Fenomena Pelanggengan Budaya Perkosaan (Rape Culture) Melalui Candaan Seksis (Rape Jokes)

Minggu,25 Agustus 2024 - 08:05:49 WIB
Dibaca: 588 kali

Bercanda atau melontarkan lelucon (jokes) seakan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari. Baik lontaran jokes di sosial media maupun lontaran secara langsung di lingkungan sekitar. Pada umumnya, jokes akan membuat orang lain terhibur dan tergelitik. Namun, ada kalanya sebuah jokes akan menyakiti hati orang lain lantaran terdengar merendahkan ataupun melecehkan. Salah satunya yaitu candaan seksis atau dikenal dengan rape jokes dalam bahasa Inggris. Candaan demikian termasuk dalam pelecehan seksual, sebagaimana tercantum dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Pasal 5 Ayat (2) poin (a) yang berbunyi “menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.” dan poin (c) yang berbunyi “menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban.”

Rape jokes adalah jenis lelucon yang merujuk pada pemerkosaan atau kekerasan seksual dengan cara yang dianggap humoris, tetapi sebenarnya  menormalisasi segala jenis pelecehan dan mengubahnya menjadi guyonan tanpa memikirkan perasaan penyintas yang telah melewati masa-masa sulit. Dalam konteks budaya perkosaan (rape culture), rape jokes berperan dalam menormalisasi kekerasan seksual, sehingga menciptakan lingkungan dimana kekerasan seksual dianggap biasa. Contoh rape jokes yang sering kita temui di komentar suatu postingan di sosial media yaitu: “mas, p*ngku”; “ada logo tesla ges”; “diperk*sa nanti nangis”; “paling juga ntar ket*gihan”; dan lain sebagainya. 

Lelucon-lelucon seksis ini berperan dalam pelanggengan budaya perkosaan (rape culture). Rape culture merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut suatu kondisi dimana perkosaan dan kekerasan seksual telah menjadi sesuatu yang dianggap wajar di masyarakat. Istilah ini mulai dikenal sejak tahun 1970-an, ketika gerakan feminisme gelombang kedua muncul, dan digunakan untuk menggambarkan sikap-sikap yang merendahkan, seperti menyalahkan korban (victim blaming), mempermalukan pekerja seks, dan meremehkan kasus perkosaan. 

Dalam piramida rape culture dari 11th Principle Consent yang telah diterjemahkan oleh Gisela Swaragita  (akun Twitter @gruusomeflower), rape jokes berada di tingkat terbawah dalam rape culture, sehingga ketika rape jokes dinormalisasi dalam lingkungan masyarakat, maka akan membentuk peluang yang menjembatani seseorang untuk melakukan bentuk pelecehan yang letaknya lebih tinggi. Normalisasi rape jokes menyebabkan masyarakat menganggap bahwa pemerkosaan adalah sesuatu yang tidak serius dan memperkuat sikap victim blaming, dimana korban disalahkan atas peristiwa yang dialaminya.

 

Piramida Budaya Perkosaan (Rape Culture Pyramid) membagi rape culture menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:

1. Pewajaran (Normalization)

Normalisasi atau pewajaran menjadi tingkatan dasar dalam piramida rape culture. Pada tingkatan ini, kekerasan seksual dianggap sebagai hal yang normal atau bahkan dianggap sepele oleh masyarakat. Hal ini merupakan bentuk kekerasan seksual paling mendasar dan seringkali tanpa disadari.

2. Pelecehan (Degradation)

Pada tingkatan kedua, tindakan merendahkan dan pelecehan seksual sering terjadi. Dalam tingkatan ini, beberapa bentuk pelecehan seksual yang sering terjadi yaitu mengirimkan foto alat kelamin, menguntit, catcalling, dan menyebarkan video porno tanpa persetujuan, Banyaknya orang yang tidak memahami consent (persetujuan) menyebabkan seringnya pelecehan seksual terjadi untuk memenuhi kepuasan pribadi.  

3. Perampasan Otoritas Tubuh (Removal of Autonomy)

Bentuk kekerasan seksual pada tingkat ini adalah ketika seseorang merampas hak kontrol atas tubuh individu lain. Contohnya yaitu memberikan obat-obatan dengan tujuan memabukkan seseorang sebelum melakukan hubungan seksual, melepas kondom secara diam-diam tanpa persetujuan pasangan, dan memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual dengan ancaman.

4. Kekerasan Gamblang (Explicit Violence)

Puncak dari kejahatan seksual dalam piramida rape culture adalah kekerasan eksplisit yang juga merupakan tindakan kriminal. Bentuk kekerasan ini termasuk penganiayaan, pemerkosaan, baik yang dilakukan oleh satu pelaku atau dalam kelompok (gang rape), bahkan hingga pembunuhan sebelum atau setelah pemerkosaan.

Rape jokes memang masih kerap kita temui di sekitar kita, tetapi bukan berarti tidak ada cara untuk mencoba menghentikannya. Kita bisa mengedukasi bahwa topik pemerkosaan bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan lelucon, dan jika seorang publik figur membuat lelucon tentang pemerkosaan, bukan berarti hal tersebut adalah hal yang baik dan dapat ditiru. Berusaha mengedukasi diri sendiri dan orang-orang di sekitar jadi salah satu langkah untuk menghentikannya. Tiap langkah yang berani diambil dapat mencegah langgengnya kultur perkosaan.

 

Apabila kamu atau orang terdekatmu menjadi korban rape jokes atau kekerasan seksual lainnya, jangan ragu untuk melapor melalui hotline berikut:

Satgas PPKS Untag Surabaya

Telp/WA/Telegram : 0813-8536-9902

Instagram : @satgasppks_untagsby

Website : satgasppks.untag-sby.ac.id

 

Komnas Perempuan

Hotline : 129

Instagram : @komnasperempuan 

Website : komnasperempuan.go.id 


 

Referensi:

Nurbayani, S., & Wahyuni, S. (2023). Victim Blaming In Rape Culture: Narasi Pemakluman Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. Unisma Press.

Trisula.ID. 19 Juni 2021. Rape Jokes: Lelucon yang Tak Patut Ditertawakan. Diakses pada 27 Juli 2024. https://trisulaid.medium.com/rape-jokes-lelucon-yang-tak-patut-ditertawakan-276ae36bc49f.


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya