  Keterampilan  Sosial  pada  Mahasiswa  yang  Sulit Bergaul. Yogyakarta: PAsca Sarjana UGM. TESIS

Sa’diyah,  K.  (2005).  Hubungan  Antara  Kepercayaan  Diri  Dengan  Kecemasan Komunikasi  Interpersonal Pada Penyandang Cacat Tunarungu. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. SKRIPSI.

Santrock, J. W. (2003). Perkembangan Masa Hidup Jilid I (ediksi ke5). Alih bahasa: Juda Damanik & Achmad Chusairi. Jakarta: Penerbit: Erlangga.

Santrock, J. W. (2004). Adolescence: Perkembangan Remaja. Alih bahasa: ShintoB. Adelar & Sherly Saragih. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Strongman, K. T. (2003). The Psychology of Emotion: From Everyday Life to Theory. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd.

Sugiharto, D.Y.P., Mastur dan Sukuman. (2012). Konseling Kelompok Dengan Teknik Restrukturisasi Kognitif Untuk meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa. Jurnal Bimbingan Konseling,            1(2), 74-80. Retrieved Juni, 5, 2014, rom http.//journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jubk

Suryabrata, S. (2007). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suseno, M. (2009). Pengaruh Pelatihan Komunikasi Interperonal Terhadap Efikasi Sebagai Pelatih Pada Mahasiswa. Jurnal Intervensi Psikologi Volume 1 nomor 1

Uchjana,  O.  (2005).  Ilmu  Komunikasi  (Teori  dan  Praktek).  Bandung:  Remaja Rosdakarya

Wahyuni,  S.  (2014).  Hubungangan  Antara  Kepercayaan  Diri  dengan  Kecemasan Berbicara di depan Umum Pada Mahasiswa Psikologi.  eJournal Psikologi, 2(1), 50-64. Retrieved Juni, 5, 2014, from ejournal.psikologi. fisip-unmul.ac.id.

Weningtyas, E dan Miftahun N. S. (2012). Pengaruh Komunikasi Interpersonal dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Konsumen. Psikologika, 17, 33-42.

Winkel, W. S. (1997). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Pt. Gramedia Wirasaana Indonesia.

Wiryanto.   (2004).   Pengatar   Ilmu   Komunikasi.   Jakarta:   Gramedia   Widiasarana Indonesia.

Wulandari, L. H. 2004. Efektifitas Modifikasi Perilaku Kognitif Untuk Mengurang Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi. Medan: FK USU. SKRIPSI. Zeviera, F. 2007. Teori Kepribadian. Yogyakarta: Ar-Russ Media.


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya