Artikel 6

,00 0000 - 00:00:00 WIB
Dibaca: 370 kali

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KEMAMPUAN BERSOSIALISASI DALAM PEER GROUP PADA SANTRI

PONDOK PESANTREN AL-ROSYID BOJONEGORO

 

Suroso & Nisa’ Ulil Azmi

Fakultas Psikologi Untag Surabaya

 

Abstrak

 

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan Kepercayaan Diri dengan Kemampuan Bersosialisasi dalam Peer Group pada Santri pondok pesantren Al-Rosyid. Kepercayaan diri adalah penilaian positif terhadap diri sendiri mengenai kemampuan yang ada dalam dirinya untuk menghadapi berbagai situasi dan tantangan serta kemampuan mental untuk mengurangi pengaruh negatif dari keragu-raguan yang mendorong individu untuk meraih keberhasilan atau kesuksesan tanpa tergantung kepada pihak lain dan bertanggung jawab atas keputusan yang telah ditetapkannya. Kemampuan bersosialisasi dalam peer groupadalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta belajar tentang kehidupan sikap dan norma dalam masyarakat, dalam hal ini penyesuaian tersebut dilakukan pada teman-teman sebaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan diri tidak berkolerasi secara signfikan dengan kemampuan bersosialisasi dalam peer group pada Santri pondok pesantren Al-Rosyid.

 

Kata Kunci: Kepercayaan Diri, Kemampuan Bersosialisasi, dan  peer group

 

 


Pendahuluan

Remaja di lingkungan pesantran atau yang sering disebut santri memiliki rasa kebersamaan, persahabatan, kehangatan, keharmo-nisan masih sangat kental dan terasa walaupun masih juga ada permasalahn dalam konteks sosial di lingkunganpondok-pesantren, namun tidak sama dengan lingkungan di luar pondok-pesantren. Hal ini ditun-jukkan dalam bentuk kepedu-lian yang tinggi antar remaja untuk membantu dalam konteks ekonomi. Permasalahan dalam lingkungan pondok pesantren adalah dalam hal partisipasi sosial, misalnya kerja bakti pondok pesantren, member-sihkan saluran pembuangan air, membersihkan kamar mandi ataupun membersihkan sampah di area pondok pesantren pada hari jum’at pagi. Para remaja yang tinggal di pondok pesantren masih kurang partisipasi sosialnya, hal ini dapat dilihat dari banyaknya santri putra yang keluar pondok pesantren dengan menghabiskan waktu paginya dengan olahraga bersama (Uqshari. 2005).

Pencapaian kematangan da-lam hubungan sosial merupakan bagian dari perkembangan sosial yang juga dapat diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelom-pok, moral dan tradisi. Meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dalam bermasyarakat dan saling berko-munikasi dan bekerjasama. Dalam upaya mencapai kematangan sosial pada diri remaja, seorang remaja juga mulai belajar melakukan sosialisasi untuk dapat mencapai tujuan sosialisasi secara dewasa (Hurlock, 1993).

Proses sosialisasi remaja di pesantren dan sekolah umum terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan yang dimaksud dapat dari kuantitas pertemuan dengan teman-temannya, jadwal pembelajaran harian pesantren dan jadwal pembe-lajaran sekolah umum. Seorang remaja yang bersekolah di sekolah umum hanya terjadwal pada jam sekolah saja dan itu tidak mengikat waktu remaja tersebut. Banyaknya waktu longgar setelah pulang sekolah dapat dipergunakan dengan bebas untuk berinteraksi dengan siapa saja. Berbeda dengan remaja yang berada di pesantren, remaja yang berada di pesantren memiliki jadwal kegiatan yang lebih terikat dan tersusun padat mulai dari pagi hingga malam. Hal seperti ini membuat remaja di pesantren memi-liki waktu yang lebih sedikit untuk berinteraksi dibanding dengan seorang remaja yang bersekolah di sekolah umum.

Kemampuan bersosialisasi remaja di pesantren penting karena dalam kesehariannya seorang santri selalu membutuhakan santri lain dan tidak bisa lepas dari bantuan santri lain. Hal ini sama seperti hal yang disampaikan oleh Sulivan (dalam Kartono 1995), yang menyatakan bahwa kehadiran individu dapat memberikan arti bagi kehidupan individu lain, begitu juga dengan seorang santri yang membutuhkan kehadiran santri lain karena kehadiran santri lain dapat membantu ketika seorang santri membutuhkan bantuan.

Soekanto (dalam Sari 2009) menyatakan bahwa kemampuan bersosialisasi mencakup proses yang berkaitan dengan kegiatan individu-individu untuk mempelajari tertib sosial lingkungan, dan meyerasikan pola interaksi yang terwujud dalam konformitas, nonkonformitas, peng-hindaran diri dan konflik. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa dalam bersosialisasi individu belajar menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Proses sisialisasi khususnya remaja dalam pesantren ditentukan oleh faktor-faktor yang menentukan kepribadian itu sendiri baik internal maupun eksternal. Penentu penye-suaian itu sendiri adalah: (1) Kondisi-kondisi fisik, termasuk di dalamnya ketutunan dan konstitusi fisik. (2) Perkembangan dan kematangan, khususnya kematangan intelektual, sosial, moral, emosional dan kepercayaan diri. (3) Penentu psikologis, termasuk di dalamnya pengalaman, belajarnya, pengkon-disian, penentuan diri (self determination), frustasi dan konflik. (4) Kondisi lingkungan, khususnya keluarga dan sekolah. (5) Penentu kultural (Sari, 2009).

Faktor-faktor yang menen-tukan kemampuan bersosialisasi dapat menjadi akibat dari kegagalan santri bersosialisasi. Dari hasil observasi peneliti di sebuah pesantren kegagalan bersosialisasi tersebut diantaranya santri yang merasa memiliki penampilan yang kurang menarik, merasa bukan dari keturunan orang yang berada, kurang memiliki kematangan intelektual seperti kurang dapat menguasai materi yang diberikan menjadi minder serta menarik diri dari pergaulan. Selain perasaan minder juga ada pada santri yang berasal dari keluarga broken home, atau bekas dari pecandu narkoba atau santri yang berasal dari budaya yang berbeda pada umumnya.

Kegagalan santri bersosi-alisasi dapat merugikan pada diri santri itu sendiri, misalnya dalam melakukan aktivitas sepert sholat shubuh berjamaah, santri yang tidak mempunyai teman akan sering telat karena tidak ada yang memba-ngunkan. Berbeda halnya dengan santri yang memiliki banyak teman kemunkinan untuk telat dalam mela-kukan sholat berjamaah khususnya sholat shubuh akan kecil karena teman santri tersebut akan memba-ngunkan untuk sholat. Kegagalan bersosialisasi dapat sering terjadi pada santri baru karena dari hasil observasi peneliti santri senior cenderung tidak mau untuk menyapa lebih dahulu santri baru, sedangkan santri baru merasa minder hingga takut untuk menyapa lebih dahulu.

Proses sosialisasi pada remaja sangat didominasi oleh adanya kelompok sebaya (peer group) dimana sosialisasi itu sendiri merupakan suatu proses tranmisi nilai-nilai, sistem belief, sikap, ataupun perilaku-perilaku dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya dengan tujuan agar generasi berikutnya mempunyai sistem nilai yang sesuai dengan tuntutan norma yang diinginkan oleh kelompok, sehingga individu dapat diterima dalam suatu kelompok (Komalasari, 2009).

Pada masa pubertas atau masa remaja awal terdapat gejala yang disebut gejala “negative phase”. Istilah “phase” menunjukkan periode yang berlangsung singkat. “Nega-tive” berarti bahwa individu meng-ambil sikap “anti” terhadap kehi-dupan atau kehilangan sifat-sifat baik yang sebelumnya sudah berkembang. Gejala ini banyak terjadi pada remaja awal, diantaranya keinginan untuk menyendiri, berkurang kemampuan untuk bekerja, kegelisahan, kepekaan perasaan, pertentangan sosial dan ras kurang percaya diri (lack of self confidence). Dari beberapa gejala “negative phase” tersebut yang paling menonjol dialami masa remaja adalah rasa kurang percaya diri (Buhler dalam Indriyati, 2007). Rasa kurang percaya diri ini kemudian menyebar ke hal-hal yang lain, misalnya malu untuk berhubungan dengan orang lain, tidak percaya diri untuk tampil di muka umum, menarik diri, pendiam, malas bergaul dengan lawan jenis atau bahkan kemudian menjadi seorang yang pemarah dan sinis.

Kepercayaan diri seorang individu berasal dari tingkat kepuasannya pada dirinya sendiri. Semakin baik penilaian individu terhadap dirinya, maka semakin percaya akan kemampuan dirinya. Kepercayaan diri yang baik maka seorang individu akan semakin percaya diri di dalam menghadapi lingkungannya. Seorang individu yang punya rasa percaya diri akan senantiasa merasa bahwa ia adalah individu yang positif dan berpotensi bisa andil sekaligus bisa bekerjasama dengan orang lain dalam berbagai macam segmen kehidupan (Al-Ugshari, 2005).

Kepercayaan diri itu sendiri didefinisikan sebagai sikap positif seseorang individu yang memam-pukan dirinya untuk mengem-bangkan penilaian positif terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Kepercayaan diri juga didefinisikan sebagai perasaan nyaman tentang diri sendiri dan penilaian orang lain terhadap diri sendiri (Chairani, 2002).

Rasa percaya diri yang kuat sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana seseorang merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa, karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri. Bagi seseorang yang kurang percaya diri, setiap kegagalan mempertegas rasa tidak mampu. Tidak adanya percaya diri dapat mewujud dalam bentuk rasa putus asa, rasa tidak berdaya dan meningkatkan keraguan kepada diri sendiri. Dipihak lain, percaya diri berlebihan dapat membuat orang tampak sombong, terutama bila ia tidak mempunyai keterampilan sosial. Orang yang memiliki rasa percaya diri umumnya memandang diri sendiri sebagai orang yang produktif, mampu menghadapi tantangan dan mudah menguasai pekerjaan atau keterampilan baru (Lauster, 2003).

Hubungan kepercayaan diri dengan kemampuan bersosialisasi dalam peer group pada santri yaitu santri yang memiliki rasa percaya diri tinggi senantiasa memiliki penilaian positif terhadap diri sendiri, lingkungan, maupun situasi yang dihadapinya, misalnya mampu mengatasi segala permasalahan yang dihadapi sesuai dengan kemampuan sendiri, tidak menarik diri, serta mempu bersosialisasi dengan baik tanpa merasa malu atau takut. Santri yang kurang percaya diri akan merasa malu untuk berhubungan dengan orang lain, manarik diri, pendiam, malas bergaul dengan lawan jenis, atau bahkan kemudian menjadi seorang yang pemarah, sinis dan sebagainya (Sari, 2011).

Kepercayaan diri sangat mempengaruhi sosialisasi, hal ini dikarenakan remaja yang memiliki kepercyaan diri memiliki ciri atau karakteristik seperti berpikir positif, memiliki kemampuan diri, mandiri, optimis, berani menjadi diri sendiri, bersikap tenang, serta mampu bersosialisasi dengan orang lain. Karakteristik seperti itulah yang nantinya akan memudahkan remaja dalam bersosialisasi dengan orang lain, termasuk dalam peer group (Hakim, 2002).

 

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas : kepercayaan diri dan variabel tergantung : kemampuan bersosi-alisasi dalam peer group

Kemampuan bersosialisasi dalam peer groupadalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta belajar tentang kehidupan sikap dan norma dalam masyarakat, dalam hal ini penyesuaian tersebut dilakukan pada teman-teman sebaya, Indikator kemampuan bersosialisasi dalam peer group adalah sebagai berikut (1) Peran Aktif, yaitu kemampuan mengambil bagian dalam kegiatan yang dilakukan di lingkungan sekolah dan masyarakat, (2) Kemampuan berbagi tugas dalam satu tujuan bersama para anggota kelompok dengan pertimbangan untuk melakukan suatu pekerjaan, (3) Kemampuan individu untuk patuh dan taat terhadap aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang ada dalam masyarakat, (4) Keikutsertaan, keterlibatan individu untuk mengambil bagian di setiap kegiatan di lingkungannya sesuai norma dimana individu berada.

Kepercayaan diri adalah penilaian positif terhadap diri sendiri mengenai kemampuan yang ada dalam dirinya untuk menghadapi berbagai situasi dan tantangan serta kemampuan mental untuk mengurangi pengaruh negatif dari keragu-raguan yang mendorong individu untuk meraih keberhasilan atau kesuksesan tanpa tergantung kepada pihak lain dan bertanggung jawab atas keputusan yang telah ditetapkannya. Indikator kepercayaan diri dalam penelitian ini adalah sebagai berikut  (a) Percaya akan kemampuan diri, (b) Optimis, yaitu selalu memandang masa depan dengan harapan yang baik, (c) Berani menerima dan menghadapi peno-lakan orang lain, (d) memiliki cara pandang positif (e) Bersikap tenang yaitu tidak cemas atau gugup dalam menghadapi situasi tertentu (f) Mampu bersosialisasi dengan baik dengan orang lain.

            Subjek dalam penelitian ini adalah santri pondok pesantren Al-Rosyid sebanyak 130 orang, teknik pengambilan subjek dalam penelitian ini menggunakan  teknik sampel non probability sampling dengan metode purposive sampling Perhitungan uji kesahihan butir dalam penelitian ini dikerjakan dengan menggunakan seri komputer program statistik dan analisa kesahihan butir edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Parmadiningsih, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Indonesia versi IBM/IN 2000. Item yang sahih untuk variabel keperca-yaan diri mempunyai koefisien korelasi (rbt) antara 0,683-0,237 dengan taraf signifikansi (p) 0,000-0,036. Untuk skala variabel kemampuan bersosialisasi dalam peer group tem yang sahih mempunyai koefisien korelasi (rbt) antara 0,489-0,231 dengan taraf signifikansi (p) 0,000-0,040.

Berdasarkan uji keandalan dengan teknik Hoyt dengan taraf signifikansi 5% terhadap skala kepercayaan diri ditemukan rtt=0,897 pada taraf signifikansi (p)=0,000 (p=<0,01), yang berarti skala kepercayaan diri andal sedangkan skala kemampuan bersosialisasi dalam peer group ditemukan rtt=0,703 pada taraf signifikansi (p)=0,000 (p=<0,01) yang berarti skala kemampuan bersosialisasi dalam peer group andal.

Hasil perhitungan uji normalitas sebaran diperoleh Kai Kuadrat = 9,813 dengan derajat kebebasan (db) = 9, dan taraf signifikansi (p) = 0,366 berarti p>0,05, dengan demikian ubahan kemampuan bersosialisasi dalam peer group mempunyai sebaran normal

Hasil uji linieritas hubungan antara ubahan bebas kepercayaan diri (X) dengan ubahan terikat kemampuan bersosialisasi dalam peer group (Y) diperoleh Fbeda Ke2-Ke1 = 1,806 pada taraf signifikansi (p­beda) = 0,181. Oleh karena itu p beda­ < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ubahan bebas kepercayaan diri (X) dengan hubungan terikat kemampuan bersosialisasi dalam peer group (Y) mempunyai korelasi linier.

Setelah  dilakukan pengujian korelasi product moment didapatkan hasil koefisien korelasi moment tangkar  pearson (rxy) sebesar = 0,196 pada taraf signifikansi p = 0,139 ; p > 0,05. Hal ini berarti antara ubahan bebas kepercayaan diri (X) dan ubahan terikat kemampuan bersosialisasi dalam peer group (Y) mempunyai hubungan positif dan nirsignifikan. Dengan demikian hipótesis yang berbunyi terdapat hubungan positif antara kepercayaan diri dengan kemampuan bersosialisasi dalam peer group ditolak.

 

Hasil Penelitian & Pembahasan

Hasil perhitungan uji normalitas sebaran diperoleh Kai Kuadrat = 9,813 dengan derajat kebebasan (db) = 9, dan taraf signifikansi (p) = 0,366 berarti p>0,05, dengan demikian ubahan kemampuan bersosialisasi dalam peer group mempunyai sebaran normal

Hasil uji linieritas hubungan antara ubahan bebas kepercayaan diri (X) dengan ubahan terikat kemam-puan bersosialisasi dalam peer group (Y) diperoleh Fbeda Ke2-Ke1 = 1,806 pada taraf signifikansi (p­beda) = 0,181. Oleh karena itu p beda­ < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ubahan bebas kepercayaan diri (X) dengan hubungan terikat kemampuan bersosialisasi dalam peer group (Y) mempunyai korelasi linier.

Setelah  dilakukan pengujian korelasi product moment didapatkan hasil koefisien korelasi moment tangkar  pearson (rxy) sebesar = 0,196 pada taraf signifikansi p = 0,139 ; p > 0,05. Hal ini berarti antara ubahan bebas kepercayaan diri (X) dan ubahan terikat kemampuan bersosialisasi dalam peer group (Y) mempunyai hubungan positif dan nirsignifikan. Dengan demikian hipótesis yang berbunyi terdapat hubungan positif antara kepercayaan diri dengan kemampuan bersosi-alisasi dalam peer group ditolak.

Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dengan menggu-nakan pengujian korelasi product moment didapatkan hasil koefisien korelasi moment tangkar  pearson (rxy) sebsar = 0,196 pada taraf signifikansi (p) = 0,139 sehingga dapat disimpulkan kepercayaan diri tidak berkolerasi secara signfikan dengan kemampuan bersosialisasi dalam peer group.

Kurang berpengaruh keper-cayaan diri pada sosialisasi kemam-puan bersosialisasi dalam peer group hal ini dikarenakan pada Peer Group dimana merupakan organisasi individu dalam kelompok sebaya yang mempunyai usia dan status sosial yang sama lebih dipengaruhi oleh peraturan yang ada dalam pesantren, hal ini menunjukan walaupun seorang individu benar-benar dituntut untuk mengambil keputusan, menentukan dan mempe-lajari kepribadian sosial, nilai-nilai sosialnya terhadap orang lain, mempelajari kebiasaan-kebiasaan dan sikap mendekati orang lain, pertentangan atau rasa simpati yang berkaitan dengan usaha untuk memperoleh penghargaan diri dari lingkungannya, peraturan pesantren pesantren disini lebih memegang peranan penting. Di sebuah pesantren ada peraturan-peraturan yang mengatur sosialisasi dalam pesantren sehingga para santri harus mema-tuhinya walaupun dia kurang memiliki kepercayaan diri, peraturan tersebut seperti halnya keharusan  melakukan sholat berjamaah, kerja bakti bersama, mengikuti pengajian sesuai dengan jadwal  dan belajar menurut waktu yang telah diten-tukan, Santri berkewajiban menaati peraturan santri yang melanggar peraturan ini akan diberi sanksi dari peringatan hingga dikeluarkan.  Kegiatan tersebut mengakibatkan adanya sosialisasi khususnya sosiali-sasi peer group. Hal ini dijelaskan oleh Dahlan (2011) yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan bersosi-alisasi dalam peer group adalah faktor eksternal atau lingkungan sekitar.Adanya peraturan yang ada pada lingkungan pesantren berdampak pada sosialisasi yang terjadi pada santri yang ada pada pesantren dimana kegiatan yang ada pada pesantren membuat desempatan santri untuk bersosialisasi terbuka.

Hanurawan (2010) juga menambahkan bahwa sosialisasi adalah proses belajar warga masyarakat suatu kelompok kebudayaan tentang nilai-nilai social yang berlaku dalam masyarakat itu. Melalui proses sosialisasi kelangsungan hidup suatu kelompok  masyarakat budaya dapat terjamin. Tujuan sosialisasi secara esensial adalah untuk dapat mengantarkan generasi muda pada kebutuhan dan tuntutan untuk dapat terus bertahan hidup di bidang fisik maupun social budaya

Remaja di lingkungan pesan-tren atau yang sering disebut santri memiliki rasa kebersamaan, persaha-batan, kehangatan, keharmonisan masih sangat kental dan terasa walaupun masih juga ada perma-salahan dalam konteks sosial di lingkunganpondok-pesantren, namun tidak sama dengan lingkungan di luar pondok-pesantren. Hal ini ditunjukkan dalam bentuk kepedu-lian yang tinggi antar remaja untuk membantu dalam konteks ekonomi. Fenomena yang terjadi pada sebuah pesantren dari hasil observasi awal peneliti pada Pondok Pesantren Al Rosyid yakni kegagalan bersosi-alisasi tersebut diantaranya santri yang merasa memiliki penampilan yang kurang menarik, merasa bukan dari keturunan orang yang berada, kurang memiliki kematangan intelektual seperti kurang dapat menguasai materi yang diberikan menjadi minder serta menarik diri dari pergaulan. Selain perasaan minder juga ada pada santri yang berasal dari keluarga broken home, atau bekas dari pecandu narkoba atau santri yang berasal dari budaya yang berbeda pada uumnya.

Remaja yang memiliki rasa percaya diri tinggi senantiasa memiliki penilaian positif terhadap diri sendiri, lingkungan, maupun situasi yang dihadapinya misalnya, dan mampu mengatasi segala permasalahan yang dihadapi sesuai dengan kemampuannya sendiri Namun terkadang kepercayaan diri remaja berkurang apabila mengha-dapi perubahanperubahan fisik yang dialami pada masa pubertas seperti haid, kemampuan ereksi, perubahan suara serta perubahan perubahan bentuk tubuh yang tidak proporsional. Situasi inilah yang membuat para remaja merasa kurang percaya diri.

Remaja di lingkungan pesantren atau yang sering disebut santri memiliki rasa kebersamaan, persahabatan, kehangatan, keharmo-nisan masih sangat kental dan terasa walaupun masih juga ada permasalahn dalam konteks sosial di lingkunganpondok-pesantren, namun tidak sama dengan lingkungan di luar pondok-pesantren. Hal ini ditunjuk-kan dalam bentuk kepedulian yang tinggi antar remaja untuk membantu dalam konteks ekonomi. Permasa-lahan dalam lingkungan pondok pesantren adalah dalam hal partisipasi sosial, misalnya kerja bakti pondok pesantren, member-sihkan saluran pembuangan air, membersihkan kamar mandi ataupun membersihkan sampah di area pondok pesantren pada hari jum’at pagi. Para remaja yang tinggal di pondok pesantren masih kurang partisipasi sosialnya, hal ini dapat dilihat dari banyaknya santri putra yang keluar pondok pesantren dengan menghabiskan waktu paginya dengan olahraga bersama (Hamizah, 2010).

 

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pengujian kore-lasi product moment didapatkan hasil koefisien korelasi moment tangkar  pearson (rxy) sebesar = 0,196 pada taraf signifikansi (p) = 0,139. Hal ini berarti antara ubahan bebas kepecayaan diri (X) dan ubahan terikat kemampuan bersosialisasi dalam peer group (Y) mempunyai hubungan positif dan nirsignifikan.

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka peneliti memberikan saran yang dapat digunakan sebagai masukan bagi segala pihak yang terkait dengan masalah ini.

 

 

 

Saran-saran tersebut antara lain:

  1. Bagi Santri Al Rosyid

Diharapkan bagi santri Al Rosyid tidak perlu merasa berbeda dengan santri lainnya berani untuk bergaul atau berteman sehingga agar teman sebayanya agar dapat berhubungan baik dengan santri lain.

  1. Bagi Pesantren Al Rosyid

Diharapkan bagi pesantren lebih memperhatikan perkembangan diri setiap santri agar santri merasa nyaman dalam berhubungan tanpa adanya keterpaksaan atau karena adanya peraturan semata

  1. Bagi Peneliti Lain

Diharapkan bagi penelitian selanjutnya untuk dapat lebih memperhatikan variabel-variabel yang hendak diteliti dengan lebih mengembangkan atau menyem-purnakan variabel-variabel yang dinilai dapat ikut mempengeruhi variabel kemampuan bersosi-alisasi dalam peer group seperti variabel citra diri atau harga diri.

 

Daftar Pustaka

Ahmadi, A 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta

Al- Uqshari. 2005. Melejit Dengan Kreatif, Jakarta: Gema Insani Press

 

Chairani N & Nurachmi W. 2003. Biarkan anak bicara .Cetakan Kedua. Jakarta: Republika

Dahlan. 2011. Sosialisasi Sebagai ProsesPembentukan Kepribadian. Jakarta

Hanurawan, F 2010. Psikologi Social Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Hakim, T. 2002. Mengatasi rasa tidak percaya diri. Jakarta: Puspa Swara

Hakim, T. 2004. Mengatasi rasa tidak percaya diri. Jakarta : Puspa Swara

Hurlock, E.B. 1993. Psikologi perkembangan: suatu pende-katan sepanjang tentang kehidupan. Alih

Hurlock, E.B. 2001. Psikologi perkembangan: suatu pende-katan  sepanjang tentang kehidupan. Alih Bahasa: Istiwidayanti & Soejarwo. Jakarta:Erlangga

Kartono. 1990. Psikologi anak. Bandung : Mandar Maju

Kartono. 1995. Psikologi Anak. Psikologi Perkembangan Bandung: Penerbit Mandar Maju

Komalasari. 2009. Pembelajaran Kontekstual. Bandung: Refika. Aditama

Lauster, P. 2003.  Test Kepribadian terjemahan Gulo.  Jakarta: PT Gaya Media Pratama

Nazir. 2005. Analisis Regresi Menggunakan SPSS. Penerbit Andi. Yogyakarta

Redenbach, R. 1998. Tampil penuh dengan percaya diri. Jakarta : PT. Handal Niaga Pustaka

Sari, N. 2009. Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kemampuan Remaja Awal Bersosialisasi Dalam Peer Group. Jurnal Psikologi. Jakarta

Sutrisno, H. 2002. Statistik Jilid II. UGM Press. Yogyakarta

Yusuf, S.  2000. Psikologi Perkembangan anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

 

 

 

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya