Artikel 6

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 520 kali

HUBUNGAN ANTARA SPIRITUAL COPING DENGAN PROSES PENCAPAIAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA PECANDU NARKOBA DI PANTI REHABILITASI

 

Ratna Eliyawati &  Sayidah Aulia Ul Haq  

Fakultas Psikologi Untag Surabaya

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara spiritual coping dengan kebermaknaan hidup pada pecandu narkoba di panti rehabilitasi. Makna hidup didefinisikan sebagai hal-hal yang dianggap penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Keadaan tertekan atau stress pada pecandu narkoba akan memunculkan coping sebagai upaya untuk mengatasi masalah yang terjadi. Coping adalah suatu proses di mana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful. Subyek dalam penelitian ini adalah pecandu narkoba di Pondok inabah XIX Semampir Surabaya, Pondok Inabah XIX Benteng Surabaya dan UPT Rehabilitasi Anak Nakal dan Korban Napza Provinsi Jawa Timur. Berjumlah 50 orang dengan rentang usia 17-40 tahun. Data diperoleh dengan skala Kebermaknaan Hidup dan Spiritual Coping yang dikonstruksikan oleh peneliti. Dengan korelasi Product Moment didapat hasil  r = 0,640 (p= 0,00). Ada hubungan antara spiritual Coping dengan proses pencapaian kebermaknaan hidup pada pecandu narkoba di panti rehabilitasi. Semakin tinggi spiritual coping yang dimiliki pecandu maka semakin positif proses pencapaian kebermaknaan hidup. Sebaliknya, semakin rendah spiritual coping yang dimiliki pecandu maka semakin negatif proses pencapaian kebermaknaan hidup.

 

Kata Kunci : Spiritual Coping, kebermaknaan hidup

 

 

 


PENDAHULUAN

Menurut Victor Frankl dalam teori logoterapi, makna hidup didefi-nisikan sebagai hal-hal yang diang-gap penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Makna hidup apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dira-sakan demikian berarti dan berharga. Keinginan untuk hidup bermakna (Frankl, 2003) merupakan motivasi utama pada manusia. Hasrat inilah yang mendorong seseorang untuk melakukan berbagai aktivitas dengan semangat dan menimbulkan perasaan yang tentram. Menurut Bastaman (1996), proses keberhasilan menca-pai makna hidup adalah urutan pengalaman dan tahapan-tahapan kegiatan seseorang dalam mengubah penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna. Tahap-tahap penemuan makna hidup oleh Bastaman (1996) dikategorikan atas lima hal, yaitu: Tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna), tahap penerimaan diri (pemahaman diri, pengubahan sikap), tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan tujuan hidup, tahap realisasi makna (keikatan diri, egiatan terarah, dan penemuan makna hidup), dan tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan). Pada tahap ini timbul perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna dengan kebahagiaan sebagai hasil samping. Bastaman (1996) mengatakan bahwa kenyataannya urutan proses tersebut dapat tidak diikuti secara tepat sesuai dengan konstruksi teori yang ada. Individu yang gagal melakukan penghayatan secara bermakna memiliki karakteristik adanya frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial. Kedua karakteristik ini menggejala berupa penghayatan yang tidak bermakna, hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan, merasa hidup tidak berarti, serta bosan dan apatis (Bastaman, 1996). Perasaan-perasaan tidak nyaman tersebut seringkali juga dialami oleh individu yang menga-lami peristiwa kurang menye-nangkan dalam hidup, seperti yang dialami oleh para pecandu narkoba. Penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Gories Mere, prevalensi (angka kejadian) penyalahgunaan narkoba tahun 2009 lebih kurang sebanyak 3,6 juta orang. Tahun 2010 prevalensi penyalah-gunaan narkoba meningkat 2,21 persen atau sebesar 4, 02 juta orang, dan di tahun 2011 prevalensi penyalahgunaan narkoba meningkat menjadi 2,8 persen atau sekitar 5 juta orang (http://www.detiknews.com/ read/2011/06/26/100514/1668743/10/bnnpemakai- narkoba-di-indonesia-meningkat, diambil pada 31 Oktober 2011). Ketidaknyamanan yang dira-sakan oleh pecandu narkoba menca-kup dua aspek yaitu aspek fisik dan psikososial. Adanya pemakaian narkoba yang digunakan dalam jumlah besar dan jangka waktu yang lama menyebabkan pengguananya mengalami beberapa gangguan pada kondisi fisiknya seperti gangguan pada otak dan sistem saraf, gangguan saluran pernafasan, gangguan system jantung, system hati, dan masih banyak yang lain. Akibat dari gangguan-gangguan tersebut, hal ini menimbulkan rasa tidak nyaman pada pecandu narkoba diantaranya rasa sakit sekujur tubuh dan kesadaran yang menurun. elain gangguan fisik, pecandu narkoba juga mengalami tekanan psikososial akibat dari stigma yang melekat seumur hidup pada diri seorangpecandu bahkan ketika pecandu telah pulih sekali pun. Stigma dan diskriminasi seringkali akan memperberat beban derita seorang pecandu terutama yang sedang menjalani masa pemulihan. Adanya gangguan fisik dan psiko-sosial tersebut menyebabkan pecan-du narkoba mengalami tantangan dan penderitaan yang berkepanjangan. Penderitaan berkepanjangan tersebut menyebabkan terjadinya stres pada pecandu narkoba. Stress merupakan suatau respon yang tidak spesifik dan muncul pada saat terjadinya tuntutan pada diri individu, terjadinya stress dipengaruhi oleh lingkungan, diri dan tubuh, serta pikiran (Keliat, 1999). Keadaan tertekan atau stress pada pecandu narkoba akan memunculkan coping sebagai upaya untuk megatasi masalah yang terjadi. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Smet, 1994) coping adalah suatu proses di mana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful. Definisi lainnya mengatakan bahwa coping adalah proses yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi perbedaan yang ada antara tuntutan situasi dan sumber daya yang dimiliki pada situasi stressful (Sarafino, 1998). Dalam rangka mengatasi masalah yang terjadi, strategi coping yang dimunculkan oleh tiap individu berbeda-beda. Lazarus dan Folkman (1984) membagi tipe coping menjadi 2, yaitu : a. Problem-focused coping. Problemfocused coping adalah penanganan stres dengan cara mengurangi, atau  memecahkan masalah yang menjadi sumber stres. Problem-focused copingbiasanya langsung mengambil tindakan untuk memecahkan masalah atau mencariinformasi yang berguna untuk membantu pemecahan masalah. b. Emotionfocused coping. Emotion-focused coping adalah penanganan stres dengan mengen-dalikan respon emosi yang diakibatkan oleh stressor. Emotion-focused coping lebih menekankan pada usaha untuk menurunkan emosi negatif yang dirasakan ketika menghadapi masalah atau tekanan. Selain dua jenis coping di atas, saat ini telah ditemukan jenis coping

terbaru yaitu spiritual coping. Spiritual coping adalah cara seseorang dalam mengelola situasi yang sulit dengan menggunakan kesadarannya akan adanya keter-hubungan manusia dengan Tuhan dan diwujudkan dalam prilaku sehari-hari.

Definisi spiritual coping secara tidak langsung menjelaskan bahwa peran spiritualitas dalam proses coping yaitu, memberikan sense of control terbesar dalam mengatasi situasi, memberikan rasa yang lebih tenang melalui dan berserah diri pada Tuhan sehingga dapat menjalani hidup dengan lebih percaya diri dan mampu menemukan makna hidup. Beberapa penelitian mengenai peran spiritual coping telah menemukan fungsi spiritual coping pada pengguna zat adiktif seperti alkohol. Hathaway dan Pargament (1990) menyatakan bahwa spiritualitas dapat menjadi sumber dalam strategi koping untuk mengahadapi kesulitan. Lebih lanjut Hernandez dan Bottoms (2010) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kedekatan yang baik dengan Tuhan akan mengkonsumsi alkohol lebih sedikit dibanding dengan seseorang yang tidak memiliki kedekatan yang baik dengan Tuhan, tetapi ketika seseorang telah menjadi pecandu baik narkotika maupun alkohol maka dia akan akan merasakan beberapa ketidaknyamanan fisik akibat gangguan yang terjadi sistem tubuh. Ketidaknyamanan yang berupa rasa sakit tersebut, menurut Kirkpatrick dan Shaver (1990) dapat diminimalisir dengan adanya kedekatan dengan Tuhan. Sedangkan manfaat bagi kondisi psikis seorang pecandu narkoba yang relatif lebih mudah stress dipaparkan oleh Pargament, menurut Pargament (1997) peristiwa stress akan dibingkai kembali sebagai peluang spiritual dimana didalamnya terdapat hikmah atau manfaat. Hal serupa diungkapkan oleh seorang pecandu narkoba yang merasakan manfaat penerapan nilai-nilai spiritual dalam proses pemulihannya. Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa spiritual copingmemberikan manfaat yang sangat besar dalam rangka kehidupan yang lebih baik pada pecandu narkoba, seperti perasaan nyaman karena kemampuan kontrol yang baik dalam mengelola rasa sakit maupun rasa puas pada hidup. Seluruh hal tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari proses pencapaian hidup yang bermakna. Lebih lanjut spiritual coping juga memiliki peranan dalam proses pencapaian hidup pada diri seorang pecandu mulai dari pecandu narkoba berada pada tahap derita, yaitu mengurangi emosi yang

meledak karena sakit yang dirasakan. Tahap penerimaan diri yaitu penerimaan atas penyakit adiksi yang tidak dapat disembuhkan dan mengurangi untuk menyalahkan diri, hingga pada tahap kehidupan bermakna dimana pecandu narkoba telah mengalami perubahan kondisi hidup yang lebih baik. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hipotesis yang berbunyi: Ada hubungan antara spiritual Coping dengan proses pencapaian keber-maknaan hidup pada pecandu narkoba di panti rehabilitasi. Semakin tinggi spiritual copingyang dimiliki pecandu maka semakin positif proses pencapaian kebermaknaan hidup. Sebaliknya, semakin rendah spiritual coping yang dimiliki pecandu maka semakin negatif proses pencapaian kebermaknaan hidup.

 

Metode Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah pecandu narkoba dengan usia berkisar 17 – 40 tahun yang berada di panti rehabilitasi Pondok Inabah XIX Semampir Surabaya, Pondok Inabah XIX Benteng Surabaya, dan UPT Rehabilitasi Anak Nakal dan Korban Napza Provinsi Jawa Timur. Ada pun alasan pengambilan populasi pada pecandu yang berada di tempat rehabilitasi saja hal ini dikarenakan seorang pecandu yang bersedia untuk mengikuti program pemulihan di panti rehabilitasi berarti telah menyadari akan masalah yang terjadi dalam dirinya dan sedang berusaha untuk mencapai hidup yang berkualitas serta bermakna.

Sampel pada penelitian kali ini adalah pecandu narkoba yang berada di panti rehabilitasi. Sampel yang digunakan berjumlah 50 orang pecandu narkoba yang tinggal di tempat-tempat rehabilitasi di Sura-baya. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Purpo-sive sampling digunakan mengingat populasi pecandu narkoba terutama yang bersedia untuk mengikuti program pemulihan di tempat-tempat rehabilitasi sangat terbatas, sehingga penulis tidak dapat memilih secara acak dan menggunakan purposive sampling sebagai teknik pengam-bilan sampel. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala spiritual dan makna hidup. Pernyataan-pernyataan yang digu-nakan dalam skala spiritual dan makna hidup ini dibuat dalam bentuk skala Likert.  Analisis data yang dilakukan adalah Analisis Korelasi Produk Momen Hasil perhitungan menunjukkan Koefisien Korelasi (rxy) sebesar = 0,640 pada taraf signifikansi (p) 0,000. Hal ini berarti antara variabel bebas spiritual coping dengan variabel terikat makna hidup mempunyai hubungan positif dan sangat signifikan.

 

Hasil Penelitian & Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, menunjukan bahwa ada hubungan positif dan sangat signifikan antara ubahan bebas spiritual copingdengan ubahan terikat makna hidup. Hasil penelitian di atas sesuai dengan hipotesis yang diajukan yaitu ada hubungan antara spiritual Coping dengan proses pencapaian kebermaknaan hidup pada pecandu narkoba di panti rehabilitasi. Semakin tinggi spiritual coping yang dimiliki pecandu maka semakin positif proses pencapaian kebermaknaan hidup. Sebaliknya, semakin rendah spiritual coping yang dimiliki pecandu maka semakin negatif proses pencapaian keber-maknaan hidup. Diterimanya hipotesis ini dapat dijelaskan lebih lanjut. Kecanduan terhadap narkoba pada dasarnya merupakan sebuah penyakit yang tidak dapat disem-buhkan, karena proses sugesti untuk menggunakan kembali zat-zat berbahaya tersebut telah tertanam dalam pikiran dan tidak dapat lupa seumur hidup, namun begitu perkembangannya dapat dikendalikan, dan ketika seorang pecandu mampu mengendalikan keinginan untuk menggunakan narkoba maka pecandu tersebut dapat dikatakan telah pulih dari kecanduan narkoba. Kondisi pulih inilah yang nantinya akan menjadi jembatan agar dapat menjalankan kehidupan yang berkualitas dan bermakna (Kita, 2002). Seorang pecandu membutuhkan dua kekuatan agar dapat mencapai kondisi pulih (Kita, 2002). Kekuatan yang pertama berasal dari dalam diri seperti penyerahan diri pada Tuhan dimana di dalamnya pecandu mengakui bahwa dirinya sudah tak berdaya atas kecanduan yang dialami dan memohon kekuatan dari Tuhan agar dapat bangkit dari  keterpurukan akibat kecanduan narkoba. Kekuatan yang kedua berasal dari luar diri, hal tersebut dapat diperoleh dari dukungan keluarga dan lingkungan sekitar dengan cara memberikan motivasi dan tidak terburu-buru memberikan stigma negatif. Lebih dari itu kekuatan dari luar juga dapat diperoleh dari pusat rehabilitasi narkoba, hal ini dikarenakan pusat-pusat rehabilitasi narkoba memiliki metode pemulihan yang sangat berguna bagi proses pemulihan seorang pecandu, seorang pecandu juga dapat menemukan teman-teman yang mempunyai pengalaman yang sama di pusat-pusat rehabilitasi sehingga dapat saling berbagi perasaan, semangat, dan penga-laman. Prinsip dasar dari pemulihan bersumber dari nilai-nilai spiritual (Kita,2002), hal ini dikarenakan dengan percaya pada kekuatan Yang Lebih Besar (Tuhan), seorang pecandu akan memiliki kekuatan lebih untuk menjalankan hidup, lebih dari itu percaya pada Tuhan dapat membantu pecandu untuk menghi-langkan ketakutan untuk menghadapi diri dan lingkungannya, seperti yang telah disebutkan pada langkah kedua pemulihan dalam metode Narcotics Anonymous, ”Kita tiba pada keyakinan bahwa ada kekuatan Yang Lebih Besar (Tuhan) yang dapat mengembalikan pada kewarasan.” (Kita, 2002). Nilai-nilai spiritual merupakan sumber pemulihan sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Hathaway dan Pargament (1990) bahwa spiritualitas dapat menjadi sumber dalam strategi koping untuk menghadapi kesulitan, oleh karena itu nilai-nilai spiritual juga menjadi landasan dalam penggunaan copingpada para pecandu. Seorang pecandu menggu-nakan nilai-nilai spiritual yang bersifat umum (universal) dalam proses emotional focus coping yaitu kejujuran, keterbukaan pikiran, dan kesediaan (Kita, 2002). Kejujuran adalah obat bagi pikiran yang berpenyakit seperti yang dialami oleh para pecandu, kejujuran menjadi kunci awal pemulihan. Seorang pecandu diharapkan jujur pada diri sendiri bahwa dirinya ingin berhenti dari kecanduan narkoba, mengakui akan ketidakberdayaan terhadap narkoba, dan jujur bahwa hidupnya telah tak terkendali akibat pengaruh narkoba. Keterbukaan pikiran juga sangat penting dalam proses awal pemulihan karena ide-ide baru tidak mungkin dapat dimasukkan bila seorang pecandu menutup pikirannya dari informasi yang bermanfaat yang berasal dari luar dirinya. Manfaat keterbukaan pikiran memungkinkan seorang pecandu untuk mendengarkan sesuatu yang bisa menyelamatkan hidupnya, mengizinkan seorang pecandu mendengarkan sudut pandang yang bertolak belakang, serta membim-bing pada pencerahan yang selama ini tidak terjangkau oleh pikiran. Kesediaan adalah nilai spiritual umum yang selanjutnya. Seorang pecandu harus bersedia melakukan apa pun yang dibutuhkan untuk pulih. Tanpa kesediaan, langkah langkah yang harus ditempuh dalam proses pemulihan hanya akan jalan di tempat.Ketiga nilai spiritual umum tersebut menjadi pegangan yang kokoh bagiseorang pecandu untuk melakukan problem focus coping yaitu dengan cara berpantang penuh (abstinensi) dari segala jenis narkoba. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang telah disampaikan oleh Hernandez dan Bottoms (2010) bahwa seseorang yang memiliki kedekatan yang baik dengan Tuhan, akan mengkonsumsi alkohol lebih sedikit dibanding dengan seseorang yang tidak memiliki kedekatan yang baik dengan Tuhan. Seseorang yang dekat dengan Tuhan, tidak memerlukan narkoba sebagai tempat untuk melarikan diri dari masalah yang dihadapi, karena dia telah percaya bahwa Tuhan selalu menyediakan jalan keluar bagi setiap masalah. Keberlanjutan pemulihan dalam proses perjalanannya juga bergantung pada hubungan seorang pecandu dengan Tuhan. Keyakinan bahwa Tuhan peduli dan akan melakukan apa yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang pecandu bagi dirinya sendiri menjadi kekuatan yang lebih besar bagi seorang pecandu untuk tetap berpantang penuh pada narkoba (Kita, 2002). Glock dan Stark (dalam Polutzian, 1996) menyebutkan bahwa spiritual mempunyai lima dimensi, dian-taranya selain berupa keyakinan (religious belief) juga berupa praktik keagamaan (religious practice). Praktik keagamaan seperti ibadah dan doa menurut Mc Namara (2003) dapat mengaktivasi suggest lobus frontal dan berasosiasi dengan fungsi-fungsi kognitif seperti kemampuan menjalin hubungan sosial, menumbuhkan rasa optimis, serta kemampuan menemukan sebuah makna. Seorang pecandu yang berhasil pulih, pada akhirnya akan merasakan hidup yang lebih berkualitas dan sekaligus gerbang untuk mencapai hidup bermakna. Perubahan menuju arah yang lebih baik dapat dirasakan melalui aspekaspek hidup bermakna yaitu; a) penerimaan terhadap diri dan lingkungan, hal ini ditunjukkan dengan secara rendah hati menerima kelebihan dan kekurangan diri, serta menuntut lebih sedikit dan memberi lebih banyak pada orang-orang sekitar; b) Mempunyai tujuan hidup, tujuan hidup seorang pecandu adalah menemukan kedamaian dan cinta dalam diri, dengan mencintai dan menghargai diri sendiri seorang pecandu juga akan belajar untuk berempati sehingga timbul cinta terhadap lingkungan sekitarnya; c) Pertumbuhan pribadi, seorang pecandu yang telah pulih cenderung lebih lambat untuk marah dan lebih cepat untuk memaafkan (Kita, 2002), serta menjaga komitmen untuk tetap berpantang penuhdari segala jenis narkoba (stay clean); d) Menikmati hidup dan segala aktivitasnya, dengan cara menjalankan kehidupan yang produktif dan bertanggung jawab atas apa yang telah dipilih; e) Menyadari makna hidup, hidup yang bermakna bagi kebanyakan pecandu adalah ketika mereka mampu member manfaat pada lingkungan sekitar terutama pada teman-teman pecandu lain yang masih berjuang untuk pulih, dengan berbagi pengalaman dan semangat dalam sebuah pertemuan rutin hal ini dapat membuat kondisi pecandu yang telah pulih tetap bersih dari narkoba (man help man to help himself), ketika seorang pecandu telah pulih dia juga akan dapat merasakan bahagia, cinta, harapa, antusias, sedih, kecewa sebagai perasaan yang sesungghunya, bukan sekedar perasaan-perasaan lama yang muncul sebagai efek di bawah pengaruh narkoba saat masih aktif menggunakan narkoba.

 

Kesimpulan Dan Saran

Berdasarkan hasil analisis data,  menunjukkan bahwa ada hubungan antara spiritual coping dengan proses pencapaian hidup yang bermakna pada pecandu yang berada di panti rehabilitasi. Seorang pecandu yang menjalani proses pemulihan di panti rehabilitasi, akan lebih mudah mencapai kondisi pulih dan hidup yang lebih berkualitas serta bermakna apabila dia menggunakan spiritual coping sebagai pondasi untuk melakukan bentuk-bentuk coping lain, baik itu emotional focus coping dan problem focus coping. Hal ini dikarenakan nilai-nilai dasar spiritual memegang peranan besar saat awal, tengah, dan akhir pemulihan hingga  pecandu dapat hidup lebih berkualitas dan bermakna.Generasi muda diharapkan mempunyai pondasi nilai-nilai spiritual yang cukup kuat agar tetap dapat mengikuti perkembangan zaman tanpa harus terbawa arus yang menyesatkan. Generasi muda juga diharapkan mempunyai tujuan hidup  yang benar salah satunya dalam bentuk sebuah cita-cita, dengan adanya tujuan hidup yang telah ditetapkan akan mengarahkan para generasi muda untuk melakukan aktivitas-aktivitas bermanfaat yang dapat mendukung tercapainya citacita sehingga waktu yang ada tidak akan digunakan pada hal-hal yang merugikan. Aktivitas-aktivitas yang bermanfaat diantaranya adalah mengikuti berbagai seminar, pelatihan, lomba-lomba tingkat regi-onal, nasional, maupun internasional, serta klub-klub hobi tertentu untuk menambah wawasan, meningkatkan kemampuan bersosialisasi, dan mengasah soft skill dan hard skill. Generasi muda diharapkan agar bijak dalam memilih lingkungan pergaulan agar tidak terjebak pada lingkungan yang tidak benar, dengan menjalankan langkah-langkah tersebut, generasi muda diharapkan dapat mencapai hidup yang berkualitas dan bermakna. Orang tua diharapkan menanamkan nilai-nilai spiritual sejak kecil pada putra putri sebagai bekal utama untuk menjalani kehidupan. Lebih dari itu meng-hadirkan situasi rumah yang sehat bagi pertumbuhan fisik dan psikis, menyediakan waktu untuk berkomu-nikasi dengan putra putri adalah hal yang diharapkan untuk dilakukan oleh para orang tua. Orang tua juga dianjurkan untuk mengarahkan dan mendukung kegiatan putra putri sebagai tempat aktualisasi diri, serta tetap memantau dan mengarahkan lingkungan pergaulan putra putri pada lingkungan yang benar dan sehat. Orang tua yang memiliki putra putri seorang pecandu diharapkan agar berbesar hati untuk mema-sukkan putra putrinya ke pusat-pusat rehabilitasi arkoba demi kehidupan yang lebih baik. Hendaknya orang tua juga memahamiperan penting dari penanaman nilai-nilai spiritual dalam proses pemulihan putra putri yang menjadi korban penyalah-gunaan narkoba, sehingga nilai-nilai spiritual tersebut dapat diterapkan di lingkungan keluarga ketika putra putri telah selesai menjalani proses pemulihan di tempat rehabilitasi. Orang tua pecandu juga diharapkan untuk menambah wawasan seputar dunia narkoba dengan mengikuti seminar, berkonsultasi pada tenaga ahli, membaca buku, dan lain sebagainya agar dapat mengetahui langkah-langkah apa yang dapat dilakukan oleh pihak keluarga bagi pemulihan putra putri. Langkah-langkah yang diambil diharapkan dapat memberikan dukungan penuh kepada pecandu sehingga pecandu tidak perlu merasa terlalu berkecil hati akan masa lalunya. Konselor narkoba adalah seorang tenaga ahli yang pernah mempunyai pengalaman yang sama dalam dunia adiksi narkoba namun telah berhasil bangkit dan pulih serta mended-kasikan waktunya untuk mendam-pingi para pecandu yang sedang menjalani proses pemulihan di tem-pat rehabilitasi. Konselor narkoba mendampingi para pecandu selama dua puluh empat jam penuh serta tujuh hari dalam seminggu di tempat rehabilitasi, oleh sebab itulah seorang konselor narkoba memegang peranan cukup penting dalam proses pemulihan seorang pecandu di tempat rehabilitasi. Seorang konselor narkoba, selain sebagai pembimbing dan pendamping juga harus mampu berperan sebagai contoh teladan (roll model) bagi para pecandu terutama dalam menerapkan nilai-nilai spiritual pada kegiatan sehari-hari, mampu mengarahkan dan membim-bing para pecandu dengan lembut namun tetap tegas, memberikan ruang untuk pertumbuhan pribadi seorang pecandu seperti menum-buhkan rasa syukur, percaya diri, menghargai diri sendiri, dengan memberikan dukungan penuh sehingga pecandu merasa dirinya lebih berarti dan mencapai kehidupan yang lebih berkualitas. Pemahaman, penghayatan, dan pelaksanaan nilai-nilai spiritual tidak hanya sebuah keharusan namun juga sebuah kebutuhan bagi seorang pecandu, oleh sebab itulah penting bagi seorang pecandu untuk mena-namkan nila-nilai spiritual dalam dirinya. Nilai-nilai spiritual akan menjadi pondasi di awal masa pemulihan, menguatkan di tengah-tengah perjalanan proses pemulihan, dan membantu menemukan kehi-dupan yang lebih berkualitas serta lebih bermakna pada akhir proses pemulihan. Seorang pecandu diha-rapkan untuk mempunyai tujuan hidup saat dalam masa pemulihan salah satunya adalah hidup bersih dari segala jenis narkoba dan dapat menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama, dengan mengikuti seluruh tahap dalam proses pemu-lihan di panti rehabilitasi dengan baik, diharapkan seorang pecandu dapat mencapai kehidupan yang lebih berkualitas dan bermakna. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya agar lebih mengembangkan pene-litian ini dan lebih kritis menggali variabel yang berpengaruh terhadap hidup yang bermakna bagi seorang pecandu seperti kemampuan bertahan (adversity quotient), dukungan sosial, dan lain sebagainya maupun hal-hal lain yang belum diungkap mengenai spiritual coping sehingga mampu meberikan manfaat bagi

seorang pecandu pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bastaman, Hana Jumhana, 1996. Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: Paramadina.

Coleman, C. L, 2003. Spirituality and Sexual Orientation: Relationship to Mental  well-being and Functional Health status. Journal of Advanced Nursing,       43, 457-464.

Cotton, S., et al, 2006. Spirituality and Religion in Patients with HIV/AIDS, USA: Journal Gen Intern Medicine,21, 5-13.

Doe, Mimi, Walch, Marsha, 1998. Ten Principles for Spiritual Parenting,        Nurturing Your Child Soul, USA: Harper Colins.

Frank, Victor, 2003. Logoterapi Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensial, Terjemah, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Hathaway, W. L., Pargament, 1990. Intrinsic Religiousness, Reli-gious Coping, and Psycho-logical Competence : a Couvariance Structure Analy-sis.Journal For The Scientific Study of Religion.

Hernandez, G., Salerno, J., Bottom, B., 2010. Attachment to God, Spiritual Coping, and Alcohol Use. Chicago: The Inter-national Journal for the        Psychology of Religion. November 2011.

http://www.detiknews.com/read/2011/0626/100514/1668743/10/bnn- pemakainarkoba-di-indonesia-meningkat, diambil pada 31 Oktober 2011.

Kita, Yayasan, 2002. Narcotics Anonymous, Bogor: Diter-bitkan untuk kalangan  sendiri.

Kita, Yayasan, 2008. Modul Basic Recovery Yayasan Kita, Bogor : Diterbitkan untuk kalangan sendiri.

Kozier, et al, 2004. Fundamentals of Nursing: Concept, Process, and Practice,        (seventh edition), New Jersey: Person Prentice Hall.

Keliat, A.B., 1996. Marah Akibat Penyakit yang Diderita, Jakarta: EGC

Lazarus, R., & Folkman, S., 1984. Stress Appraisal & Coping, New York.Springer Publishing.

Mc Namara, P., Andresen, J., & Gellard, J., 2003. Relation of Religiousity and        Scores on Fluency Tests to Subjective Reports of Health in Order Indivuals. The International Journal for The Psychology of Religion, 13,        259-271.

Miller, W. R., Thoresen, C. E, 2003. Spirituality, religion and Health: An Emerging Rese-arch Field. American Psychologist.

Nazir, Moh, 2005. Metode Penelitian, Cetakan keenam Bogor: Penerbit Ghalia        Indonesia.

Pargament, K. I., Sullivan, M. S, Tyler., F. B., Steele, R. E., 1982. Pattern of    Attribution Of Control and Individual Psychosocial Competence.        Psychological Report, 51, 1234-1252.

Pargament, K. I., 1997. The Psychology of Religion and Coping, New York:        Guilford  Press.

Poloutzian, F. R., 1996. Psychology of Religion, Needham Heights,        Massachussetts: A simon  & Schuster Comp.

Sarafino, E.P., 1994. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction, Second        Edition, New York: John Wiley & Sons, Inc.

Schult, Duane, 1991. Psikologi Pertumbuhan Model-model Kepribadian Sehat, Yogya-karta: Kanisius.

Wulandari, A. S., Litfiah, Budiningsih, T., 2009. Kecerdasan Adversiti & Intensi Sembuh pada Pengguna Narkoba di Panti Rehabilitasi, Semarang: Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 1, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Sema-rang.


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya