Artikel 6

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 269 kali

PENGARUH TERAPI BERMAIN DALAM MENURUNKAN DEPRESI

PADA ANAK KORBAN KDRT

 

Siti Jauharotul Aini

 

Program Studi Magister Psikologi Profesi

Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

 

Abstrak

 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Terapi Bermain dalam menurunkan Depresi pada anak korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan menggunakan metode eksperimen semu dengan rancangan eksperimen one group dual pretest and posttest design. Subyek penelitian Anak-anak berumur 7-10 tahun yang merupakan korban KDRT baik fisik, psikis, seksual maupun penelantaran sebanyak 4 anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemberian perlakuan berupa terapi bermain untuk mengurangi depresi pada anak korban kekerasan dalam rumah tangga kurang efektif, hal ini di di sebabkan beberapa hal yaitu sebagian subyek masih bertemu dan satu rumah dengan pelaku KDRT sehingga subyek masih tertekan dan depresi, dan juga waktu pelaksanaan terapi bermain kurang lama sehingga hasilnya kurang maksimal, dan kurangnya melibatkan orang tua dalam pelaksanaa terapi bermain sehingga subyek kurang merasa mendapat dukungan dari keluarga.

 

Kata Kunci: Terapi Bermain; Depresi & Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

 

 

Pendahuluan

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah menjadi masalah global, dan terjadi pada tiap negara di dunia tanpa terkecuali di Indonesia, dan anak adalah salah satu korban dari kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Menurut Surat Kabar Kompas Tanggal 22 mei 2005 Kekerasan domestik yang terjadi di lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus penyiksaan yang menimpa anak–anak pada rentang umur 3 -8 tahun, sebanyak 80 % kekerasan atau penyiksaan yang menimpa anak –anak di lakukan oleh keluarga mereka, 10 % di lingkungan pendidikan dan sisanya di lakukan oleh orang- orang yang tidak di kenal (www.kekerasan pada anak.com).

Persoalan KDRT yang di alami oleh anak selama ini masih di anggap persoalan yang privat dan domestik sehingga persoalan KDRT ini tidak pernah di persoalkan ke ruang publik, kecuali ketika anak telah menjadi korban KDRT, sehingga persoalan KDRT yang di alami anak menjadi fenomena gunung es yang kelihatan puncaknya tapi sebetulnya tidak menemukan fakta yang solid. Persoalan KDRT yang terjadi dalam keluarga adalah bersifat pribadi dan hanya menjadi masalah intern dalam keluarga saja dan keluarga akan malu jika masalah KDRT yang di alami oleh anak dalam lingkup rumah tangga akan di ketahui orang banyak (Huraerah, 1997).

Berdasarkan data yang di dapat dari Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center of Tours Research Universitas Gadjah Mada tentang berbagai bentuk Child abuse dalam lingkup rumah tangga, mulai tahun 1995–2005 di temukan 3969 kasus dengan rincian penyiksaan seksual sebanyak 65,8 % kasus yang banyak di alami oleh anak umur 6–12 tahun, penyiksaan psikis sebanyak 19,6% kasus yang banyak di alami oleh anak umur 0-5 tahun, penyiksaan emosional sebanyak 6,3 % kasus yang banyak di alami oleh anak umur 5–12 tahun, dan penelantaran atau pengabaian terhadap anak sebanyak 8,3 % yang banyak di alami anak umur 0-5 tahun (www.menkokesra.go.id/ content/inikahpenyebab tingginya kdrt anak.com).

Pada masyarakat kita kekerasan yang di lakukan pada anak merupakan hal yang wajar, hal ini berkaitan dengan paradigma yang melekat pada masyarakat kita yaitu kekerasan adalah sesuatu yang wajar untuk mendisi-plinkan anak, selain itu dengan meningkat kemiskinan dan menurun kualitas kesehatan dan banyaknya permasalahan social yang terjadi memicu timbulnya tindak kekerasan pada anak dengan berbagai macam sebab, kekerasan yang menem-patkan anak sebagai korban di sebabkan juga oleh penilaian negative orang tua terhadap keberadaan anak (Wirawan, 1989).

Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga .kekerasan dalam rumah tangga yang korbannya anak di artikan sebagai kekerasan fisik, psikis, seksual maupun pengabaian yang terjadi dalam lingkup rumah tangga yang pelakunya adalah orang terdekat anak yang seharusnya menjadi tanggung ja-wab sehingga menimbulkan penderitaan, kesengsaraan maupun cacat pada anak (http///www.angelfire.Com/nc/neurosuryery/kekerasan/html).

Kekerasan dalam rumah tangga yang korbannya anak- anak dapat digo-longkan menjadi 4 bentuk yaitu keke-rasan fisik, psikis, seksual maupun pengabaian. Kekerasan fisik dapat diar-tikan yaitu segala kejadian yang mem-buat fisik anak terluka seperti memukul, menampar, menendang dan lainnya, sedangkan kekerasan psikis adalah segala bentuk prilaku yang mempe-ngaruhi kondisi mental anak seperti menghina, menakuti, mengejek dan lainnya (Undang – Undang KDRT Tahun 2004).

Kekerasan seksual adalah segala bentuk pemaksaan terhadap anak untuk melakukan aktivitas seksual seperti memperkosa, memegang organ vital anak, mengintip anak mandi dan lainnya. Dan yang di maksud penga-baian adalah mengarah ke kondisi ekonomi yaitu tidak memberi nafkah, mengabaikan dan tidak memberikan kasih sayang (Undang – Undang KDRT Tahun 2004).

Anak–anak yang mengalami kekerasan dalam lingkup rumah tangga akan menderita secara lahir dan batin karena kebutuhan dasar anak yaitu kasih sayang, perlindungan yang seharusnya di berikan oleh keluarga mereka tidak mereka dapatkan, akan tetapi mereka malah mendapatkan perlakuan yang tidak wajar sehingga mereka akan menjadi tertekan dan meminculkan gangguan psikologis (Hawari, 2009).

Anak yang mengalami KDRT mencoba untuk menyembunyikan keke-rasan baik secara fisik, psikis maupun seksual yang di alaminya dan biasanya mereka segan dan takut mengungkapkan penyiksaan karena ketakutan akan pem-balasan dendam yang dapat di lakukan oleh orang tua mereka yang melakukan kekerasan  kepada anak, biasanya orang tua pelaku kekerasan pada anak akan mengancam anak dengan di sakiti akan di bunuh atau di telantarkan jika keja-dian tersebut di ungkapkan anak kepada orang lain (Kaplan, Sadock dan Grebb, 2010).

Ketakutan untuk mengung-kapkan KDRT yang di alami oleh anak akan mengakibatkan anak akan memendam trauma yang di alaminya akibat dari KDRT sehingga akhirnya trauma itu terpendam di bawah alam sadarnya dan di bawa terus sampai dewasa, apalagi kekerasan yang di lakukan pada anak akan di lakukan berulang–ulang tidak satu kali saja sehingga anak akan memendam keke-rasan yang di alaminya yang berulang-ulang dan berjangka waktu yang lama itu menumpuk di bawah alam sadarnya dan akan bisa meledak dalam bentuk-bentuk prilaku yang patalogis salah satunya adalah menimbulkan depresi pada anak (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010).

Anak – anak korban KDRT yang mengalami depresi sebenarnya banyak, akan tetapi sering tidak terdiagnosa semua karena penderita tidak semuanya mengeluh sedih, hal ini di sebabkan karena anak belum tahu perasaan yang mereka alami, di perkirakan anak korban KDRT yang mengalami depresi baik tingkat ringan sampai berat adalah sebanyak 1,5%-25% dari kasus KDRT pada anak, dan anak perempuan lebih banyak mengalami depresi diban-dingkan anak laki – laki (www. kekerasan pada anak.com).

Kasus KDRT pada anak yang menimbulkan depresi pada anak di beberapa media di beritakan seperti kasus yang di alami oleh 2 anak kakak beradik Siva dan Buya yang berumur 7 dan 8 tahun yang mengalami kekerasan dan penganiayaan fisik dari ayah kandungnya, penganiayaan itu di lakukan semenjak kedua orang tuanya bercerai, mereka berdua sering di pukul oleh ayahnya tanpa sebab yang jelas dengan menggunakan benda tumpul yang membuat sekujur tubuh mereka memar pada saat mereka bermain, karena lama terus di aniaya oleh ayahnya kedua anak tersebut depresi, anak ini menjadi pemurung dan tidak mau bergaul dengan temannya, dan akhirnya mereka kabur dari rumah dan melaporkan ayahnya kepada pihak berwajib (www. Kompas /Kasus KDRT Pada Anak/com).

Lain halnya yang di alami Buya dan Siva, kasus KDRT pada anak yang membuat anak menjadi depresi juga di alami oleh Rina (bukan nama sebenarnya) umur 8 tahun, Rina mengalami penyiksaan fisik psikis maupun penelantaran dari ayah kandung, ayah sering melakukan kekerasan fisik seperti menendang, memukul dengan sapu lidi yang membuat rina mengalami luka memar di kaki dan tubuhnya, hal ini terutama di lakukan ketika ayah Rina dalam kondisi mabuk, Rina juga tidak di berikan nafkah oleh ayahnya karena ayah Rina pengangguran bahkan ayahnya tidak mau mengakui Rina sebagai anaknya, Rina juga mengalami penganiayaan secara psikis dan emosi dari ayahnya berupa sering di hina, di marahi bahkan di ancam jika melaporkan kasus ini ke polisi, yang mengetahui penganiayaan ini adalah ibu kandungnya tetapi ibu kandungnya juga takut melaporkan penganiayaan ini ke polisi karena ibu Rina juga menjadi korban KDRT ayah Rina, karena terus mengalami kekerasan dari ayahnya maka Rina mengalami depresi, Rina yang dulunya pendiam, cerdas dan rajin membantu ibunya menjadi anak yang pendiam, dan menarik diri dari temannya, Rina banyak menangis, tidak mau membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak dan lainnya dan Rina juga tidak mau sekolah dan banyak di rumah (Wawancara dengan ibu Rina di PPT rumah sakit Byangkara Surabaya).

Kasus anak korban KDRT lainnya juga di alami Bunga (Nama Samaran) yang berumur 9 tahun, Bunga mengalami kekerasan seksual dari ayahnya, hal ini di lakukan oleh ayahnya semenjak ibu Bunga kerja menjadi TKI di arab Saudi, Bunga menjadi pelam-piasan nafsu ayah kandungnya sendiri, ia di paksa ayahnya melakukan persetu-buhan selama beberapa bulan, setelah lama menjadi nafsu seksual ayahnya Bunga menjadi depresi ia sering ber-diam diri di rumah, menangis dan tidak mau melakukan aktivitas dan hobi yang di sukainya seperti sekolah dan lainnya (www. republika /kasus KDRT anak/com).

Anak korban KDRT lainnya yang mengalami depresi adalah Lintang (bukan nama sebenarnya) umur 7 tahun, Lintang sering mengalami penganiayaan secara psikis dan fisik oleh ayah kandungnya tanpa alasan yang jelas seperti di pukul dan di jambak bahkan di tending sehingga mengakibatkan wajah dan tubuhnya memar, Lintang juga di larang ayahnya kalau keluar rumah, ia harus membantu ayahnya berjualan di rumahnya karena ayahnya punya toko di rumahnya, ayahnya juga menuntut Lintang bisa mendapatkan nilai bagus, karena sering mendapatkan kekerasan fisik dan psikis dari ayahnya Lintang juga mengalami depresi. Ia sering menangis, tidak bisa tidur dan selalu terjaga pada saat tidur, ia banyak mengurung di kamar, ia juga merasa ia anak yang nakal dan anak yang bodoh jadi tidak mau belajar dan sekolah dan ia tidak mau membantu pekerjaan orang tuanya (Wawancara dengan ibu Lintang di PPT rumah sakit Byangkara Surabaya).

Depresi menurut Walkinson (1975) adalah semua perasaan yang tidak menyenangkan, frustasi, iri hati, putus asa tanpa alasan, suasana hati yang tidak seimbang dengan keadaan lingkungan dan rasa takut, sedangkan menurut Rahayu (2005) Depresi adalah gangguan kesehatan jiwa yang di sertai dengan keluhan sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan libido.

Ada beberapa simtom atau gejala yang di tunjukan oleh anak yang mengalami depresi adalah tangis menerus dan kesedihan yang persistensi, kurangnya antusiasme dan motivasi, meningkatnya kemarahan dan agresi-vitas, kelelahan kronis dan kekurangan energy, menarik diri dari keluarga juga teman dan lingkungan sekitar, kurang kosentrasi dan mudah lupa, perasaan tidak berdaya dan rasa bersalah, sensitive yang berlebihan sampai pada penolakan/kegagalan, meninggalkan aktivitas dan hobi yang di senangi, perubahan kebiasaan makan dan tidur yang di sertai yang berlebihan sampai pada penolakan atau kegagalan, meninggalkan aktivitas dan hobi yang di senangi, perubahan kebiasan makan dan tidur yang di sertai dengan penambahan dan penurunan berat badan dan juga kesulitan dan kebanyakan tidur, meningkatnya kemarahan dan bahkan agresivitas, keluhan mengenai masalah fisik seperti kepala dan juga perut, meninggalkan rumah dan anak yang depresi juga berbicara tentang kematian (Nevid,Rathus dan Greene, 2005).

Gangguan depresi pada anak usia sekolah yang ringan adalah gangguan depresi distimik dan akan berkembang menjadi gangguan depresi mayor sesudah 1 tahun anak mengalami depresi distimik, mood anak akan sangat peka terhadap stressor yang seperti adanya kekacauan keluarga yang berlangsung lama, juga anak yang mengalami penolakan dan penelantaran yang berat dan anak akan mengalami perbaikan dan penurunan depresi jika anak di pindahkan ke lingkungan yang tidak menimbulkan stress pada anak (Warsiki, 1998).

Erikson (dalam Landerth, 2001) mengatakan bermain adalah sebagai situasi di mana ego dapat bertransaksi dengan pengalaman dengan mencipta-kan situasi model dan juga dapat menguasai realitas melalui percobaan dan perencanaan. Lumongga (2009) mengatakan pengobatan depresi pada anak dapat menggunakan terapi bermain, terapi ini bisa di lakukan pada anak usia 3-11 tahun, bermain memberikan satu cara bagi anak untuk mengeskpresikan perasaan dan pengalaman melalui proses alami, karena pengalaman dan pengetahuan anak – anak sering di komunikasikan dalam bermain, bermain menjadi penting bagi anak untuk mengetahui dan menerima dirinya sendiri dan orang lain, sehingga intervensi yang tepat untuk menurunkan depresi pada anak korban KDRT salah satunya adalah dengan menggunakan terapi bermain.

Terapi bermain menurut Landreth (2001) adalah hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi yang menyediakan materi bermain yang di pilih dan men-fasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya mengekspresikan diri dan eksplorasi dirinya (perasaan, pikiran, pengalaman dan prilakunya melalui media bermain.

Menurut Catanach (1992) terapi bermain adalah sebuah model terapi yang membantu menyembuhkan luka psikologis anak yang mengalami penyiksaan dalam hal ini KDRT, di mana terapis bisa menganalisis konflik yang dialami oleh anak melalui permainan symbol atau drama, dimana anak sengaja di biarkan bermain sesuai dengan imajinasi dan khayalannya agar anak dapat mengekspresikan perasaan trauma yang disebabkan KDRT yang dialami pada kehidupan nyata anak dengan rasa aman.

Terapi bermain dalam penelitian ini mengunakan pendekatan behavior yang betujuan untuk melakukan penyembuhan pada anak dengan cara mengubah atau menghilangkan prilaku yang negatif atau menyimpang menjadi prilaku positif dengan menggunakan pendekatan konsep pendekatan behavior yang meliputi: Modelling, latihan relaksasi dan juga permainan kognitif korban KDRT dalam situasi bermain (Orton dan Esti, 1999).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Terapi Bermain dalam menurunkan Depresi pada anak korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama dan bersifat universal. Depresi merupakan gangguan kejiwaan yang menyebabkan emosi seseorang mengalami penyimpangan afektif yang ditandai oleh adanya konsep negative yang ditunjukkan kepada dirinya sendiri, regresif, perasaan bersalah, kesedihan, perasaan tidak berguna, putus asa dan harga diri rendah (Setyonegoro, 1981; Atkinson, 1987; Beck, 1987; Greist & Jefferson, 1987; Wilkinson, 1995; & Maramis, 2004)

Penyebab depresi karena adanya kombinasi beberapa factor, yaitu factor bawaan yang berasal dari keturunan, factor perkembangan misalnya kehilangan orang tua sejak kecil dan factor psikologis seperti kesedihan yang mendalam atau stress yang berkepan-jangan dan terus ditekan. Perubahan dan kehilangan dari segi fisik, psikologis, sosial dan ekonomi pada diri individu akan dapat menimbulkan depresi (Setyonegoro, 1981; Greist dan Jefferson, 1987; & Haye, 1994).

Anak–anak juga dapat menga-lami depresi seperti halnya orang dewasa, di perkirakan 25% anak mengalami depresi pada rentang usia 7-17 tahun, gangguan depresi pada anak usia prasekolah tampak lebih jarang hanya 0,3% di masyarakat dan prevelansi anak mengalami depresi bertambah dengan meningkatnya usia. Pada anak usia sekolah anak laki juga dapat mengalami depresi seperti halnya anak perempuan. (Harrigton, 2000).

Terapi Bermain adalah peman-faatan bermain sebagai media yang efektif oleh terapis untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan kesulitan – kesulitan psikososial dan emosional untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal melalui ekspresi, eksplorasi perasaan, konflik dan emosi yang ada dalam diri anak (Schaifer & Raid, 1986; Wakenshow dalam Mc Mohan, 1991; Catanach, 1998; Hanifah, dalam Suharni, 1998; Orton & Esti, 1999; Laderth, 2001).

Tujuan dalam terapi bermain adalah untuk sarana ekspresi dan ekspolarasi diri anak, sarana penge-tahuan sosialisasi, sebagai saran terapi untuk menyembuhkan masalah atau gangguan emosional, komunikasi, prilaku pada anak, sarana diagnosis, sarana ketajaman indera penglihatan, sarana berkomunikasi denagn orang lain, mengembangkan kepribadian dan juga sarana pengembangan ego anak (Schaifer & Raid, 1986; Catanach, 1998; & \Suharni, 1998).

Anak korban kekerasan dalam rumah tangga adalah anak yang mengalami kekerasan dan ancaman baik berupa fisik, psikis, seksual maupun penelantaran dalam lingkup rumah tangga sehingga menimbulkan keseng-saraan dan penderitaan pada anak (Haditiono dalam Damayanti, 1992; & Sobar, 1998).

Menurut Laderth (2001) Terapi Bermain sebagai hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan materi per-mainan yang di pilih dan menfasi-litasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya mengekspresikan diri dan eksplorasi dirinya (perasaan, pikiran, pengalaman dan prilakunya) melalui media bermain.

Terapi bermain merupakan suatu permainan sebagai alat atau bertukar pikiran dengan anak – anak, terapi bermain sangat di butuhkan oleh anak karena terapi bermain adalah bahasa anak, kalau orang dewasa menggunakan kata – kata kalu berbicara tetapi anakmenggunakan bermain untuk berbicara sehingga dengan bermain itu kita mengetahui apa yang di katakan atau di rasakan anak ().

Menurut Catanach (1998) ada beberapa tujuan dari Terapi Bermain pada anak yaitu: Untuk mengeks-presikan perasaan ketakutan dan konflik-konflik akan pengalaman keke-rasan yang di alami anak. Karena anak–anak sering kali kurang bisa mengeks-presikan perasaan dan konflik-konflik yang ada dalam dirinya, dengan bermain menggunakan objek yang berupa alat – alat untuk bermain seperti boneka keluarga, tas boneka yang terdiri dari binatang, boneka pahlawan dan penjahat, pasir dan perlengkapannya atau juga dengan kiasan yang berupa cerita pada gambar yang di buat oleh anak maka anak akan mentransfer pengalaman-pengalaman dan konflik yang berupa pengalaman akan keke-rasaan yang di alaminya melalui bermain simbol dengan objek atau kiasan yang berupa gambar dengan rasa aman karena dalam hubungan terapeutik yang terlindungi. Selain itu tujuan terapi bermain untuk menemukan pemecahan dan pengalaman baru untuk masalah-masalah kekerasan yang di alami anak melalaui latihan modelling untuk mem-bentuk prilaku yang baru yang lebih positif, latihan relaksasi dan juga per-mainan kognitif.

Menurut Yuniarti (2005) Terapi Bermain dapat di gunakan sebagai terapi bagi anak yang memiliki masalah psikologis karena dalam terapi bermain anak di bantu terapis untuk meng-ekspresikan emosi yang terpendam karena pengalaman traumatic yang di alaminya, menemukan insight sehingga anak akan menyadari emosi negative yang di pendamnya dan menemukan jalan keluar atau strategi yang dapat di gunakan untuk mengatasai permasa-lahan psikologis yang di alami anak.

Melalui terapi bermain anak – anak dapat mengekspresikan dan mengeksplorasi konflik, mempertahan-kan diri dan memahami dan menginte-grasikan pengalaman – pengalaman yang menyakitkan dalam hubungan teraupetik yang dilindungi sehingga seorang anak akan mampu meng-ungkapkan perasaan mereka.

Teknik terapi bermain dalam penelitian ini juga menggunakan pende-katan tingkah laku atau behavior yang bertujuan untuk mengubah atau menghi-langkan tingkah laku yang menyimpang dan menempatkan kembali tingkah laku yang lebih konstruktif melalui konsep dari pendekatan behavior yaitu model-ling dan relaksasi dalam setting bermain.

Hipotesis yang diajukan adalah ada pengaruh terapi bermain dalam menurunkan depresi pada anak korban KDRT artinya terapi bermain efektif dalam menurunkan depresi pada anak korban KDRT.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian eksplanatif (mene-rangkan) untuk menguji kemung-kinan hubungan sebab akibat antara variabel yang diteliti dan juga bentuk Penelitian ini adalah penelitian eksperimental yaitu penelitian yang memanipulasi secara sistematik suatu kondisi dengan tujuan untuk melihat pengaruhnya terhadap tingkah laku. Dalam penelitian ini kondisi yang di manipulasi adalah terapi bermain yang di berikan kepada subyek penelitian yaitu anak korban KDRT yang mengalami depresi dengan tujuan supaya depresi yang di alami oleh anak korban KDRT menurun setelah di berikan terapi bermain

Penelitian eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode pene-litian eksperimen semu yaitu penelitian yang mengkaji kemung-kinan hubungan sebab akibat dalam keadaan yang tidak memung-kinkan untuk di control atau di kendali, tapi dapat diperoleh informasi pengganti bagi situasi dengan pengendalian.

Pendekatan dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif yaitu penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian –bagian dan fenomena serta hubungan hubungan Tujuan peneli-tian kuantitatif adalah mengem-bangkan dan menggunakan model – model matematis, teori – teori dan hipotesa yang dikaitkan dengan fenomena alam, penelitian kuantitatif dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan statistik untuk menujukan hubungan antara varia-bel, yaitu untuk menguji adanya pengaruh variabel bebas terapi bermain terhadap variabel tergantung yaitu depresi anak korban KDRT dengan menggunakan metode pengumpulan data skala depresi anak yang di susun sendiri oleh peneliti dengan teknik analisa data statistik non parametrik dengan uji wilcoxon signed rank test. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

Terapi bermain adalah terapi bermain simbolik yang menggunakan alat bermain yang terdiri dari pasir, air, rumah dan perlengkapannya, boneka yang di rancang untuk mengungkapkan adanya gangguan – gangguan psikologis pada anak korban KDRT yang di sebabkan oleh pengalaman traumatic sehingga dapat menurunkan depresi pada anak dengan menggunakan pendekatan behavior yaitu menggu-nakan prinsip – prinsip modelling, relaksasi dan permainan kognitif, terapi ini di lakukan sebanyak 8 sesi yaitu 2 sesi anak bermain bebas dengan alat bermain yang terdiri dari boneka, rumah dan perlengkapannya, air dan pasir, dan 3 sesi pemberian modeling tentang prilaku asertif, cara berinteraksi dengan orang lain, modelling tentang cara untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan 2 sesi relaksasi dan satu sesi untuk permainan kognitif (Catannach, 1998).

Depresi adalah gangguan kejiwaan yang menyebabkan seseorang mengalami penyimpangan Psikologis yang di tandai oleh: a.manifestasi fisik yaitu gangguan tidur, gangguan makan, membesarkan sakit, kelelahan  b. manifestasi emosi seperti perasaan sedih, putus asa, tidak bisa mengen-dalikan emosi, c.manifestasi kognitif seperti rasa bersalah, putus asa, kesulitan kosentrasi, mudah lupa, konsep diri dan penghargaan diri yang rendah, d.manifestasi motivasional yaitu, penurunan aktivitas sehari – hari, meninggalkan hobi yang di sukai,dan lainnya (Atkinson, 1991).

Subyek penelitian adalah Anak berumur 7-10 tahun dan merupakan korban KDRT baik fisik, psikis, seksual maupun penelantaran sebanyak 4 orang.

Variabel Depresi di ukur dengan menggunakan skala depresi anak berdasarkan teori dari Atkinson, skala depresi anak ini di susun sendiri oleh peneliti.

Skala depresi anak ini di sampaikan secara verbal kepada subyek penelitian yaitu anak korban KDRT, karena subyeknya adalah anak yang di anggap masih belum bisa mengisi sendiri jawaban dalam skala depresi anak ini sehingga di perlukan panduan dari peneliti untuk menjawab aitem dalam skala depresi yang di berikan yaitu dengan cara adalah memanggil satu persatu subyek penelitian kemudian peneliti membacakan secara verbal satu persatu pernyataan pada skala depresi anak ini sampai selesai tanpa memberi tahu jawaban pada anak.

Selain dengan pemberian skala depresi anak ini, peneliti juga akan melakukan wawancara yang mendalam pada subyek dan keluarga subyek sebagai tambahan informasi tentang sejauh mana depresi yang di alami oleh anak.

Hasil uji validitas alat ukur skala depresi pada anak adalah dari 60 aitem yang di susun 20 aitem gugur dan 40 aitem shahih dengan koefisiean korelasi (rbt) antara 0,702-0,259 dengan tarf signifikasi (p) 0,000 - 0,022.

Hasil uji reabilitas alat ukur skala depresi anak menujukan Rtt = 0,918 pada taraf signifikasi (P) = 0000. Hal ini berarti alat ukur skala depresi anak ini andal. 

Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen one group dual pretest and posttest design. Pada design ini diawal penelitian dilakukan pengu-kuran depresi dengan menggunakan skala depresi anak terhadap subyek penelitian, kemudian 1 minggu berikut-nya dilakukan kembali pengukuran skala depresi anak kemudian diberikan treatment selama 8 sessi dalam 8 kali pertemuan.  Setelah diberi treatment-treatmen dilakukan pegukuran kembali dengan skala yang sama sebanyak 2 kali dengan jeda waktu kurang lebih 1 minggu. Pengaruh keefektivan variabel bebas terhadap variabel tergantung dilihat dari perbedaan nilai pre test dan pos test (Cozby, 2009). Prosedur pelaksanaan test:

  1. Melakukan seleksi subyek pene-litian untuk memilih subyek  yang mengalami depresi dengan ting-katan sedang, rendah dan tinggi yang dilakukan dengasn menggu-nakan skala depresi anak yang di susun sendiri oleh peneliti dan skala deoresi anak itu di sampaikan secara verbal pada anak .Pemilihan jenis kekerasan tidak di bedakan artinya dari segala bentuk KDRT bisa di ambil sebagai subyek penelitian.
  2. Setelah terpilih maka subyek menanda-tangani surat pernya-taan bersedia melaksanakan terapi sampai dengan selesai. Lalu 1 minggu kemudian dia-dakan pengukuran skala depresi kembali yang ke II dengan skala depresi anak
  3. Setelah dilakukan 2 kali pengu-kuran depresi maka subyek penelitian diberikan treatment atau terapi bermain selama 8 sesi.
  4. Diberikan Pos test pada klien untuk mengukur depresi pada subyek setelah diberikan terapi bermain.
  5. Mengadakan pengukuran kembali skala depresi pada subyek setelah diberikan treatmen dalam jeda waktu kurang lebih 1 minggu dari pengukuran sebelumnya.
  6. Membandingkan T1 dengan T2, T2 dengan T3 dan T3 dengan T4, untuk menentukan seberapa besar perbedaan yang timbul, jika sekiranya ada, akibat dari di gunakannya variable eksperimen X.
  7. Terapkan tes statistic yang cocok dalam hal ini T test untuk menentukan apakah perbedaan itu signifikan.
  8. Uji Analisa Data dengan menggunakan Wilcoxon Signed

Metode analisa data yang di gunakan pada penelitian ini adalah menggunakan statistik Non Parametrik yaitu dengan uji Wilcoxon signed rank test, dengan membandingkan antara Pre test (T1), dengan Pretest (T2), membandingkan Pretest 2 (T2) dengan Post test 1 (T3) dan membandingkan antara Post test 1 (T3) dengan Post test 2(T4).

 

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Antara Pretest 1 dengan Pretest 2, Depresi pada anak korban KDRT tidak terdapat perbedaan signifikan (z=-0,365 pada asymp.sig(2 –tailed)=0,715), berarti tidak ada perbedaan depresi subyek penelitian ketika tidak di berikan terapi bermain. Ini berarti sebelum subyek penelitian di beri treatment atau terapi bermain tidak ada penurunan atau peningkatan depresi, sehingga kondisi depresi sebelum di terapi bermain cenderung sama.

Antara Pretest 2 dengan Postest1, depresi anak pada korban KDRT tidak terdapat perbedaan signifikan (z =-1,461 pada asymp.sig.(2-tailed) =0,144), yang berarti subyek penelitian tidak mengalami penurunan tingkat depresi setelah di berikan treatmeant berupa terapi bermain, sehingga dengan demikian hipotesis di tolak atau tidak terbukti.

Antara Posttest 1 dengan Posttest 2, depresi pada anak korban KDRT tidak terdapat perbedaan signifikan (z =535 pada asymp.sig(2-tailed)=0,593), ini berarti subyek tidak mengalami perbedaan depresi setelah di berikan treatmet terapi bermain dalam rentang waktu kurang lebih 1 minggu. Dan ini berarti tidak ada perbedaan depresi pda subyek setelah di berikan treatment terapi bermain, subyek penelitian tidak mengalami peningkatan depresi sela-ma kurang lebih 1 minggu setelah tidak diberikan kembali treatment atau terapi bermain.

Kekerasan dalam keluarga yang terjadi pada anak karena penya-lahgunaan kekuatan oleh yang kuat yaitu orang tua terhadap yang lemah yaitu anak. Orang tua yang memiliki kekuatan fisik maupun non fisik (karena statusnya yang tinggi dalam keluarga) atau merasa dirinya superioritas sehingga bisa berbuat apa saja termasuk melakukan kekerasan pada anak, sehingga anak menjadi posisi yang lemah dan di lemahkan juga tidak berdaya menghadapi perlakuan tersebut, dan seolah – olah tumbuh anggapan bahwa anak adalah komunitas kelas bawah, mereka pribadi yang lemah dan kecil yang sepenuhnya di bawah kendali orang dewasa sehingga anak tidak kuat melawan KDRT yang di lakukan oleh orang tuanya (Soetarso, 2004).

Selain itu ada image dalam masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang di lakukan oleh orang tua atau keluarganya pada anak mereka adalah merupakan masalah intern keluarga masing – masing orang, sehingga mereka hanya diam dan tidak berani ikut campur dalam persolan KDRT pada anak,  dan di kalangan pihak keluargapun enggan mengungkapkan KDRT yang terjadi pada anak mereka karena di khawatirkan akan mempermalukan dan menimbulkan aib yang tidak di inginkan oleh keluarga anak korban KDRT itu sendiri(Huraerah, 2010).

Hal ini sesuai dengan apa yang di sampaikan oleh subyek penelitian yaitu anak korban KDRT yang sebagian tetap diam dan tidak melaporkan KDRT  yang di alaminya karena mereka takut kalau melawan orang tuanya yang merupakan pelaku KDRT yang di juga sebabkan oleh keterbatasan fisik, mental dan social mereka yang terbatas dalam menghadapi resiko bahaya akibat KDRT yang di lakukan oleh kedua orangtunya,  karena sebagian ada yang beranggapan bahwa merasa yang salah atas penyiksaan yang di lakukan oleh orang tuanya terhadap diri mereka sendiri, sehingga mereka pasrah dalam hidupnya adalah hanya memenuhi keinginan orang tuanya, rasa takut akan menceritakan KDRT yang di alaminya itu membuat mereka berdiam diri dari orang lain dan sikap diam yang di ambil oleh anak korban KDRT inilah yang menimbulkan permasalahan baru dalam diri mereka yang tanpa mereka sadari, sehingga tekanan batin akan KDRT yang di lakukan oleh orang tuanya berkali – kali  pada akhirnya membuat anak korban KDRT mengalami depresi.

Maramis (2004) menyebutkan neuro depresi sebagai gangguan perasaan dengan ciri – ciri semangat yang berkurang, harga diri yang rendah, menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan makan, sedangkan Beck (1987) mengatakan depresi selain mempunyai gejala utama kesedihan dan perasaan khusus seperti apatis, merasa sendiri, juga mempunyai gejala psikologi lainnya yaitu konsep diri yang negative yang menujukan terhadap diri sendiri terjadi perubahan vegetative dan perubahan aktivitas, semuanya mencakup aspek kognitif, afektif juga dengan gejala somatic.

Penelitian ini menujukan tidak adanya perbedaan signifikan yaitu tidak ada penurunan  depresi  pada anak korban KDRT setelah di berikan terapi bermain, hal ini di sebabkan oleh beberapa hal yaitu: pertama: pada subyek anak korban KDRT dalam penelitian ini mereka masih tetap tinggal dengan pelaku KDRT (ayah atau ibu mereka) sehingga kemungkinan berkurang depresi yang di alaminya sangat kecil. Menurut Warsiki (2008) anak yang mengalami depresi akibat penelantaran dan kekerasan dari orang tua mereka akan mengalami peningkatan depresinya jika anak masih berada di lingkungan yang mengancam anak dan akan mengalami penurunan gejala depresinya jika di pindahkan ke lingkungan yang mengancam stress bagi anak.

Yang kedua adalah factor homogenitas subyek penelitian yaitu pada penelitian ini  menggunakan subyek yang usianya relative berbeda yaitu dari usia 7-10 tahun, hal ini mempengaruhi hasil eksperimen yang di lakukan tidak signifikan, hal ini sesuai dengan apa yang di katakan Burhan (1999) yang mengatakan bahwa dalam penelitian eksperimen sangat di perlukan adanya homogenitas subyek yaitu keseluruhan individu yang menjadi subyek eksperimen memiliki sifat yang relative sama satu lain baik dalam aspek tempat, wilayah, jenis kelamin, usia, factor lingkungan subyek yang sama, sehingga homogenitas subyek yang dapat di capai dalam penelitian eksperimen maka akan mendapatkan hasil eksperimen yang di lakukannya akan lebih maksimal dan juga akan membantu meningkatkan validitas penelitian. Selain itu dalam penelitian ini yang menggunakan subyek umur 7-10 tahun yang memiliki taraf perkembangan minat bermain, kognisi, fisik, social yang berbeda, sedangkan dalam terapi bermain menurut Lilik (2000) di katakan bahwa factor penting yang di perhatikan dalam terapi ini adalah bahwa materi dan alat bermain yang di berikan harus di berikan pada sesuai dengan perkembangan kemampuan usia anak dan minat bermain anak. Dalam penelitian ini subyek yang terlibat memiliki tahap perkembangan yang berbeda dalam 2 perkembangan fase yaitu subyek umur 7-9 tahun yang memiliki fase perkembangan yang di golongkan dengan fase perkembangan masa kanak – kanak awal, yang mana dalam segi perkembangan kognitif anak berada pada fase pra operasional yaitu pola pikir anak yang masih statis dan belum bisa berfikir abstrak dalam suatu hal baik mengenai waktu maupun tempat cara berfikir anak masih terbatas, dan dalam minat bermainnya pada fase ini masih kurang bisa berkerjasam dan belajar cooperative dengan orang lain dan juga bermainnya masih senang bermain dengan sesama jenis kelaminnya, dan alat bermain yang biasa anak minati dalam fase ini adalah boneka, robot, mainan kartu, alat untuk melukis, mencatat, menonton televisi, membaca komik, bersepeda, dan subyek yang berumur 10 tahun yang memiliki fase perkembangan masa kanak – kanak akhir, yang mana perkembangan dalam segi kognitifnya berada pada tahap kongkret operasional yaitu di mana pola pikir anak bisa menjalankan operasional dan berfikirnya mulai berfikir yang rasional dan abstrak, dalam tahap ini tugas – tugas seperti menyusun, melipat, memisahkan, menggabung-kan, membagi sudah dapat dilakukan oleh anak. Dan dalam perkembangan minat bermainnya fase ini mengenal adanya bermain kelompok, berma-innya sudah dapat bekerjasama dan menerima, teman lainnya dan juga materi mainannya untuk fase ini adalah buku, olah raga, sepeda, mengumpulkan perangko, kartu, alat- alat olahraga seperti bola dan lainnya, pernik – pernik kerajinan tangan seperti membuat manik – manik sehingga menjadi gelang atau kalung dan lainnya.

Ketiga: dalam penelitian ini menggunakan teknik terapi bermain pemberian modelling prilaku yang menujukan bagaimana anak dapat berinteraksi baik dengan orang lain dan pelaku KDRT, pemberian modeling cara bersikap asertif, pemberian modelling bagaimana memiliki konsep diri yang positif, yang mana pemberian modeling tersebut hanya dua kali peneliti lakukan hal ini di sebabkan karena ibu subyek atau keluarga subyek keberatan mengantarkan subyek ke PPT untuk melakukan terapi bermain dengan sesi yang lama , karena mayoritas ibu subyek juga menjadi korban KDRT, sehingga ibu subyek ada juga yang mengurusi proses pelaporan kekerasan yang di lakukan suaminya sehingga hasil modelling dengan alat bermain yang telah di sediakan yang mana menujukan hasil yang tidak efektif dalam arti menujukan tidak ada penurunan depresi sehingga kalau pemberian modelling ini di lakukan  berkali – kali  tidak hanya dalam satu sesi atau satu pertemuan maka akan meng-hasilkan prilaku yang di harapkan dalam penelitian ini yaitu terjadi penurunan depresi pada anak korban KDRT, hal ini sesuai dengan apa yang di katakan Nelson (1999) yang mengatakan bahwa dalam terapi modeling seorang terapis harus memperhatikan beberapa hal agar prilaku yang di modellingkan dapat di terima oleh si peniru model dan akhirnya klien akan mencontoh prilaku yang di contohkan oleh terapis hal – hal tersebut antara lain adalah: terapis harus mempraktekkan prilaku yang di contohkan secara berulang – ulang sampai klien mampu memahami dan memprak-tekkan apa yang di contohkan terapis dalam kehidupan nyata klien. Selain itu pemberian terapi bermain yang di lakukan oleh peneliti kurang dalam waktu pelaksanaannya, hal ini seperti yang di ungkapkan oleh Orton dan Esti ( 1999) yang mengatakan bahwa waktu pelaksanaan terapi bermain itu ada 2 macam yaitu: incentive long term play therapy yaitu terapi bermain yang membutuhkan waktu pelaksanaan agak lama yaitu tidak bisa di lakukan cukup satu seminggu atau dalam waktu kurang 10 sesi atau kurang dari 1 minggu pertemuan, terapi bermain ini di gunakan untuk menangani kasus psikologis anak yang agak berat yaitu anak korban kekerasan, anak yang kehilangan orang yang di cintainya karena kematian orang yang di cintai dan lainnya. Sedangkan incentive short termplay therapyyaitu terapi bermain yang membantu penyembuhan anak yang mengalami gangguan psiko-logis yang ringan seperti membolos sekolah, tantrum dan lainnya, dan waktu pelaksanaannya tidak membutuhkan banyak waktu seperti incentive long play therapymaksimal waktu pelaksa-naannya bisa kurang dari 10 sesi atau seminggu  pertemuan.

Keempat yang menujukan penelitian ini kurang efektif hasilnya adalah karena dalam penelitian ini yang menggunakan teknik bermain modelling dengan alat bermain yang telah di sediakan harusnya peneliti memberikan reinforceiment atau penguatan dalam melihat prilaku yang di tunjukkan setiap subyek terhadap hasil modelling yang  di lakukan  oleh terapis, hal ini sesuai dengan apa yang  di katakan  Sugiono (1997) bahwa dalam terapi prilaku yaitu pemberian modelling itu factor yang di pentingkan adalah factor reinforceiment di mana prilaku yang di modelkan oleh terapis pada klien akan di ulang oleh klien jika terapis memberikan  reinforceiment yang positif setiap kali klien merespon sesuai dengan yang di diinstruksikan atau melakukan prilaku yang di modelkan oleh terapis, dan tidak akan memberikan hukuman jika klien tidak menujukan prilaku yang di contohkan oleh terapis, sehingga perlakuan ini di harapkan kemungkinan klien akan merespon positif terhadap instruksi atau prilaku yang di modelkan oleh terapis dan akan mengulanginya prilaku itu dalam kehidupan nyata klien.

Kelima: faktor yang menyebabkan kurangnya efektif hasil penelitian yang di lakukan oleh peneliti adalah karena peneliti kurang melibatkan orang tua atau keluarga subyek selama proses treatment terapi bermain, menurut Sukmanah (2010) mengatakan dalam pemberian terapi bermain akan dapat mendapatkan hasil yang efektif apabila selama pelaksanaan terapi bermain pada anak jika terapis melibatkan orang tua anak selama proses terapi, karena dukungan dari orang tua selama proses terapi bermain akan membuat anak termotivasi untuk bisa sembuh dan mengubah prilakunya yang negatif menjadi prilaku yang positif.

 

Kesimpulan Saran

Pemberian perlakuan berupa terapi bermain untuk mengurangi depresi pada anak korban kekerasan dalam rumah tangga kurang efektif, hal ini di di sebabkan beberapa hal yaitu sebagian subyek masih bertemu dan satu rumah dengan pelaku KDRT sehingga subyek masih tertekan dan depresi, dan juga waktu pelaksanaan terapi bermain kurang lama sehingga hasilnya kurang maksimal, dan kurangnya melibatkan orang tua dalam pelaksanaa terapi bermain sehingga subyek kurang merasa mendapat dukungan dari keluarga.

Saran yang  diajukan adalah:

Orang tua anak korban KDRT di sarankan untuk lebih memberikan kasih sayang dan kelembutan, dan perhatian juga perlindungan yang banyak terhadap anak korban KDRT, dan juga membantu mengembalikan kepercayaan diri anak, selain itu juga orang tua anak korban KDRT di sarankan agar memisahkan anak dari pelaku KDRT yang mengancam kehidupaan anak dan menempatkan anak pada lingkungan yang nyaman bagi kehidupan anak.

Pihak PPT untuk melakukan terapi pada anak korban KDRT bukan hanya pada korban saja tetapi juga melakukan terapi pada keluarga anak korban KDRT.

Bagi peneliti lain yang ingin meneliti play therapy agar dalam penelitiannya nanti menggunakan subyek yang homogen baik dari segi usia, jenis kelamin, tempat tingga dan lainnya, juga menggunakan waktu pelaksanaan terapi bermain dengan sesi yang lebih banyak agar hasilnya lebih maksimal dan efektif, selain itu juga melibatkan orang tua atau keluarga anak dalam pelak-sanaan terapi bermain agar anak mersa mendapat dukungan penuh dari orang tua.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anwar F. (2011). Aspek Psikologis Pada Anak Korban KDRT, Psiko islam, Journal Psikologi Islam Volume 8 No 2 Januari.

Atkinson R.L.(1987). Pengantar Psikologi II, Edisi II. (Terje-mahan). Batam: Interaksa

_________ Atkinson R.C & Hilgard, (1991). Pengantar Psikologi. (Terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Beck, A.T. (1987). Depression, Clinical, Experimental and Theoritical Aspect. (Terjemahan). London: Comtom Printing Ltd

Bonsoh H. (2001). Respon Relaksasi. Bandurig: Kaifa

Burhan, B. (1999). Metode Penelitian Ekperimen. Yogyakarta, Andi Ofset.

Catanach, A. (1998). Play Therapy With Abused Children, New York: The Routledge publicasing.

Catanach. A, (1998). Play Therapy With Abused Children, New York: The Routledge publicasing.

Dadang H. (2009). Penyiksaan Fisik Dan Mental Dalam Rumah Tangga. Jakarta: EKUL

Damayanti, (1992). Studi Kekerasan Pada Anak, Sknpsi. Tidak diterbitkan.

David B.D, (1998). Terapi Kognitif Pendekatan Baru Bagi Pena-nganan Depresi. (Terjemahan). Jakarta: Erlangga

Fadli.A,, (2011). Aspek Psikologis Pada Anak Korban KDRT, Psiko Islam, Journal Psikologi Islam. Volume 8 No 2 Januari.

Ferdina S. (2004). Efektivitas Terapi Bermain Dalam Mengurangi Kecemasan Akibat Hospitalisasi Anak Di RSUD Semarang, Skripsi. Tidak Diterbitkan; Yogyakarta: UII

Griet J.H dan Jefferson J.W. (1987) Depresi dan Penyembuhannya. (Terjemahan) Jakarta: Gunung Mulia

Hadi.S. (1996). Metodologi Penelitian II. Yogyakarta: Andi Ofsett.

_____ (2000). Statistik II. Yogyakarta: Andi Ofset.

Hamidah dkk. (2005). Efektifitas Terapi Bermain Untuk Meningkatkan Kemampuan Sosial Bagi Anak Gangguan Autism. Journal Psikodinamika. Volume 7 No-mer 11.

Harrigton. (2000). Child And Adolescent Depresion. Englewood Cliffs MJ: Prentice Hall.

Haye, T.L, (1994). Depresi Upaya Dan Cara Mengatasinya. Semarang: Arcait

Hawari D, (2009).Penyiksaan Fisik Dan Mental Dalam Rumah Tangga, Jakarta: FKUL

Huroeroh (2010), Kekerasan Pada Anak, Jakarta, Grarnedia.

Khusnul,M. (2001), Penerapan Terapi Relaksasi Untuk Mengurangi Depresi Pada Anak Korban Kerusuhan Di Ambon, Tesis. Semarang: Tidak Diterbitkan: UNIKA Sogijapranata

Kaplan, Harold, Dan Saddock BJ, (1997), Sinopsis Psikiatri Dalam Ilmu Pengetahuan Prilaku Psi-kiatri Klinis. Edisi 7 (Terje-mahan). Jakarta Bina Rupa Aksara.

Kartono,K, (1981), Psikologi Abnormal, Psiko Neurosa dan Psiko Idiocy, Bandung: Alumni.

Landaretlt G, (1989), Play Therapy, England: British Libraiy.

_____ (2001), Innovation In Play Therapy, New York: The Rout-ledge Brunner

Latipun, (2006), Psikologi Eksperimen, Malang: Universitas Muham-madiyah Malang Press

______ (2008), Psikologi Konseling. Edisi Ketiga, Malang :UPT Penerbit Universitas Muham-madiyah Malang.

Lincheisten M, (1980), Principle Of Relaxsasion, England: British Library.

Lumongga LN, (2009), Depresi Tinjauan Psikologis, Jakarta: Prenada Media Group.

Maramis W.F, (2004), Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya: Airlangga University Press.

Maria K, Penerapan Terapi Relaksasi Untuk Mengurangi Depresi Pada Anak Korban Kerusuhan Di Arnbon, Tesis. Tidak Diterbitkan:Yogyakarta UNIXA Sogijapranata,

Mohan, L,Mc., (1991), Handbook Of Play The rapy, London: The British Library.

Nevid S Jefry, Rathus Spencer, Greene Beverly, (2005), Psikologi Abnormal Jilid 2, Jakarta: Erlangga

Nelson, (1999), Pengaruh Terapi Model-ling Untuk Melatih Ketrampilan Sosial Pada Pasien Skizofrenia, Tesis, Tidak diterbitkan: Yogya-karta, Universitas Gadjah Mada

Orton.S dan Esti. M, (1999), Konseling Dan Psikoterapi Anak Bersama Orang Tua, Jakarta: PT Raja Persada Grafindo.

Peasa A dan Pease B, (2001), Why Men Don’t Listen And Women Cant Read Map, Great Britain: Orion Publishing Group.

Rahayu W.W, (2005), Hubungan Antara Kematangan Emosi dengan Kecerendungan Depresi pada Pasien Fisioterapi Pasca Stroke. Skripsi. Tidak di terbitkan. Surabaya; Universitas l7Agustus 1945 Surabaya.

Sarlito W, (1989), Masalah Sosial Dan upaya Pemecahannya, Bandung:Pustaka Sinar Harapan.

Schaifer W. & Rid S, (1986), Play Therapy In Children School, New Jr Prentice Hall.

Setyonegoro R.K dan Iskandar Y, (1981), Depresi Beberapa Pandangan Dan Implikosinya Praktek Di Bidang Kesehatan Jiwa, Jakarta: Yayasan Dharang Ghalia

Septiani A, (1997), Stop KDRT pada Anak, Bandung: Pustaka Sinar Harapan

Shreeve, (1991), Mengenal dan Meng-atasi Depresi, Jakarta: Arcan.

Sobar. (1998), Perlindungan Kekerasan Pada Anak, Yogyakarta: LKIS.

Soekardji, (1983), Terapi Kognitif Bagi Penanganan Depresi, Jakarta: PTBPK.Gunung Mulia

Soetarso (2004), KDRT Pada Anak, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada

Sugiono A, (1997), Moddelling Untuk Menurunkan Perilaku Cemas Pada Anak,Yogyakarta, Penerbit Obor.

Supratinya A, (1995), Mengenal prilaku Abnormal, Bandung: Kanisius (Anggota WAPI).

Suryani,L, (2000), Pelunjuk dan Panduan Dalam Terapi Bermain,Yogyakarta:UNYPress.

Suryabrata, S. (2006), Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Thompson, CL Hendroson DA, (2007), Counseling Children, Seventh Edition, Belmonth USA: Thomson Higher Education.

Undang — Undang RI No 23 Tahun 2004, (2007), Tentang Pengha-pusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bandung: Citra Umbara

Virginia A, (1995), Play Therapy, NewYork: Routledge Publi-casing.

Yuniarti, (2005), Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Penurunan Kecemasan anak Selama Tin-dakan Hospitalisasi Di RS Wahidin Sodirohusodo. Skipsi. Malang: Skripsi; Tidak Diterbitkan, Malang, Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Warsiki E, (2008), Deteksi Dini Depresi Pada Anak Dan Remaja Anima.  Indonesia Psychologi Journal, Vol:23, No:2, 189-200.

Wilkinson G, (1995), Depresi. Alih Bahasa:Tjandarasa, M. Jakarta: Arcan.

Wirawan,S, (1989), Masalah Sosiall Dan Upaya Pemecahannya, Bandung:Pustaka Sinar Harapan

 

 

 

 

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya